Wildan Nasution, pemerhati masalah Aceh. Pernah melakukan penelitian di Aceh selama pelaksanaan Darmil dan masa awal pasca tsunami Aceh. Tinggal di Batam, Kepri
Banyaknya masalah internal di dalam Pemerintahan Aceh selama ini, akan berdampak nantinya kepada pembangunan infrastruktur maupun pembangunan yang lainnya untuk Aceh, selain itu pengembangan dibidang SDM dan Pendidikan juga sangat penting saat ini untuk Aceh kedepannya. Akan sangat rugi tentunya jika anggaran tahunan daerah tidak bisa dimanfaatkan dengan baik, sehingga semua perencanaan akan sia – sia, dan pada akhirnya uang itu akan di kembalikan ke pusat, dan dampak yang sangat besar kepada masyarakat yaitu kemiskinan.
Disisi lain kita juga bisa melihat bagaimana kontribusi dari tuha peut Partai Aceh,s yang kini menjadi Wali Nanggroe. Dia menjadi sosok yang sangat di agung – agungkan dan seperti raja di Aceh, namun di mata rakyat, kontribusnya sangat minim. Wali Nanggroe malah sibuk mengurusi internal Partai Aceh dan alpa menjadi orang tua bagi segenap nyawa yang ada di bumi Iskandar Muda. Padahal anggaran daerah yang diserap olehnya sungguh fantastis!. Silih berganti persoalan menjangkiti Aceh. Di Minimi muncul, kemudian tenggelam, korupsi di sana sini. APBA dihambur-hambur untuk kesenangan diri dan kelompok. Gubernur dan Wagub saling menyalahkan. Para bupati/walikota lage haba nyan cit. Rakyat berjuang sendiri tanpa dukungan pemerintah.Lalu, masih adakah pemimpin di Aceh? http://www.acehtrend.co/masih-adakah-pemimpin-di-aceh/http://www.acehtrend.co/masih-adakah-pemimpin-di-aceh/
Hati-hati dalam Pilkada
Setidaknya rakyat Aceh pasca penandatanganan MoU Helsinki, sudah melaksanakan Pilkada sebanyak dua kali yaitu Pilkada pada tahun 2007 dan Pilkada pada tahun 2012. Dalam hajatan politik tahun 2007, rakyat Aceh telah memberikan amanah dan kepercayaan kepada Irwandi Yusuf yang pernah menjadi Dosen di Unsyiah yang kemudian dipenjara karena berhubungan dengan GAM yang berpasangan dengan M. Nazar yang merupakan pentolan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) sebuah NGO yang selama darurat militer maupun darurat sipil di Aceh selalu meneriakkan urgensi referendum bagi lepasnya Aceh dari NKRI sedangkan pada Pilkada 2012, rakyat Aceh memberikan kepercayaan dan amanah kepada pasangan “asli GAM” yaitu Zaini Abdullah dan mantan Panglima GAM, Muzakir Manaf alias Mualem.
Selama kepemimpinan Irwandi Yusuf – M. Nazar, situasi Aceh masih belum terlalu aman dalam melaksanakan pembangunan, karena dari berbagai pembicaraan di warung-warung kopi di Aceh dapat disimpulkan masih banyak mantan kombatan GAM yang merasa kecewa dengan MoU Helsinki dan merasa dikucilkan oleh kedua pemimpin Aceh ini. Dalam periode ini, kedua pemimpin Aceh juga dinilai berbagai kalangan kurang mampu menjalankan roda pemerintahan di daerah, terbukti mereka banyak salah memilih kepala dinas atau di Aceh dikenal dengan istilah SKPA (Satuan Kerja Pemerintahan Aceh), sehingga kesejahteraan rakyat Aceh belum mencapai sasaran. Tidak hanya itu saja, dimasa kepemimpinan Irwandi Yusuf – M. Nazar, juga diwarnai berbagai kasus korupsi atau penyalahgunaan keuangan APBA.
Bahkan menjelang Pilkada 2012, hubungan harmonis antara Irwandi Yusuf – M. Nazar mengalami keretakan dan kepercayaan mantan kombatan GAM kepada kedua politisi ini meluntur, sehingga baik Irwandi Yusuf maupun M. Nazar yang waktu itu sama-sama bernafsu menjadi Gubernur Aceh maju dari partai yang berbeda alias terjadi perpecahan diantara mereka. Irwandi Yusuf membentuk Partai Nasional Aceh (PNA) dan M. Nazar berjuang melalui jalur independen dengan hasil akhir kedua politisi ini mengalami kekalahan dan akhirnya yang terpilih adalah Zaini Abdullah dengan Muzakir Manaf.
Aceh dibawah pemerintahan Zaini Abdullah – Muzakir Manaf juga kurang memiliki perkembangan yang signifikan, karena kedua tokoh GAM ini juga kurang memiliki kemampuan manajemen pemerintahan yang baik, transparan dan modern, sehingga birokjrasi dan pembangunan di Aceh berjalan ditempat. Hal ini karena Zaini Abdullah – Muzakir Manaf dinilai banyak kakangan di Aceh salah dalam memilih para pejabat di daerah. Banyak kasus-kasus korupsi yang terjadi di Aceh dan belum terselesaikan sampai saat ini.
Yang menonjol selama kepemimpinan Zaini Abdullah- Muzakir Manaf salah satunya adalah mereka menuntut butir-butir MoU Helsinki dilaksanakan secara total di Aceh, walaupun kurang menyadari hal ini dapat merusak hubungan pusat dengan Aceh. Termasuk masalah lambang dan bendera Aceh yang marak dituntut untuk segera direalisasikan, seakan-akan masalah ini hanya merupakan pengalihan isu atas belum terwujudnya kesejahteraan di Aceh dibawah kepemimpinan para pentolan mantan GAM tersebut. Di era ini, yang ada juga keretakan dalam Partai Aceh, sehingga konon banyak tokoh GAM akan maju melalui jalur independen atau partai lain diluar Partai Aceh karena dikabarkan Partai Aceh akan menjagokan Muzakir Manaf.
Untuk itu, dalam menghadapi Pilkada 2017 rakyat Aceh harus berani melawan intimidasi agar mereka dapat memilih calon pemimpinnya yang sesuai dengan aspirasinya dan diytakini mampu menjalankan amanah rakyat lebih baik dibandingkan pemimpin Aceh hasil Pilkada 2007 maupun Pilkada 2012. Disamping itu, rakyat Aceh dalam Pilkada 2017 harus berani memberikan “hukuman politik” kepada parpol ataupun pemimpin Aceh yang telah dipercaya sebelumnya namun mengalami kegagalan untuk tidak dipilih kembali pada Pilkada 2017, karena rakyat Aceh harus menyadari salah dalam memilih pemimpin akan berakibat Aceh akan mengalami stagnasi/kemacetan disemua bidang kehidupan, karena Nabi Muhammad SAW pernah bersabda akan hancur suatu kaum atau akan gagal sebuah pekerjaan jika diberikan kepada mereka yang kureang mampu.
Selamat memilih dan letakkan keharmonisan hubungan Aceh dengan Pusat tetap terjaga dengan tidak salah memilih pemimpin pada Pilkada 2017.