Bagaimana perkembangan Freeport McMoran menyusul gonjang-ganjing politik bocornya rekaman pertemuan antara Ketua DPR-RI Setya Novanto, Pengusaha M Riza Chalid dan Presdir Freeport Indonesia Ma’ruf Syamsuddin? Berita Senin (28/12/2015) lalu mewartakan bahwa Saham Freeport turun lebih dari 9 persen menjadi 6,86 dolar AS. Nampaknya ini merupakan perkembangan yang tidak menguntungkan bagi James Moffett, pendiri Freeport McMoran. Dan hanya sebatas memainkan peran sebagai konsultan untuk dewan yang mengarahkan fokus perusahaan dalam operasi bisnisnya di Indonesia.
Artinya, sejauh menyangkut kepentingan korporasi-korporasi tambang AS di Indonesia, Moffett yang saat ini sudah berusia 77 tahun itu masih tetap merupakan aktor kunci yang tetap dimainkan untuk menembus birokrasi pemerintahan Indonesia. Bahkan tidak tertutup kemungkinan juga untuk merembeskan kepentingan Freeport di DPR-RI, khususnya Komisi VII.
Bisa dimengerti memang, karena berkat Moffett lah pegunungan Grasberg (yang kaya kandungan emas dan tembaga) di Papua berhasil dikembangkan sedemikian rupa sehingga saat ini merupakan salah satu tambang terbesar di dunia.
Freeport merupakan perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandangani pemerintahan Suharto menyusul disahkannya Undang-Undang No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang drafnya dirancang di Jenewa, Swiss, atas arahan dari David Rockefeller.
Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport menggandeng Bechtel, perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pemain-pemain kunci di CIA seperti Direktur CIA John McCone yang memiliki saham di Bechtel. Sedangkan mantan Direktur CIA Richard Helms, pernah bekerja sebagai konsultan internasional pada 1978.
Nah kemudian tepatnya pada1980 inilah, Freeport menggandeng McMoran milik James Moffett sehingga kemudian menjadi perusahaan raksasa dunia dengan keuntungan lebih dari 1,5 miliar dolar AS per tahun. Moffett, mendirikan McMoran Oil & Gas Co pada 1969. Maka, tepatnya sejak 1981, Moffett memimpin merger dengan Freeport Mineral Co.
Sekarang, dengan niatannya untuk mengundurkan diri sebagai Chariman Freeport McMoran, maka pensiunan kapten Angkatan Darat AS itu bakal ditunjuk sebagai Chairman Emeritus. Suatu jabatan yang secara substansial masih menggambarkan pengakuan perusahaan atas reputasi dirinya sebagai pebisnis tambang kaliber internasional yang masih diperhitungkan.
Betapa tidak. Pada 1996, seorang eksekutif Freeport McMoran George A Maley, menulis sebuah buku bertajuk: “Grasberg” setebal 384 halaman. Dalam bukunya, Maley memaparkan bahwa tambang emas di Papua itu memiliki deposit terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih tembaganya menempati urutan ketiga terbesar di dunia.
Menurut data yang dirilis Maley, pada 1995 menunjukkan bahwa di areal ini tersimpan cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar dolar AS dan masih akan menguntungkan 45 tahun ke depan.
Ironisnya bagi bangsa Indonesia adalah, seperti yang dengan bangga diutarakan oleh Maley, biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yang ada di Papua itu, merupakan yang termurah di dunia.
Maka jelaslah sudah, bahwa adanya Freeport McMoran di Papua, sejatinya merupakan simbol penjajahan ekonomi AS di Indonesia. Kota Tembagapura, sejatinya merupakan gunung emas, meskipun juga mengandung tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga terserak di permukaan tanah, maka Freeport tinggal mengambilnya dan kemudian menggalinya dengan sangat mudah.
Inilah salah satu aspek Geopolitik Papua yang tidak dipahami dan dikenali kekuatannya oleh bangsa Indonesia sendiri. Untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya di Papua dan tidak kehilangan emasnya, maka Freeport telah membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari Grasberg-Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju Laut Arafuru dimana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan mengangkut emas dan tembaga itu ke Amerika Serikat.
Dan celakanya, penjarahan dan perampokan besar-besaran kekayaan alam Indonesia ini, ternyata direstui oleh pemerintah Indonesia hingga sekarang.
Untuk itu, Global Future Institute mendesak kepada DPR-RI agar segera membentuk PANSUS FREEPORT GATE, dalam kerangka untuk membongkar “perjanjian-perjanjian illegal dan di bawah meja” antara Freeport dan para pejabat tinggi pemerintahan Indonesia, baik sejak era pemerintahan Suharto, hingga era pemerintahan Reformasi.
Dan atas dasar dibukanya “Kotak Pandora” tersebut, rakyat Indonesia, khususnya Papua, bisa menikmati kekayaan alam yang sudah dijarah dan dirampok oleh Freeport selama 45 tahun.
Dengan mencermati berbagai fenomena yang berkembang saat ini, ada tiga hal pokok yang kiranya perlu jadi bahan renungan kita bersama:
- Besarnya ketegantungan pemerintah terhadap pihakj luar negeri/asing.
- Sistem Politik yang koruptif di semua tingkatan, mulai dari pusat hingga daerah.
- Kebanyakan rakyat dan para elitnya abai geopolitik.
Maka itu, dalam renegosiasi Freeport, Indonesia harus mampu memaksa Freeport dan pemerintah AS untuk transparan dalam proses negosiasinya. Dan mampu memastikan posisi kedaulatan dan kepentingan bangsa Indonesia di dalamnya sebagai prioritas utama. Sehingga ada beberapa isu strategis yang menjadi dasar negosiasi antara Pemerintah Indonesia dan Freeport:
- Kelanjutan Operasi Pertambangan.
- Penerimaan Negara
- Kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Konsentrat.
- Kewajiban Divestasi.
- Kewajiban Penggunaan Tenaga Kerja.
- Barang dan Jasa pertambangan dalam negeri.
Untuk itu, pemerintahan Jokowi-JK maupun DPR-RI, khususnya Komisi VII, jangan sampai lengah dan kehilangan kewaspadaannya.
Mundurnya Moffett dari pucuk pimpinan Freeport sepertinya hanya sebuah strategi mundur satu langkah untuk maju dua tiga langkah ke depan. Justru hal ini harus dibaca sebagai indikasi adanya manuver politik baru Freeport, dengan mengganti aktor lama Moffet, dengan memunculkan aktor baru, untuk membuka kembali peluang perundingan dengan pihak pemerintah Indonesia.
Yang harus diwaspadai, jangan sampai yang terjadi kemudian adalah mempertahanak kesepakatan lama, tapi dimainkan oleh para aktor-aktor baru baik dari AS maupun Indonesia.
Jika demikian, rakyat Indonesia kembali akan menjadi pihak yang akan dirugikan.
Penulis : Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)