Peresensi: Herdiansyah Rahman, Pengamat Perburuhan dari Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi, Jakarta
Buku ini mengkritisi sejarah gerakan buruh di Indonesia sejak 1912 sampai dengan tahun 2000-an. Penulis memilahnya dalam lima periodisasi gerakan yaitu pertama, periode era sebelum kemerdekaan RI (1900-an-1945). Kedua, periode era awal kemerdekaan RI (1945-1950). Ketiga, periode era Orde Lama (1950-1965), Keempat, periode era Orde Baru (1965-1998) dan kelima, periode era reformasi (1998-2000-an).
Ada sejumlah tokoh gerakan buruh di Indonesia yang turut berjuang meraih kemerdekaan RI antara lain, Semaun, RM Suryopranoto, H Agus Salim, RM Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara, Sosrokardono, Alimin, Tan Malaka, SK Trimurti dll. Pembentukan gerakan buruh pada 1912-an lebih berciri untuk kepentingan politik daripada kepentingan sosial ekonomi, sehingga perjuangan buruh pararel dengan perjuangan parpol yang kala itu sangat radikal.
Salah satu ciri yang menonjol dari serikat buruh di Indonesia adalah jika timbul perpecahan di kalangan parpol berarti pula terjadi perpecahan di kalangan serikat buruh yang berafiliasi dengan parpol tersebut, karena mayoritas pemimpin serikat buruh juga sebagai aktivis atau pemimpin parpol. Hal ini menunjukkan ideologi politik pemimpin buruh yang menjadi pemimpin partai politik menjadi ideologi serikat buruhnya (halaman 3).
Menurut pengamatan peresensi, aksi unjuk rasa buruh yang akhir-akhir ini marak bahkan menuntut kenaikan UMP 2013 mencapai Rp 3,7 juta tidak menutup kemungkinan juga ada “titipan” dari parpol tertentu, apalagi saat ini adalah tahun politik sehingga berbagai jalan di pakai pihak yang bersaing untuk “men-downgrade” lawan-lawan politik atau pesaingnya, termasuk melalui unjuk rasa buruh, sehingga unjuk rasa tersebut tidaklah murni menyuarakan tuntutan buruh, karena sejatinya UMP di Indonesia masih tertinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya.
Pola aliran, paham atau ciri gerakan buruh di dunia pada umumnya yaitu : pertama, trade unionism (aliran murni serikat buruh) bermula di Inggris pada 1868 berpendirian bahwa serikat buruh adalah suatu wahana yang sifat dan lingkup aktivitasnya semata-mata profesional untuk kepentingan buruh seperti upah, waktu kerja, istirahat kerja, syarat kerja, jaminan sosial dan kesejahteraan pekerja lainnya. Contoh trade unionism adalah Trade Union Congress (TUC) di Inggris pada 1886 atau American Federation of Labor Congress of Industrial Organizations (AFL-CIO) pada 1881.
Kedua, Social Democratic Trade Unionism (serikat buruh beraliran politik sosdem) muncul abad ke-20 di Jerman, Austria, Belanda, Belgia, Swiss dan beberapa negara Skandinavia. Serikat buruh ini menganggap pihaknya sejajar dengan parpol. Contohnya, Deutscher Gewerkschaftbund Bundesvorstand (DGB) di Jerman. Serikat buruh beraliran sosdem adalah SBSI dibawah pimpinan Muchtar Pakpahan.
Ketiga, anarcho syndicalism yang berpendirikan serikat buruh dapat mengontrol suatu industri hanya jika ia mempunyai kekuatan ekonomi yang dicapai melalui aksi unjuk rasa anarkis, mogok kerja, tindak kekerasan, aksi radikal atau sabotase. Kaum sindikalis menempatkan pihak pengusaha atau pemerintah sebagai lawan yang harus dilumpuhkan jika tuntutannya tidak dipenuhi. Aliran ini juga disebut “revolutionary unionism”. Contohnya Red Trade Union International (RTUI) yang dibentuk serikat buruh komunis dan anarko synchalism dalam Kongres di Moscow Rusia pada Juli 1921.
Keempat, tendentious trade unionism (aliran gerakan buruh yang berpihak), dimana organisasi buruh menjadi underbow atau organisasi sayap dari parpol tertentu.
Kelima, business unionism atau gerakan buruh beraliran bisnis dengan melakukan aktivitas mensejahterakan buruh melalui gerakan koperasi seperti National Trade Union Congress (NTUC) Singapura (halaman 4-6).
Untuk dapat memodernisasi gerakan buruh atau serikat buruh di Indonesia, maka ada sejumlah kendala yang dihadapi antara lain, pertama, sebagian besar aktivis serikat pekerja Indonesia minim dalam pelatihan kepemimpinan dan ditengarai kurang suka membaca buku (halaman 31). Kedua, beberapa pekerja atau buruh tidak berminat menjadi anggota serikat pekerja dengan alasan kurang mempercayai kepemimpinan serikat pekerja yang sebagian dari mereka dianggap sebagai avonturir dan hanya mementingkan kepentingan pribadi (halaman 32). Ketiga, kelemahan sumber daya finansial merupakan “penyakit kronis” gerakan buruh di Indonesia (halaman 33). Keempat, posisi tawar yang lemah karena antara lain, keanggotaan buruh dalam suatu perusahaan belum padu, kurangnya perunding handal, minimnya dana yang tersedia, kurangnya solidaritas dll (halaman 35).
Menurut peresensi, yang menarik dari buku ini adalah pembaca akan mendapatkan kesan bahwa hampir mayoritas gerakan buruh atau serikat buruh di Indonesia berciri anarko sindakalis terutama mereka yang suka melakukan aksi unjuk rasa anarkis, mogok kerja ataupun aksi dengan memblokir jalan tol, jalan raya utama dan tempat-tempat vital, serta seringkat pekerja yang bersifat tendensius trade unionism karena hanya merupakan underbow parpol bahkan kelompok civil societylainnya.
—————-
Info Buku:
Judul Buku: Seabad Gerakan Buruh Indonesia
Penulis: MS Hidajat
Penerbit: CV Nuansa Aulia
Tebal Buku: 241 halaman (termasuk lampiran dan daftar pustaka)