Resensi Buku: Siapa Bintang Pilpres 2014?

Bagikan artikel ini

Buku yang di tulis oleh Burhanuddin Muhtadi ini menguraikan secara panjang lebar tentang konstelasi dan kontestasi Capres menjelang Pemilu 2014, koreksi yang mendalam terkait sistem Pemilu termasuk urgensi redesign sistem kepartaian, kartel politik dan oligarki parpol, korupsi politik, sampai kepada deparpolisasi dan ancaman golput pada Pemilu 2014.

Fokus buku ini lebih banyak diarahkan pada memotret konstelasi dan prediksi pemilu legislatif dan presiden pada 2014 mendatang, dan buku yang merupakan kumpulan artikel atau makalah yang ditulis oleh Burhanuddin Muhtadi ini menyebabkan terjadinya “pengulangan tulisan” dari bab ke bab atau dengan kata lain akibat keragaman topik yang ditulis, maka terkesan kurang fokus, namun hal ini diakui oleh penulis (halaman 4), namun secara keseluruhan buku ini sangat menarik.

Sisi menariknya dari buku ini adalah banyaknya teori-teori politik dan komunikasi massa yang digunakan untuk menganalisis semua permasalahan yang ditulis atau disajikan dalam buku ini, seperti misalnya dalam mengulas konstelasi dan kompetisi partai dan capres menuju 2014, Burhanuddin Muhtadi memakai teori stabilitas parpol yang dikemukakan Campbell serta teori revolusi media yang disampaikan Michael Bauman. Menurut Campbell dkk (1960), secara teoritis, kontinuitas atau stabilitas parpol dapat terjadi bila pemilih mengidentikkan diri dengan partai.Bila hanya sedikit yang memiliki party ID, dukungan pada partai lemah dan bergejolak, sedangkan berdasarkan teori revolusi media atau telepolitics yang disampaikan Michael Bauman (2007) yaitu bergesernya peran partai dan munculnya dominasi media, terutama TV dalam memersuasi publik (halaman 15).

Menurut Burhanuddin Muhtadi, menjelang Pemilu 2014 dan Pilpres 2014, publik Indonesia dihadapkan pada dua pilihan sulit yaitu pemilih di fait accompli oleh pilihan capres yang “4L (lu lagi lu lagi)” atau nama-nama baru capres yang dinilai memiliki kemampuan baik, bersih dari korupsi dan kejahatan HAM, namun namanya belum muncul kepermukaan (hal 19).

Buku ini jug amenyoroti soal “pernikahan politik” antara Edhie Baskoro Yudhoyono-Aliya Rajasa serta proses mentorship atau dinasti politik. Berdasarkan studi yang dilakukan Dante Simbulan (2007), terhadap elit politik di Filipina tahun 1946 hingga 1963 menunjukkan bahwa dari 169 keluarga berpengaruh, lahir 584 pejabat publik, termasuk 7 presiden, 2 wapres, 42 senator dan 147 anggota DPR. Di India, Filipina dan AS, dinasti politik malah dianggap sebagai proses mentorship dimana tokoh politik akan menularkan pengalamandan “proses pembelajaran” secara langsung kepada anggota keluarganya. Sebaliknya, publik di Indonesia lebih menyoroti aspek negative politik dinasti, yakni macetnya sirkulasi kepemimpinan dan munculnya oligarki karena dominasi segelintir elit (halaman 27).

Capres yang akan maju pada Pilpres 2014 harus mengetahui perilaku pemilih melalui model sosiologis. Asumsi dasar teori ini adalah “siapa kita ekuivalen dengan pilihan kita”. Oleh karena itu, karakteristiksosiologissepertiusia, etnis, agama, gender, pendapatan dan pendidikan menjadi faktor prediksi yang berguna untuk menjelaskan perilaku pemilih (Lazarsfeld, dkk, 1954).

Pilpres 2014 memiliki nilai strategis bukan saja dilihat dari banyaknya stok capres, baik dari kubu tua maupun muda, tetapi juga signifikansinya terlihat dari keharusan adanya regenerasi kepemimpinan nasional. Oleh karena itu, kemenangan parpol yang baik harus karena institusional appeal bukan personal appeal, karena parpol yang terlalu bertumpu pada figur, aka nmudah sekali terhempas oleh gejala gelembung politik (bubble politics). Institutional appeal tergantung kepada persepsi, karena politik adalah persepsi. Dalam politik, perception is much more important than fact. Politik adalah masalah kepercayaan dan legitimasi sosial di mata masyarakat. (halaman 42).

Konvensi yang dilakukan sebuah parpol merupakan salah satu indikator utama demokratisasi internal parpol. Konvensi juga berfungsi sebagai solusi pragmatis, bahkan konvensi terbuka capres bisa menjadi terobosan penting untuk mengembalikan citra partai yang terpuruk. Menurut Serra (2006), proses seleksi calon pejabat public termasuk capres dapat dilakukan dengan dua mekanisme yaitu demokratis atau non demokratis. Model non demokratis biasanya melalui negosiasi pintu tertutup atau dikenal dengan istilah smoke filled rooms yaitu keputusan parpol dimonopoli oleh segelintir pengurusnya tanpa adanya primary elections.

Yang patut diwaspadai di tahun 2014 adalah kemungkinan munculnya gejala deparpolisasi. Deparpolisasi adalah gejala psikologis yang menghilangkan kepercayaan publik atas parpol. Dalam leksikon ilmu politik, gejala ini bisa dilihat dari dua dimensi penghubung pemilih dengan partai : identifikasi diri dengan parpol (dimensiafeksi) dan evaluasi massa pemilih atas fungsi intermediasi partai (dimensirasional), sebagaimana dikemukakan Biorcio dan Mannheimer (1995 : 206-26).

Buku ini juga membahas kerentanan rangkaian proses pemilu yang dapat menimbulkan masalah. Menurut Guy S Goodwin-Gill, ada sepuluh rangkaian dalam proses pemilu yang rentan mendatangkan masalah : 1) sistemdan UU Pemilu 2) pembatasan konstituen 3) pengelolaan pemilu 4) hak pilih 5) pendaftaran pemilih 6) pendidikan kewarganegaraan dan informasi kepada pemilih 7) calon, partai dan organisasi politik, termasuk pendanaan 8) kampanye pemilu, termasuk perlindungan dan penghormatan HAM, pertemuan-pertemuan politik, akses serta liputan media 9) pencoblosan, pemantauan dan hasil pemilu 10) penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa (halaman 93).

Namun, ada prediksi yang menarik dari Burhanuddin Muhtadi yaitu “jika Jokowi dipaksakan maju dalam perhelatan 2014 justru menjadi boomerang, karena akan mengonfirmasi tudingan banyak orang bahwa Jokowi bukanlah figur yang amanah (halaman 90).

Diakhir buku ini, Burhanuddin Muhtadi meminta agar media massa melakukan inisiasi kolektif untuk membantu meningkatkan popularitas tokoh-tokoh yang berkualitas dan memiliki track record baik sehingga bisa dikenal dan dipilih pemilih secara luas. Saat ini, tokoh alternatif belum memiliki bargaining position yang baik, karena popularitasnya sangat rendah dan hanya dikenal oleh kalangan menengah terdidik. Jika peluang tokoh alternatif untuk menang dalamP emilu 2014 kecil, tidak usahlah bermimpi menjadi Presiden (halaman 333).

 

Peresensi:  Otjih Sewandarijatun, alumnus Udayana, Bali

Judul Buku: Perang Bintang 2014 : Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan Pilpres
Penulis:
Burhanuddin Muhtadi (Pengamat Politik Lembaga Survei Indonesia/LSI)
Tahun Terbitan: Pebruari, 2013
Tebal Buku: 341 halaman (termasuk biodata penulis dan lampiran-lampiran)
Penerbit : Noura Books (PT MizanPublika)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com