Resensi Buku: Tidak Jelas, Halaman Kedua Anas

Bagikan artikel ini

Peresensi: Joris Kabo, Pengamat Politik dari Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi Jakarta

Pada intinya, buku ini mengupas tentang kasus-kasus korupsi yang menimpa beberapa pengurus dan kader Partai Demokrat baik di Pusat maupun di daerah.  Kondisi ini berbeda dengan tagline promosi Partai Demokrat pada Pemilu 2009 yang berbunyi “Katakan Tidak Pada Korupsi”. Pada perhelatan Pemilu 2009, tagline “Katakan Tidak Pada Korupsi” memang menjadi berkah bagi Partai Demokrat, karena kebencian dan kemuakan masyarakat terhadap praktik korupsi berhasil dimaksimalkan oleh partai ini untuk mendulang suara. Walaupun, tagline tersebut dikritisi Emerson Juntho dari ICW yang menyatakan, semua yang dilakukan Partai Demokrat dan Presiden SBY adalah pencitraan demi meraih sukses di Pemilu 2009. Namun, kedua penulis melalui buku ini juga mempertanyakan “apakah Partai Demokrat akan eksis atau kalah ketika korupsi mendera tubuh partai ini menjelang Pemilu 2014 mendatang”.

Dalam kode etik Partai Demokrat pasal 11 menyebutkan “Bahwa anggota dan kader Partai Demokrat dilarang memakai kewenangan/kekuasaan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri, organisasi atau orang lain, melakukan permufakatan atau kesepakatan yang merugikan lembaga atau orang lain dan perbuatan yang menguntungkan keluarga atau kroni diatas kepentingan lembaga dan masyarakat”. Namun, ternyata kode etik ini tidak dihargai oleh kader dan pengurus Partai Demokrat terutama yang menjadi terdakwa kasus korupsi.

Kasus-kasus korupsi yang melibatkan pengurus atau kader Partai Demokrat baik di pusat ataupun daerah yang dikupas habis dalam buku ini antara lain, kasus Bank Century (Bagian 2, halaman 19), kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang (Bagian 3, halaman 39) yang melibatkan kader dan pengurus Partai Demokrat seperti Andi Mallarangeng, M. Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Choel Mallarangeng dll, kasus korupsi yang menimpa Hartati Murdaya Poo dalam kasus suap Bupati Buol, Arman Batalipu (Bagian 4, halaman 73), kasus Dispenda Gate yang melibatkan mantan Gubernur Bengkulu dan juga pengurus Partai Demokrat, Agusrin M Najamuddin (halaman 93), kasus korupsi sapi dan mesin jahit Depsos yang melibatkan anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrat, Amrun Daulay (halaman 107), kasus korupsi PLTD dan Kasda Muaro Jambi, As’ad Syam (halaman 115), kasus mark up tanah yang melibatkan Walikota Bukittinggi, Djufri (halaman 119), kasus penyelewengan APBD untuk investasi pribadi yang melibatkan Bupati Situbondo, Ismunarso (halaman 125), kasus Raperda pesanan yang melibatkan Bupati Seluma Bengkulu, Murman Effendi (halaman 129), kasus korupsi terkait pelabuhan Tanjung Api-Api yang melibatkan anggota DPR-RI Sarjan Tahir (halaman 133), kasus korupsi APBD yang melibatkan Bupati Lampung Timur, Satono (halaman 137), kasus korupsi pengadaan tanah perumahan PNS yang melibatkan Bupati Penajam Paser Utara, Yusran Aspar (halaman 143), dan kasus penyimpangan APBD  Simalungun, yang melibatkan Bupati Simalungun, Zulkarnaen Damanik (halaman 147).

Sedangkan, pada bagian 6 yang berjudul “Menanti Halaman Kedua Anas” yang seharusnya menjadi intisari atau daya tarik dari buku ini ternyata tidak mengungkapkan apa “langkah-langkah perlawanan Anas” berikutnya. Bahkan, dalam bagian ini juga dijelaskan bahwa Anas Urbaningrum hanya menjadi korban penandatanganan pakta integritas dan korban strategi “stick and carrot” yang dilakukan petinggi Partai Demokrat yang kurang suka dengan Anas Urbaningrum. Namun, ada juga halaman yang menunjukkan pernyataan Anas yang masih menyatakan Presiden SBY bagaikan ayahnya sendiri. Sedangkan pada bagian 7 yang berjudul “Jangan Bakar Rumahnya, Usir Saja Tikusnya” pada intinya mendukung langkah Partai Demokrat membersihkan partainya dari kader-kader yang koruptor sebelum Pemilu 2014 dilaksanakan.

Buku ini tidak berhasil atau tidak menjawab rasa keingintahuan masyarakat terkait “apa yang dimaksud dengan halaman kedua oleh Anas Urbaningrum”. Hal ini terjadi karena buku ini hanya merupakan analisis wacana terhadap berita-berita yang dimuat terutama di media massa cetak dan situs berita online baik di pusat maupun di daerah. Kedua penulis gagal melakukan interview secara khusus dengan Anas Urbaningrum untuk mengetahui “apa halaman kedua” tersebut.

Kegagalan penulis juga disebabkan karena buku ini sebenarnya “menulis dan menata ulang” berita-berita atau artikel yang ada di beberapa media massa cetak dan situs berita atau online yang memberitakan masalah ini, tidak ada upaya-upaya dari penulis untuk memperkuatnya dengan misalnya melakukan wawancara ataupun mengkaji setiap berita tersebut melalui analisa wacana, analisa konten ataupun analisa berdasarkan teori-teori media dan teori-teori komunikasi lainnya.

Buku ini hanya berusaha untuk mengupas kasus-kasus korupsi yang dilakukan oknum pengurus ataupun kader Partai Demokrat, sehingga beredarnya buku ini hanya menguntungkan parpol pesaing Partai Demokrat pada Pemilu 2014, dimana buku ini dapat dijadikan bahan propaganda buat mereka. Namun, disisi yang lain, tidak menutup kemungkinan akan ada buku yang juga mengupas kasus-kasus korupsi yang melibatkan oknum pengurus atau kader parpol lainnya. Jika kondisi ini terjadi, ancaman golput pada Pemilu 2014 akan semakin meningkat, yang dapat menggerus legitimasi pemenang Pemilu 2014.

Judul Buku: “Menanti Halaman Kedua Anas”
Penulis: Iswara N Raditya dan M. Aref Rahmat
Penerbit: Media Pressindo, Yogyakarta
Tahun Terbitan: 2013
Tebal Buku: 199 halaman termasuk daftar isi dan daftar pustaka

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com