Residu Kemenangan Putin untuk Kita

Bagikan artikel ini

Prof. DR. Yuddy Chrisnandi, M.E., Duta Besar LBBP RI untuk Ukraina, Armenia, dan Georgia

Hasil pemilu presiden (pilpres) di Rusia tidak mengejutkan. Jauh-jauh hari beberapa pengamat politik internasional mengamini bahwa Putin akan memenangi pilpres Rusia 2018. Seperti saya kutip dari tulisan bulan lalu oleh Adam Taylor, salah seorang pengamat politik eropa timur yang juga seorang kontributor Washington Post, ia menyampaikan bahwa Putin akan memenangkan pilpres kembali. Menurut Taylor tingkat popularitas Putin terus naik sejak tahun 1999 hingga tahun 2017 mencapai 81%. Putin sudah dianggap menang bahkan sebelum pilpres diadakan.

Saya menaruh perhatian pada situasi demokrasi dan bernegara di Rusia. Seperti kita ketahui, Putin memenangi pilpres dengan perolehan suara 76% sedangkan pesaing terberatnya, Pavel Grudinin, hanya mampu mengumpulkan suara 11%. Empat penantang lainnya masing-masing tidak lebih dari 1%. Angka yang sangat meyakinkan untuk menyebut kemenangan yang telak. Tingkat partisipasi pemilih rakyat Rusia menunjukkan peningkatan cukup signifikan dibanding pemilu legislatif tahun 2016 sebesar 47,81% menjadi sekitar 67% pada pilpres kali ini. Saya berpandangan bahwa antusiasme pemilih pada pilpres di Rusia menunjukkan tingkat kepercayaan rakyat kepada Putin. Bagaimana ini bisa terjadi? Sedang kita ketahui, Putin sering menjadi bulan-bulanan komunitas internasional disebabkan oleh berbagai kebijakannya.

Kepemimpinan Putin dan Harga diri Rusia

Diskusi kebijakan publik sering menggunakan frasa “pemimpin otentik” untuk menyebut pemimpin yang ideal. Saya sendiri menggunakan term tersebut untuk menyebut pemimpin yang memiliki karakter yang kuat. Kuatnya sebuah karakter kepemimpinan terbentuk oleh tempaan pengalaman dan orisinalitas berpikir. Pemimpin yang berpengalaman akan mengeluarkan keputusan-keputusan yang bijak. Pemimpin yang bijak membaca masa lalu untuk mengamankan masa depan. Mereka tidak reaktif terhadap sebuah peristiwa namun akan dengan tenang memberikan solusi paling tepat dan efisien. Orisinalitas berpikir akan menciptakan kebijakan yang inovatif, solutif, dan mampu mengakomodasi berbagai kepentingan. Muaranya pada kepuasan komunal yang dipimpin. Di alam demokrasi kepuasan tersebut dapat dibuktikan dengan dipilihnya kembali seorang pemimpin pada periode berikutnya.

Saya menduga, Putin memiliki karakter pemimpin yang otentik. Secara kuantitif dibuktikan dengan kepercayaan 56 juta rakyat Rusia (dari total suara sah nasional sekitar 73 juta) yang memilih dia kembali sebagai Presiden. Dilihat pengalaman, Putin bukan seorang migrator politik, ia konsisten berada di ranah pemerintahan. Ia memiliki pengalaman panjang sebagai bagian dari pemerintah Rusia. Sejak tahun 1975 ia sudah menjadi anggota elit intelijen yang dulu disebut KGB. Tahun 1998 ia dipercaya memimpin organisasi tersebut. Kemudian pada tahun 1999 menjadi perdana menteri, setahun kemudian masuk Kremlin sebagai presiden terpilih Rusia. Sempat menjadi perdana menteri kembali pada tahun 2008 akibat batasan konstitusi untuk masa jabatan Presiden. Berkat kelihaiannya, setelah konstitusi Rusia tentang masa jabatan presiden berubah, ia kembali lagi menjadi Presiden Rusia pada tahun 2012. Catatan saya, di era milenial, Putin adalah presiden satu-satunya di dunia yang menjabat paling lama, 4 kali masa jabatan. Uniknya, jabatan tersebut terus bertahan melalui jalan demokrasi.

Episode pemerintahan Putin bukan tanpa plot-plot masalah. Boleh dikatakan perjalanan rezim Putin sebagai petualangan pemerintahan yang penuh risiko. Beberapa kali Rusia menjadi bahan bullying negara lain, utamanya negara-negara Barat. Sanksi ekonomi, embargo untuk berbagai sektor, dan komentar pedas pemimpin-pemimpin dunia, sepertinya adalah hidangan sehari-hari di atas meja makan pemerintahan Putin. Bagi saya, yang mengesankan, setiap tantangan yang di hadapi oleh pemerintah Rusia justru semakin menambah kepercayaan diri Putin menghunuskan kebijakannya semakin dalam. Putin tak peduli dengan serangan bertubi dari luar. Baginya anjing menggonggong kafilah berlalu. Ia mampu menghimpun simpul-simpul kekuatan internal untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kepentingan Rusia di atas segalanya. Itulah letak kekuatan Putin yang sebenarnya.

Tak ada pemimpin yang kuat tanpa dukungan rakyat yang kuat. Seni Putin dalam memimpin menghipnotis rakyat untuk bangkit rasa nasionalismenya. Putin mengembalikan kenangan masa lampau rakyat Rusia akan kejayaan kekaisaran Tsar. Rakyat melihat sosok Presiden mereka sebagai gambaran jati diri mereka sendiri. Oleh karena itu, Putin, dengan segala artikulasi kebijakan yang sering membuat pertarungan terbuka dengan negara lain, justru mendapat dukungan dari rakyatnya. Saya melihat karakter Rusia yang keras pada kebijakan tertentu dan tidak reaktif pada kebijakan yang lain sebagai sebuah positioning untuk menunjukkan harga diri sebuah bangsa. Putin bersama rakyatnya ingin menunjukkan kebangkitan Rusia sebagai polar kekuatan dunia.

Makna Kemenangan Putin

Kemenangan Putin memiliki makna geopolitik di kawasan Eropa Timur. Khususnya di Ukraina, tempat saya bertugas, hasil pilpres Rusia tidak akan mengubah banyak keadaan. Seperti bidang ekonomi, relasi keduanya, saya gambarkan seperti melihat topi sulap ajaib. Dilihat dari luar sepertinya kosong, namun jika tangan kita masukkan ke dalam, ada seekor kelinci putih. Ilustrasi tersebut menggambarkan hubungan dagang kedua negara yang dulu satu union ini. Ada relasi perdagangan yang masih terus terjadi namun untuk mengetahuinya kita perlu masuk ke dalam. Seperti contohnya komoditi gas, Rusia sebagai penghasil gas terbesar di kawasan tidak menjual secara langsung kepada Ukraina, begitu pun dengan Ukraina yang membutuhkan pasokan gas untuk industri dan rumah tangga, mereka tidak membeli langsung dari Rusia. Bagaimana caranya? Rusia akan menjual gas ke Poland lalu Poland akan menjual kembali gas tersebut ke Ukraina. Konsekuensinya harga gas yang harus dibayar oleh Ukraina menjadi lebih mahal.

Ukraina saat ini di pimpin presiden Poroshenko yang dikenal pro barat. Gestur politik tersebut bukan tanpa manfaat. Poroshenko gencar mendekati barat, dalam hal ini Uni Eropa (UE), untuk mendapatkan back up. Memang usaha itu ada hasilnya, seperti jaminan UE yang akan terus memasok kebutuhan gas ke Ukraina. Belum lagi manfaat lain yang diterima Ukraina dari negara barat, seperti kucuran hutang dari IMF, yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Ukraina. Juga dalam urusan politik, Ukraina mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat (AS), Inggris, dan UE, ketiganya mengecam tindakan Rusia di Crimea. Kecaman tersebut bahkan berlanjut menjadi embargo ekonomi dan militer.

Menurut saya gejolak wilayah perbatasan di Crimea, Donesk, maupun Luhanks masih akan terus berlangsung. Rezim Poroshenko belum akan melumer untuk mengikhlaskan ketiga wilayah yang diduga kaya sumber daya itu. Apalagi Putin, Kaisar Tsar era milenial ini, yang masih kencang memegang prinsip kedaulatan wilayah. Saya kira konflik di wilayah yang secara de jure milik Ukraina ini belum akan rampung dalam satu dekade kedepan.

Sementara itu, untuk kita Indonesia, saya melihat demokratisasi Rusia yang semakin progresif adalah contoh yang baik. Secara empiris, saya membaca laporan yang menyebutkan bahwa saat pilpres berlangsung, Rusia mengundang banyak LSM, organisasi pengawas pemilu internasional, perwakilan komisi pemilihan umum dari negara-negara demokrasi, termasuk perwakilan KPU RI dan Bawaslu RI untuk mengawasi pelaksanaan pilpres mereka. Beberapa laporan dari lembaga itu menyebutkan pelaksanaan demokrasi di Rusia berlangsung aman dan terbuka. Keberhasilan pilpres kali ini tentu tidak lepas dari campur tangan Putin. Komitmen pemerintahan Putin untuk melakukan pilres yang terbuka, secara jujur, patut di apresiasi. Walaupun banyak negara barat yang menyangsikan ke-demokratis-an Rusia, saya berpandangan, secara substansial mereka sudah melakukan pemilu yang terbuka dan adil. Kemenangan Putin dapat disiarkan sebagai kemenangan besar demokrasi ala Rusia.

Berbagai sumber mengatakan akan terjadi power shifting di kawasan Eropa, dari yang UE center menjadi Rusia center. Sementara itu kegagahan AS sebagai leader global akan semakin meredup di tengah percepatan munculnya kekuatan baru di asia dan eropa timur. Rusia adalah negara kunci di kawasan eropa timur. Kepemimpinan Putin untuk 6 tahun ke depan, saya prediksi, akan mampu membawa Rusia naik tingkat. Jika itu benar terjadi, tidak salah Indonesia mulai menyiapkan strategi untuk mengadaptasi perubahan peta kekuatan politik global. Kiblat kita tidak harus terus ke barat. Elit kita sebaiknya sudah mulai berpikir, atau lebih jauh mengambil aksi, untuk mengubah arah kompas keberpihakan relasi internasional.

KOMPAS: Sabtu, 24 Maret 2018

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com