Rusia Ingatkan ASEAN untuk Berhati-Hati dalam Indo Pasifik

Bagikan artikel ini

Dalam sebuah wawancara antara Perdana Menteri Rusia Medevedev dengan Bangkok Post selama kunjungannya ke Thailand untuk menghadiri KTT ASEAN baru-baru ini, Rusia memberikan sinyal negatif terhadap konsep “Indo-Pasifik” AS. Rusia meyakini bahwa konsep tersebut berpotensi mengurangi sentralitas blok dalam percaturan kawasan bahkan bisa menekan anggotanya untuk meninggalkan posisi historis mereka sebagai negara “non-blok”. Namun, sikap Rusia ini tidak boleh diartikan sebagai bentuk penentangannya terhadap tujuan strategi perdagangan bebas yang dideklarasikan secara publik dan peningkatan konektivitas kawasan.

Banyak pengamat politik internasional memaklumi sikap Menteri Luar Negeri Rusia Lavrov yang mengecam konsep “Indo-Pasifik” AS sebagai konstruksi “yang dipaksakan secara artifisial” pada Februari lalu. Namun demikian, pihaknya mengingatkan kepada negara-negara di ASEAN agar tidak melupakan sejarah masa lalu dan berprinsip untuk tidak memihak. Dalam kunjungannya di KTT ASEAN di Thailand, Perdana Menteri Medvedev mengingatkan negara-negara anggota ASEAN agar tidak melupakan prinsip mereka di masa lalu yang sebagian besar adalah anggota Negara Non-Blok.

Dalam sebuah wawancara, Medvedev menyatakan “itu dapat melemahkan posisi Asosiasi dan melepaskan statusnya sebagai pemain kunci dalam mengatasi masalah keamanan regional”, serta “berselisih dengan prinsip-prinsip dasar ASEAN, seperti status tidak ngeblok dan tidak memihak.” Namun yang menjadi kekhawatiran Rusia pun cukup beralasan mengingat, pertimbangan tingkat koordinasi ASEAN dan mitra India yang berbeda dengan AS melalui inisiatif ini, yang disinyalir mengecualikan Cina dan Rusia dari wilayah besar ini. Juga, tak satu pun dari yang konsep pendahulunya tentang Asia-Pasifik telah dilakukan, sehingga masuk akal kalau Moskow menentang penggantiannya dengan “Indo-Pasifik”.

Selain itu Rusia pun mewanti-wanti agar negera-negara ASEAN berhati-hati terkait keterlibatannya dalam “Indo-Pasifik” karena mempercayai bahwa strategi ini bisa memajukan kepentingan mereka. Bahkan Rusia mensinyalir, tak satu pun negara-negara tersebut secara terbuka dan terang-terangan mengakui akan menggandeng Cina atau mengecualikan Rusia dari wilayah yang lebih luas ini.

Meski Rusia skeptis terhadap konsep “Indo-Pasifik” tidak berarti bahwa Rusia tidak tertarik pada beberapa konsep lainnya seperti meningkatkan perdagangan dengan banyak negara di wilayah Rimland yang luas ini, bagaimanapun, karena Medvedev menguraikan cara bagaimana Moskow memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara. Beberapa metode termasuk kerja sama militer yang lebih dekat (dan terutama angkatan laut), kemungkinan ekspor teknologi pembangkit listrik tenaga nuklir terapung, dan penetapan perjanjian perdagangan bebas antara Uni Eropa (EAU) dan beberapa anggota ASEAN seperti Brunei, Kamboja, Filipina, dan Thailand dalam rangka memperluas jangkauan regional dari yang sudah ada dengan Vietnam. Pendekatan yang disebutkan terakhir dimaksudkan untuk memajukan Kemitraan Eurasia Raya yang dipandang Rusia dapat menggantikan posisi “Indo-Pasifik”.

Bagi Rusia, Kemitraan Euroasia Raya sangat strategis karena tidak hanya ditujukan terhadap negara ketiga terpai juga “tentang menciptakan seluruh ruang ekonomi dan budaya di mana orang dapat dengan bebas berkomunikasi, berdagang, bepergian dan menemukan peluang baru untuk diri mereka sendiri.” Pada dasarnya, Kemitraan Eurasia Raya dapat mewujudkan prinsip-prinsip “Indo-Pasifik ”yang dideklarasikan secara publik yang dirusak oleh tujuan-tujuan AS yang tidak dinyatakan oleh para pemimpin Amerika melawan Cina dan Rusia. Rusia pun piawai membaca konstelasi kawasan dengan “mempromosikan” konsep Euroasia Raya tersebut sekaligus sebagai modalitas untuk mengimbangi konsep Indo Pasifik AS.

Hal lain yang menarik untuk dicermati adalah terbentuknya kemitraan global yang baru Vladivostok-Chennai Maritime Corridor (VCMC) sebagai “Busur Laut Asia” yang menghubungkan kota pelabuhan Timur Jauh dengan ASEAN (dan tentu saja lebih jauh dari India). Dengan demikian, Rusia bisa bisa menjadi pemain yang lebih aktif dalam kostelasi di kawasan yang “berbeda” dengan keinginan “Indo-Pasifik” AS.

Namun, nilai strategisnya adalah bahwa Rusia juga akan terus melakukan “diplomasi militer” di sana dengan menjual lebih banyak senjata ke negara-negara ASEAN termasuk kemungkinan ekspor rudal jelajah supersonik Brahmos. Semua ini tidak lain adalah untuk menyeimbangkan kemampuan mereka dengan Cina sehingga dapat juga memfasilitasi resolusi politik dari perselisihan teritorial mereka di Laut Cina Selatan. Tidak seperti tujuan pengiriman senjata AS, yang-di mata Rusia-bertujuan untuk mengacaukan keseimbangan ini demi mitra regional AS.

Dalam memperkuat status “non-aligned” netral mereka, Rusia bahkan mungkin memasukkan negara-negara ASEAN dalam “Gerakan Non-Blok baru” (Neo-NAM) yang beberapa ahli strategi membayangkan juga dengan melibatkan India. Pun dermikian, terlepas dari maksud baik Rusia mempromosikan perdamaian dan stabilitas di sudut tenggara Eurasia, negara seperti Cina dapat memahami segala sesuatu dengan cara yang berbeda karena Rusia secara obyektif akan meningkatkan kemampuan militer negara-negara ASEAN atas Cina sekaligus mendorong mereka untuk menyatukan upaya bersama dalam membangun “keseimbangan” antara Cina dan AS.

Memang, konstelasi internasional saat ini tengah berubah cepat terutama dimotori oleh AS, Cina dan Rusia yang jadi poros kekuatan ekonomi dan politik terkuat dewasa ini. Bahkan, politik internal AS mengharuskan Trump untuk segera (dalam empat tahun) mewujudkan janji yang sudah diucapkannya dan yang terpenting harus ada dampak yang bisa dirasakan dalam pertumbuhan ekonomi, pekerjaan dan investasi. Sehingga, kebijakan-kebijakan Trump telah mengubah relasi politik internasional dari kerja sama multilateral menjadi bilateral. Ini juga mengubah interaksi dan negosiasi negara-negara dari yang awalnya kerja sama dengan mengedepankan nilai dan konsensus bersama menjadi persaingan yang mengedepankan kompetisi. Tentu saja, negara-negara adidaya lainnya juga tengah bersiap dan bahkan sudah jauh-jauh hari menyongsong segala kemungkinan perubahan dalam percaturan politik internasional.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com