Saat-Saat Kritis dan Genting Bagi AS dan Keberlangsungan TPP

Bagikan artikel ini

Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Gara-gara tidak hadir pada Konferensi Tingkat-Tinggi forum ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bali awal Oktober lalu, peran kepemimpinan Amerika di kawasan Asia Pasifik mulai kehilangan kepercayaan para sekutunya. Terutama negara-negara yang sedang digalang Washington melalui forum Kemitraan Lintas Pasifik (Trans Pacific Partnership-TPP).

Hilangnya pamor dan peran kepemimpinan AS di Asia Pasifik, utamanya di forum APEC, tentu saja merupakan ancaman yang cukup serius mengingat kenyataan bahwa Cina sebagai negara adidaya baru yang sedang bangkit baik secara ekonomi maupun pertahanan (the emerging Giant). Dengan begitu, Cina telah mencuri momentum tersebut dengan sebaik-baiknya, untuk mengambil-alih peran kepemimpinan AS di hadapan negara-negara anggota APEC.

Lebih celakanya lagi, AS pun juga mengabaikan pentingnya keikutsertaannya pada forum East Asia Summit yang notabene merupakan forum sempalan (splinter forum) yang digagas AS, Australia dan Jepang, sebagai forum negara-negara Asia Pasifik di luar skema APEC, yang dimaksudkan Washington untuk memecah-belah persatuan dan soliditas negara-negara ASEAN dan APEC.

Inilah aspek penting dari ketidakhadiran Presiden Obama ke KTT APEC Bali 2013. Potensi kehilangan kepercayaan dan peran kepemimpinan AS dalam waktu dekat, sebagai dampak absennya Obama hadir di KTT APEC. Karena itu tak heran bebeberapa media massa berpengaruh di kawasan Asia Pasifik, menyorot kemungkinan Cina mengambil-alih situasi vakum menyusul hilangnya kepercayaan sekutu-sekutunya di kawasan Asia Pasifik dan East Asia Grouping.

Namun, benarkah AS-Asia sudah terputus menyusul absenya Obama di Bali? Sepertinya memang begitu. Presiden Cina Xi Jinping telah berkunjung ke Malaysia dan Indonesia dalam waktu dekat. Ini perkembangan yang cukup signifikan, mengingat selama ini Malaysia sebagai negara yang juga termasuk salah satu anggota Perhimpunan Negara-Negara Persemakmuran (Common Wealth) eks koloni Kerajaan Inggris, merupakan salah satu sasaran strategis Washington untuk digalang sebagai mata-rantai pengaruh AS di TPP.

Sedangkan kunjungannya ke Indonesia, tentu saja semakin krusial bagi Washington. Pengaruh Indonesia yang amat besar di kawasan Asia Tenggara, baik dari jumlah penduduk maupun nilai strategis geopolitiknya, kemitraan strategis yang berhasil dibangun antara Indonesia dan Cina, tentu saja satu pukulan yang cukup mematikan bagi pengaruh kepemipinan AS di Asia Pasifik, dan pamor Presiden Obama pada khususnya.

Indikasi kea rah semakin eratnya hubungan Cina dengan Indonesia maupun Malaysia nampaknya memang semakin nyata. Melalui kesepakatan bilateral Cina dengan Indonesia, Cina telah sepakat mengeluarkan bantuan keuangan sebesar 15 miliar dolar AS. Sedangkan kepada Malaysia, Beijing sepakat untuk melipat-tigakan kerjasama perdagangannya kepada Malaysia sehingga diharapkan mencapai nilai 160 miliar dolar AS pada 2017 mendatang.

Washington pun semakin cemas ketika Perdana Menteri Keqiang kemudian berkunjung ke Vietnam, Thailand dan Brunei Darussalam. Padahal Vietnam merupakan salah satu andalah AS untuk digalang sebagai sekutu baru Washington bukan saja di bidang ekonomi-perdagangan, melainkan juga melalui kerjasama pertahanan. Atas dasar kekhawatiran dan kecemasan bersama terhadap semakin menguatnya Cina sebagai negara adidaya baru di Asia Pasifik baik secara ekonomi maupun militer.

Sedangkan Brunei, selain Malaysia, karena eks negara jajahan Inggris, sudah barang tentu tetap berada dalam pengaruh Inggris yang notabene merupakan sekutu tradisional Amerika. Sehingga kunjungan Perdana Menteri Cina ke Brunei pun, bisa berpotensi mengacaukan skenario yang sudah dirancang Presiden Obama untuk membangun blok ekonomi baru asia pasifik baru (TPP) untuk menandingi forum APEC.

Dalam situasi demikian, makna strategis kunjungan Perdana Menteri Cina ke Brunei, akan menciptakan pergeseran kekuatan baru di kawasan Asia Tenggara, karena bukan tidak mungkin, Inggris lah yang akan tampil ke depan, mengambil-alih peran kepemimpinan di Asia Pasifik, menyusul menyurutnya pengaruh AS menyusul absennya Obama di KTT Bali awal Oktober lalu.

Lepas dari itu semua, perundingan antara Washington yang sejatinya mewakili dan melayani kepentingan korporasi-korporasi besar AS di beberapa sektor bisnis strategis, dengan ke 12 negara yang tergabung dalam TPP, memang masih cukup alot. Seperti aturan-aturan hukum dan kesepakatan antara Badan Usaha Milik Negara, Lingkungan Hidup, Hak Milik Intelektual (Intellectual Property Right), Perburuhan, Akses Pasar, maupun aturan-aturan hukum jika terjadi pertikaian hukum (legal dispute) antara investor Asing dan negara tuan rumah.

Karenanya, saat krusial bagi AS seperti ini, ketidakhadiran Obama di forum APEC maupun TPP melalui East Asia Summit, maka Obama kehilangan momentum untuk memainkan peran pada fase-fase akhir dari permainan (The Endgame) tersebut. Apalagi isu akses pasar AS bagi Vietnam dalam produk sepatu dan tekstil merupakan aspek yang belum disepakati antara AS dan Vietnam.

Sedangkan bagi Vietnam sepertinya dua isu ini mutlak harus disetujui oleh Washington.
Bukan itu saja. Bagi AS nampaknya juga berat jika negara-negara yang tergabung dalam TPP mendesak Washington membuka akses pasarnya di sektor gula dan kapas.

Padahal, gagasan di balik pembentukan TPP, adalah agar pemerintah AS bisa melindungi perusahaan-perusahaan Amerika dalam persaingan dengan negara-negara lain, baik di dalam negeri maupun dalam berinvestasi ke luar negeri.
Belum lagi di sektor industri auto mobile, AS nampaknya keberatan jika harus memberi konsesi lunak kepada negara-negara anggota TPP.

Begitupun, AS nampaknya menyadari betapa gentingnya situasi untuk segera membuat keputusan-keputusan seputar isu krusial tersebut. Bahkan Gedung Putih pun telah mengadakan lobi-lobi dengan beberapa LSM (Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat) yang termasuk Pemangku Kepentingan/Stakeholder terkait isu-isu strategis tersebut.

Bagi Presiden Obama, persetujuan dari Kongres terkait new trade promotion authority nampaknya juga tak kalah penting, karena outputnya akan jadi Undang-Undang sebagai perangkat hukum Kongres untuk mencanangkan apa saja yang akan dijadikan sektor-sektor apa saja yang akan dijadikan prioritas perdagangan negara Paman Sam tersebut. Sehingga sekaligus jadi arahan kebijakan bagi korporasi-korporasi besar AS dalam menjalin kerjasama strategis dengan negara-negara yang tergabung dalam TPP.

Satu hal sudah pasti. Absennya Obama hadir pada KTT APEC, kerusakan sudah tidak bisa diperbaiki lagi dan bersifat permanen. Selain telah memupus kepercayaan para sekutunya di Asia Pasifik maupun mitra dagangnya (trading partner), AS pun nampaknya akan kehilangan momentum untuk menjalin kerjasama strategis bersama Korea Selatan, yang jika terwujud, kesetaraannya bisa menyamai kerjasama strategis yang sudah terjalin antara AS dan Jepang sejak berakhirnya Perang Dunia II dan dimulainya Perang Dingin sejak Dekade 1950-an.

Lagi-lagi, sebuah kerugian besar bagi AS, karena Korea Selatan akan jadi mata-rantai pengaruh AS di Asia Pasifik lewat forum TPP sebagai tandingan APEC maupun ASEAN.

Trend baru ini, kiranya perlu kita cermati bersama, karena pada perkembangannya juga akan berpengaruh pada konstalasi konflik militer yang kian menajam antara AS dan Cina di Laut Cina Selatan. Karena dalam mencapai konsesi ekonomi dan perdagangan dengan Cina, pastilah Cina akan memaksakan konsesi-konsesi kepentingannya di wilayah Laut Cina Selatan dan Timur. Khususnya terkait dengan wilayah-wilayah sengketa perbatasan (border dispute) antara Cina dengan beberapa negara ASEAN, yang notabene juga merupakan negara-negara anggota APEC dan TPP.

Situasi semacam ini, amat berpotensi untuk semakin menajamkan perang pengaruh, dan bukan tidak mungkin, proxy war (perang perpanjangan tangan), antara AS versus Cina di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara.

Beberapa Rujukan Untuk Pendalaman Studi:
1.    http://www.eastasiaforum.org/2013/10/15/crunch-time-for-the-tpp-and-for-us-leadership-in-asia/
2.    http://www.eastasiaforum.org/2011/07/25/the-tpp-a-model-for-21st-century-trade-agreements/
3.    Saurabh Gupta, http://www.eastasiaforum.org/2013/01/06/will-the-tpp-facilitate-or-disrupt-supply-chains/
4. Kyla Tienhaara, http://www.eastasiaforum.org/2011/04/25/preserving-the-right-to-regulate-in-the-trans-pacific-partnership-agreement-and-beyond/
5.    Luke Notfage, http://www.eastasiaforum.org/2011/04/26/what-future-for-investor-state-arbitration-provisions-in-asia
6.    http://blogs.usyd.edu.au/japaneselaw/2010/08/fostering_a_common_culture_in.html

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com