Saatnya Indonesia Akhiri Keanggotaan di WTO

Bagikan artikel ini

Penulis: Ferdiansyah Ali, Program Manager Global Future Institute (GFI)

Sebagaimana diketahui, Indonesia telah terpilih untuk menjadi tuan rumah berlangsungnya Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ke-9 yang diselenggarakan di Bali pada tanggal 3-6 Desember 2013. Negara-negara anggota WTO diperkirakan bakal mendorong lahirnya kesepakatan Paket Bali (Bali Package) yang mencakup soal isu fasilitasi perdagangan, negara-negara miskin, dan sektor pertanian.

Seperti negoisasi terdahulu di dalam WTO terutama terkait pertanian, maka bisa diperkirakan bahwa Paket Bali masih akan terus memperkuat dominasi pengaruh negara-negara maju dan perusahaan multinasional terhadap sebagian negara lainnya. Dan semakin membuktikan bahwa WTO tidak bekerja untuk kepentingan rakyat, khususnya petani.

Bisa kita lihat, dalam Paket Bali yang dibicarakan di Jenewa akhir November ini, WTO kembali memenangkan usulan negara maju, ‘peace clause’ tentang penghapusan pembatasan subsidi pertanian bagi negara berkembang untuk kepentingan public stockholding demi ketahanan pangan, yang akan dimasukkan ke dalam draft teks pertanian dan akan dibawa ke meja negosiasi KTM WTO ke-9 di Bali saat ini.

Skema ‘peace clause’ tersebut diajukan untuk menyiasati atas inisiatif kelompok G33 untuk subsidi pertanian yang dituding menjadi masalah. Usulan subsidi pertanian negara berkembang yang hanya 10-15 persen dianggap menyalahi aturan pertanian WTO [Agreement on Agriculture (AoA) pasal 6]. ‘Peace clause’ adalah ketentuan untuk mengecualikan sementara aturan dalam negosiasi sehingga negara berkembang bisa lepas dari sanksi. Tetapi, ‘peace clause’ tidak memenangkan kepentingan negara berkembang dan sektor pangan dan pertanian secara umum, terlebih hanya dengan jangka waktu terbatas 4 tahun.

Ini adalah kesekian kalinya negara-negara berkembang dikalahkan oleh negara-negara maju dalam negoisasi WTO tersebut. Negara berkembang tak kuasa meningkatkan subsidi pertaniannya. Di sisi lain, negara maju secara leluasa dapat meningkatkan subsidi pertaniannya.

Berdasarkan data Serikat Petani Indonesia, di Indonesia subsidi ketahanan pangan dan stabilisasi harga pangan pada 2012 hanya sebesar US$ 4,36 milyar, plus subsidi untuk raskin dan pupuk sebesar US$ 1,60 milyar. Sementara itu, jumlah subsidi pertanian di negara maju sangat kontras keadaannya: subsidi pertanian AS pada tahun 1995 “hanya” sebesar US$ 46 milyar dan pada 2010 meroket hingga US$ 120 milyar. Begitu juga dengan Uni Eropa, pada 1995 subsidi pertaniannya sebesar € 19 milyar, lalu pada 2010 meningkat drastis hingga € 64 Miliar. Inilah penjelasan di balik murahnya produk pertanian asal negara maju yang membanjiri pasar domestik kita. Inilah kekalahan besar negara berkembang di WTO.

18 Tahun WTO Tak Bermanfaat Buat Indonesia

Berdasarkan ratifikasi Agreement Establishing World Trade Organization (WTO Agreement) melalui Undang-undang No.7 Tahun 1994, Indonesia resmi merupakan Negara anggota WTO. Bergabungnya Indonesia dalam WTO diharapkan mampu menjadikan perdagangan internasional dalam meningkatkan kesejahteraan. Namun faktanya, sejak masuk dalam WTO, beban Indonesia justru semakin berat akibat peraturan yang hanya menguntungkan negara-negara industri, seperti Amerika Serikat (AS), Eropa dan sebagainya.

Dua kebijakan terakhir yang ‘menuai’ gugatan di WTO salah satunya adalah aturan pengetatan impor hortikultura dan pemberlakuan kuota impor daging sapi. Selain pembatasan impor daging Indonesia, AS mengeluhkan pengetatan impor produk hortikultura oleh Indonesia. Kebijakan pengetatan impor tersebut dinilai merupakan bentuk dan upaya melindungi industri dalam negeri. Cara-cara seperti ini dinilai Amerika Serikat melanggar aturan WTO.

Kebijakan kuota ekspor dan impor oleh WTO semakin membuat negara Indonesia seperti tidak punya kendali lagi untuk mengatur perdagangan dalam negeri. Padahal sebagai negara berdaulat, pemerintah berandil besar menetapkan setiap kebijakan yang mendorong petani maupun pedagang lokal.

Seperti yang pernah penulis sampaikan pada artikel terdahulu “Indonesia Negeri Dalam Takaran Asing” (http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=11531&type=4#.Up2zPidTfkY), dimana penulis sampaikan bahwa keanggotaan Indonesia di WTO telah membuka jalan bagi perusahaan multinasional memonopoli usaha perbenihan dan pangan. Misalnya menyebutkan di pasar internasional terdapat empat pedagang besar yang disebut “ABCD”, yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90 persen pangsa perdagangan serealia (biji-bijian) dunia. Struktur pasar komoditas pangan juga memiliki kecenderungan oligopolistik.

Dan juga kartel terjadi pada industri pangan dan impor. Indikasinya, satu per satu perusahaan makanan domestik diakuisisi perusahaan asing. Misalnya, Aqua diakuisisi Danone (Prancis), ABC diakuisisi Unilever (Inggris), dan Kecap Bango dikuasai Heinz (Amerika). Sementara itu, tren misalnya pada impor daging mayoritas rupanya dari Australia, bawang putih dari Tiongkok, dan bawang merah dari Filipina.

Dari gambaran diatas, dapat disimpulkan WTO telah gagal untuk mewujudkan pembangunan yang membuat rakyat sejahtera, khususnya pada sektor pangan dan pertanian. Dan, ketidakadilan perdagangan internasional yang terus berlangsung dalam praktik liberalisasi telah menggerus kedaulatan pangan di negeri ini.

Abaikan KTM WTO ke-9 di Bali

Dalam penyelenggaraan KTM WTO yang dilaksanakan di Bali pada tanggal 3-6 Desember 2013 ini, banyak kekhawatiran yang dirasakan khalayak bahwa Indonesia hanya tekesan ingin menjadi tuan rumah yang baik. Sementara negoisasi terhadap kepentingan nasional bangsa ini lepas begitu saja.

Bisa dirasakan, pertemuan KTM WTO ke-9 di Bali kali ini bertujuan untuk menghidupkan kembali WTO dan memberi napas baru dengan membuat kesepakatan pada isu-isu seperti pertanian dan fasilitasi perdagangan. Adanya skema ‘peace clause’ dan negosiasi ‘trade facilitation’ yang menjadi bagian Paket Bali juga menjadi ancaman besar bagi kedaulatan pangan negeri ini. Dimana negosiasi ini akan semakin membuka akses impor pangan ke pasar-pasar negara berkembang. Isu-isu yang berdampak pada kehidupan jutaan petani, buruh, dan rakyat miskin di negara berkembang.

Perlu direnungkan bahwa perdagangan bebas yang berlaku untuk semua bukanlah solusi krisis pangan dan krisis-krisis lainnya, malah merupakan penyebabnya. Dengan perdagangan bebas pertanian, para perusahaan transnasional raksasa dan pemodal besar dapat masuk ke spekulasi produk pertanian, mengakibatkan fluktuasi suplai dan harga di pasar internasional. Dan pada akhirnya menjadikan harga beberapa produk pangan naik tinggi yang kemudian berujung pada penderitaan rakyat.

Kini saatnya, Indonesia harus mulai memikirkan alternatif perdagangan yang berdasarkan konstitusi UUD 1945, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia demi memajukan kesejahteraan rakyatnya. Sebuah model perdagangan antarnegara yang berbasis kerja sama yang adil dan demokrasi ekonomi, bukan perdagangan yang berbasis korporasi dan menindas rakyat. Untuk itu, abaikanlah KTM WTO ke-9 di Bali, dan saatnya bangsa yang besar ini , untuk berani tegas keluar dari keanggotaan WTO.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com