Covid-19 telah membuat perekonomian di banyak negara porak poranda. Dalam sebuah artikelnya, Robert J. Burrowes melaporkan adanya bukti bahwa COVID-19 digunakan untuk melayani kepentingan kelompok elit dunia dalam mengkonsolidasikan dan memperluas kekuatannya sekaligus mengambil kendali total masyarakat global.
Bukti yang nyata adalah titik perhatian masyarakat dunia atas pandemi COVID-19, sehingga mengalihkan perhatian mereka dari banyak krisis lain yang sedang mereka hadapi, termasuk ancaman yang merupakan bahaya besar bagi kelangsungan manusia: lihat ‘Human Extinction Now Imminent and Inevitable? A Report on the State of Planet Earth’. Belum lagi motif lain yang tanpa disadari oleh elit politik dalam negeri di banyak negara. Selain itu, kegiatan-kegiatan pencegahan sedikit banyak juga terhalang oleh sejumlah aturan seperti ‘social distancing’ dan larangan pertemuan publik.
Namun tidak banyak yang mengamati bahwa Covid-19 adalah bagian dari strategi kelompok elit global untuk mengendalikan pemerintahan di banyak dunia. Dr. Carrie Madej berpandangan bahwa ada agenda tersembunyi di dalam ID2020 yang nyaris tidak banyak dibicarakan di ruang publik berkedok “A Wakeup Call to the World.”
Apa yang dibayangkan adalah “kemanusiaan yang dimodifikasi secara genetik” (GMH) sebagai instrumen untuk lebih mengontrol, memerintahkan populasi dunia. Dan ini adalah bagian dari agenda Gates. Hal ini bisa kita telusuri dari rekam jejak Bill Gates dan Yayasannya dalam kurun waktu lebih dari dua puluh tahun terakhir ini.
Yayasan Bill dan Melinda Gates (BMGF) telah memvaksinasi jutaan anak-anak di daerah terpencil di negara-negara miskin, kebanyakan di Afrika dan Asia. Sebagian besar program vaksinasi mereka tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan, bahkan menyebabkan penyakit seperti polio di India dan mensterilkan wanita muda di Kenya, dengan vaksin tetanus yang dimodifikasi. Banyak anak meninggal. Banyak program dilaksanakan dengan dukungan WHO dan tentu saja Badan PBB yang bertanggung jawab untuk Perlindungan Anak, yaitu UNICEF.
Pernyataan itu dikemukakan Peter Koenig, analis ekonomi dan geopolitik. Kepakarannya di bidang sumber daya air dan lingkungan menjadikannya pernah bekerja selama lebih dari 30 tahun bersama Bank Dunia (WB) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di seluruh dunia.
Hebatnya, sebagian besar kampanye vaksinasi ini dilaksanakan tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari anak-anak, orang tua, wali atau guru, atau dengan izin-informasi, dari otoritas pemerintah masing-masing. Akhirnya, The Gates Foundation pun digugat oleh negara-negara seperti Kenya, India, Filipina – dan banyak lagi.
Pernyataan Koenig sedikit banyak bisa dikaitkan dengan pandangan Dr. Carrie Madej – dalam videonya berdurasi 21 menit. (17 Agustus 2020) tentang “Transhumanisme – “Manusia 2.0”? – A Wakeup Call to the World (Panggilan Bangun untuk Dunia), Nanoteknologi ditanamkan ke dalam sel Anda – dan DNA manusia yang dimodifikasi secara genetik.
Untuk mengetahui sejumlah peristiwa terkait agenda Gates dalm ambisinya tersebut, lihat misalnya pernyataan Gates pada sebuah acara TedTalk tahun 2010, di California Selatan, yang berjudul “Innovating to Zero”. Di dalamnya ia berkata dengan jelas, “Jika kita melakukan pekerjaan vaksinasi yang benar-benar baik, kita dapat mengurangi populasi dunia sebesar 10% hingga 15%”.
Presentasi Gates tersebut bertepatan dengan peluncuran Rockefeller Report 2010 yang terkenal yang merencanakan dan meramalkan apa yang disebut “Lockstep Scenario” di mana kita – umat manusia dari 193 negara – berdiri berbaris, dan bersiap untuk menerima perintah.
Di bawah “Skenario Lockstep” ini, dunia kehilangan ribuan, jika bukan jutaan nyawa – bukan karena virus covid-19, tetapi karena dampak penutupan ekonomi global, rekayasa sosial, dan tirani yang diberlakukan di dunia, di mana 193 negara (semua negara anggota PBB) sulit untuk terhindar dari “sistem.”
Anda juga dapat menonton video this 4 min. tentang Bill Gates Briefing to CIA – How the Vaccine will Modify Behavior. Sudah 15 tahun yang lalu agenda jahat sedang dipersiapkan.
Ya, istilah yang dipakai dalam “permainan” tersebut adalah ketakutan. Ia seolah menjadi mantra magis yang melampaui “bobot” ketakutan akibat Covid-19. Genderang permainan berhasil ditabuh dengan diiringi musik yang menenangkan “pikiran” banyak negara di dunia. Sebaliknya mereka larut dalam musik “ketakutan” dengan ikut menari-nari.
Hal itu bisa kita lihat dari tindakan penerapan kebijakan otoritas berwenang melalui kebijakan lockdown (penguncian) yang mengakibatkan kehancuran ekonomi dunia, jutaan mata pencaharian hilang, korban kelaparan yang tak terhitung jumlahnya, kemiskinan ekstrim, putus asa, bunuh diri – dan takut akan apa yang masih akan datang – tidak ada akhir yang terlihat. Bahkan tidak satu pun, hingga tulisan ini dimuat, yang berani memastikan kapan “drama” ini akan selesai. Apakah menunggu para “penari” lelah dengan sendirinya hingga terjatuh, tidak sadarkan diri?
Saatnya sang nahkoda di negeri ini punya nyali dan keberanian memutar haluan kapalnya demi kelangsungan hidup para penumpangnya, yang sebagian besar adalah rakyat kecil. Mereka saat ini menjalani hidup yang serba sulit, karena sebagian juga harus menerima PHK, atau kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Bahkan, terutama di pedesaan atau pedalaman, mereka sudah menjalani hidup seperi biasa sebagaimana sebelum Covid-19. Namun kenyataan lain berbeda, saat ini, mereka tidak semudah mendapatkan pekerjaan seperti dulu. Mereka tidak takut Covid-19. Sebaliknya mereka lebih takut tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Negara harus menghadirkan gerakan yang menyentuh hati nurani dan sadar, seperti yang terjadi di Berlin pada 1 Agustus yang mampu memobilisasi 1,3 juta orang. Mereka melakukan aksi Demo Perdamaian – protes terhadap Jerman – dan kediktatoran pemimpin-pemimpin dunia yang melakukan tindakan represif di luar hukum dan konstitusi, lockdown (penguncian) – dan tindakan-tindakan represif penghancuran sistem pendukung kehidupan fundamental manusia.
Bahkan suara-suara dari para dokter, misalnya Sucharit Bhakdi dalam bukunya, Corona, False Alarm, memaparkan bagaimana bagaimana Covid-19 sebenarnya tidak lebih buruk dari virus flu biasa, dan bagaimana penguncian justru menyebabkan lebih banyak kesulitan daripada penyakit itu sendiri.
Ada lebih banyak lagi dokter yang juga angkat suara menyerukan agar negara mereka dan dunia memikirkan kembali strategi Covid-19 mereka. Mereka sangat efektif di Eropa. Ini termasuk petisi yang ditandatangani oleh 2662 dokter dan praktisi medis di Belanda, konferensi publik yang terdiri dari 400 dokter di Spanyol, Komite Penyelidikan Ekstra-Parlemen Corona yang terdiri dari sekitar 500 Dokter dan ilmuwan di Jerman, dan surat publik dari Belgia yang ditandatangani oleh lebih dari 1500 orang di komunitas medis dan ilmiah. Sayangnya, orang-orang ini tidak bisa mendapatkan suara mereka di media arus utama.
Juga, Docs 4 Open Debate sebuah komunitas yang terdiri dari para dokter dan profesional kesehatan di Belgia bermaksud menuntut analisis yang lebih kritis tentang perang melawan pandemi, dan kebebasan untuk mengekspresikan posisi mereka di media arus utama. Mereka membuat surat terbuka untuk tujuan ini yang sejauh ini telah ditandatangani oleh 515 dokter dan 1767 profesional kesehatan terlatih.
Sekali lagi, semua ini, seperti yang mungkin belakangan kita sadari, tidak ada hubungannya dengan Covid-19, tidak ada hubungannya dengan virus. Virus ini hanyalah ide cerdas untuk menggunakan musuh yang tidak terlihat untuk menanamkan rasa takut, di seluruh dunia, oleh elit yang sangat kecil, sangat kaya dan secara psikis haus kekuasaan untuk membuat seluruh penduduk dunia bertekuk lutut. Ketakutan yang melenyapkan sistem kekebalan manusia dan dapat menyebabkan berbagai penyakit yang jauh lebih buruk daripada Covid-19, termasuk kanker, penyakit koroner, diabetes – dan banyak lagi.
Lihatlah bagaimana tekanan, pemerasan, korupsi, dan ancaman langsung harus ditanggung oleh 193 pemerintah dunia untuk bertindak serempak, bersamaan dengan penguncian dan tirani, telah menghancurkan sistem sosial ekonomi mereka sendiri.
Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)