Sudarto Murtaufiq, sapaan akrabnya mas Darto. Obrolan bersama Nesya Aulia, mahasiswi ilmu hubungan internasional Universitas Binus, Jakarta, berlangsung melalui Zoom dalam suasana hangat dan bersifat informal.
Begitu lulus dari di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pria asli Lamongan Jawa Timur ini aktif dalam berbagai kegiatan. Sembari mengenyam pendidikan di Pesantren Ciganjur, asuhan KH Abdurrahman Wahid, dia mengawali karirnya di dunia jurnalistik sejak dilahirkannya NU Online dari rahim Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tahun 2003 silam. Selain itu, mmas Darto juga pernah menjadi reporter untuk tabloid Diplomasi yang di bawah pengelolaan Dirjen Diplomasi dan Informasi Kementerian Luar Negeri RI, juga pernah menjadi news anchor di Radio Elshinta.
Rihlah (Perjalanan berkeliling ke berbagai tempat di luar tempat asal) ilmiah juga sempat ia lakukan ke sejumlah negara seperti Malaysia, Australia, Belanda dan Inggris. Fokus perhatian dan minat penyandang gelar doktor bidang filsafat ini lebih ditujukan pada masalah-masalah pendidikan dan kebudayaan. Sehingga membawanya pada jabatan yang disandangnya hingga saat ini di Global Future Institute (GFI), Direktur Diplomasi Publik.
Pria yang menguasai bahasa Arab dan Inggris sama fasihnya ini, praktis merupakan generasi perintis GFI sejak awal berdirinya pada Oktober 2007-2008, bersama Hendrajit dan Rusman. Berikut obrolan selengkapnya pada 5 Oktober 2020:
Selama masa kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kegiatan Mas Darto apa saja ya?
Wah, saya ini boleh dibilang sejak mahasiswa memang lahir sebagai aktivis, dan entah kenapa bidang yang saya tekuni di dunia aktivis pergerakan selalu bersinggungan dengan bidang jurnalisme. Makanya setelah lulus saya sempat terlibat dalam publikasi media milik Kemlu yang dikelola direktorat jenderal diplomasi dan informasi publik. Jadi latar belakang kewartawanan sudah tertanam di dalam diri saya sejak kuliah, apalagi setelah kuliah juga bergabung dengan situs resmi milik PBNU yaitu NU online. Sejak 2004, saya mulai aktif menggeluti aktivitas jurnalistik di NU Online. Di selal-sela aktivitas saya itulah, di kantor redaksi NU Online, saya bertemu pertama kali dengan Pak Hendrajit. Selain itu dalam dunia broadcast, saya juga pernah dilibatkan sebagi anchor di Radio Elsinta.
Jadi setelah lulus kegiatan tetap di NU Online ya?
Benar Nesya. Kegiatan tetap menjadi wartawan di PB NU, terlebih secara geneologi atau asa-usul keluarga saya ini kan termasuk warga NU (Nahdliyin). Setelah kuliah baik di lingkungan kemahasiswaan maupun komunitas akademik serta pada senior, saya juga banyak yang aktif di beberapa organ afiliasi NU seperti PMII. Dari situlah para senior NU seperti mas Abdul Mun’im DZ yang kala itu merupakan pemimpin redaksi NU Online mengajak saya gabung.
Lantas, bagaimana ceritanya bisa gabung ke GFI?
Saya bergabung di Global Future Institute (GFI) secara resmi pada 2008, meskipun saya sudah kenal Pak Hendrajit sejak 2007, ketika GFI masih pada taraf rintisan. Nah baru pada 2008, mas Hendrajit dan mas Rusman yang mulai menggarap persiapan penerbitan situs the global review, mulai mengajak saya gabung secara aktif. Waktu itu, the global review terbit dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Saya ditugasi menggarap versi Inggris.
Berarti apa yang membuat mas Darto tertarik gabung sama GFI?
Meski baru gabung secara resmi sejak 2008, awal pertemuan saya dengan Pak Hendrajit di PB NU pada 2007, kami berdua sebenarnya sudah melakukan diskusi secara intensive dan banyak membahas bagaimana kalau satu saat mendirikan sebuah pusat kajian atau think-thank dan gambarannya seperti apa ke depannya GFI seperti apa. Di situlah saya merasa tertantang, mengapa? Karena sebelumnya saya juga sedikit banyak pernah terlibat di Dirjen diplomasi dan Informasi publik terkait dengan publikasi tabloid yang dikeluarkan oleh Deplu pada saat itu. Selain passion saya di bidang jurnalisme, saya juga merasa tertantang mengenai kajian-kajian internasional. Alasannya adalah menurut saya ini merupakan kajian yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Ini merupakan kajian yang menuntut kesungguhan dan ketekunan. Selain itu, saya memandang adanya GFI sebagai think-thank, bisa menjadi semacam role model dalam mengintegrasikan isu-isu nasional, regional dan global.
Di GFI sendiri, apa yang menjadi tugas pokok dan kegiatan utama sejak 2008-sekarang?
Seperti saya katakan tadi, awalnya aktif dalam menerjemahkan artikel-artikel terbitan GFI ke dalam bahasa Inggris, namun saat ini saya lebih konsentrasi menganalisis isu-isu yang sedang hangat (current issues), terutama perihal Covid-19 dengan tetap mengawal apa yang menjadi isu sentral di media arus utama dunia. Seperti contohnya di masa pandemi sekarang ini, saya lebih mengawal bagaimana informasi-informasi yang kredibel dapat dijadikan sebagai bagian dari upaya menghadirkan diskursus alternatif, dan bukannya informasi sampah.
Jadi sesuai visi-misi GFI dan situs the Global Review, kita harus memainkan peran sebagai sumber informasi tandingan terhadap media-media arus utama saat ini baik di dalam maupun luar negeri. Tentunya harus didukung berdasarkan data dan informasi yang dapat dipertanggunngjawabkan. Karekteristik terbitan the Global Review kan pada analisis berita dan forcasting. Sesua moto situs kita, Pemandu Informasi Perkembangan Dunia.
Dalam kaitannya dengan Covid-19 bagaimana menurut mas Darto?
Sejak pandemi global ini diumumkan pada Maret lalu, saya sebenarnya selalu kritis dalam menelaah mengenai isu Covid-19, mencoba menelaah mata rantai peristiwa dari awal termasuk bagaimana kaitannya dengan konstelasi global saat ini yang ditandai semakin menajamnya persaingan global AS versus Cina. Maupun perkembangan berbagai negara mengenai kebijakannya masing-masing dalam merespons merebaknya wabah Covid-19. Informasi yang saya dan teman-teman hadirkan di GFI, sebenarnya informasi alternatif sebagai bahan pemikiran dan pertimbangan pemangku kepentingan maupun teman-teman netizen pembaca the Global Review pada umumnya. Bisa Nesya baca dan simak sendiri, dan bandingkan media-media mana yang menyajikan informasi-informasi alternatif dan media-media mana saja yang hanya menyajikan berita-berita begitu saja tanpa ada gambaran sama sekali apa yang sesungguhnya berlangsung di balik pandemi global yang namanya Covid-19 itu.
Sebagai pengurus maupun sebagai perintis di dalam berkiprah di GFI, apa pandangan dan kesan menurut mas Darto?
Oh iya, yang jelas ada rasa kekeluargaan yang cukup kuat dengan teman-teman di GFI. Itu yang paling kuat saya rasakan. Selain itu, GFI bisa menjadi instrumen yang menjembatani ide-ide besar dari kawan-kawan pengurus GFI yang tentunya punya ragam pandangan dan pikiran yang berbeda-beda, belum lagi latar keahlian dan profesi yang juga aneka ragam. Mas Hendrajit sendiri pada dasarnya wartawan dan akademisi, Pak M Arief Pranoto saat ini perwira tinggi kepolisian. Mas Ruman punya passion di lingkungan hidup dan IT. Jadi di GFI kita saling berbagi komunikasi, ide dan yang paling penting adalah eratnya ikatan psikologis dan emosional antarpengurus. Menurut saya, persenyawaan pandangan dan pemikiran antarpengurus GFI itulah yang menurut saya itu mahal.
Sehingga meski kita aneka ragam dalam bidang keahlian dan profesi, namun satu pemikiran dan bisa saling menyelami suasana kebatinan sesama teman GFI terkait apa yang menjadi kepentingan GFI. Selain itu, saya juga banyak belajar dari Pak Hendrajit dan teman-teman lainnya juga. Rasa kekeluargaan dalam GFI itu sangat penting.
Menurut mas Darto sendiri, khas dari GFI apakah sebagai lembaga think-tank atau seperti lembaga apa?
Iya! Boleh dikatakan sebagai think-thank dan saya berani mengungkapnya, mengapa? Karena kita sering kali diminta oleh beberapa stakeholders atau pemangku kepentingan khususnya di bidang kebijakan luar negeri dan pertahanan, entah dari pemerintah pusat atau lembaga-lembaga lainnya berupa masukan dari GFI. Seperti contohnya, saya diminta oleh salah satu unit lembaga untuk memberikan ide-ide mengenai respon perspektif intelijen dan pertahanan terkait dengan Covid-19. Hal-hal serupa sering juga dalam memberikan masukan ke berbagai instansi pemerintah maupun perguruan tinggi. Terutama ke kalangan teman-teman dosen terkait wacana internasional dalam kasus covid-19.
Suasana seperti apa yang mas Darto rasakan selama di GFI? atau justru terdapat coorperate culture yang di bangun?
Hmm.. pertama dialog interaktif hubungan batin antar pengurus yang bisa dijembatani bukan saja lewat kantor kita di Kebayoran baru Jakarta Selatan, melainkan bisa lewat media sosial seperti grup Whatsapp atau bertemu secara fisik. Meskipun jarang ketemu namun sudah serasa bertemu setiap hari bisa menemukan suatu klik, itu yang rasakan suasana di GFI. tidak hanya itu, haus akan pemikiran dan kajian-kajian lainnya juga saya rasakan, jadi selalu ada ruang kegelisahan dalam artian produktif.Produktif dalam artian memproduksi gagasan besar yang disampaikan oleh GFI terkait isu terkini, informatif dalam artian informasi yang diberikan bukanlah informasi asal-asalan dan inspiratif artinya apa yang dihadirkan dalam GFI setidaknya bisa menginspirasi terutama dalam kalangan akademisi untuk berpikir lebih jujur dengan pemikirannya bisa sesuai dengan apa yang terjadi. Ada kerja sama sehingga menghadirkan kesan kolaboratif.
Strategi apa yang mas bangun dalam memajukan GFI?
Satu diantara strategi, adalah memastikan isu yang dikawal oleh GFI menjadi isu utama, tidak hanya isu nasional saja tetapi juga isu internasional. Selain itu, mencoba menggali isu lainnya sebagai bahan untuk menelaah isu-isu yang diprediksi akan muncul, sehingga kita siap mengantisipasnya. Singkatnya harus analitis, reflektif dan kontemplatif.
Kebetulan yang saya baca mengenai profil GFI, telah dirintis tahun 2007, Pak Hendrajit masih bertahan dan bisa dikatakan hampir seumuran GFI, bagaimana itu bisa terjadi? berdasarkan pandangan mas Darto.
Bagi saya pribadi, Pak Hendrajit merupakan sosok yang low profile, reflektif, kritis, tajam, dan memantik berbagai kalangan agar dalam menganalisis suatu isu yang sedang berkembang jangan terpaku pada yang ada di permukaan. Jadi sekalipun lahir dari pandangan beliau sendiri, namun pandangan tersebut memiliki kaitan dengan kejadian yang ada namun hal tersebut tidak dapat dipahami oleh mereka yang baru terjun di kajian internasional.
Kalau dilihat dari biodata, Pak Hendrajit dan mas Darto pernah di dunia jurnalisme, buat saya ini menarik, apa yang relevan buat jurnalisme dan GFI?
Jadi jurnalisme adalah ruh yang mengilhami pemikiran GFI, seperti ada istilah jurnalisme investigative. Itu satu hal yang khas GFI. Jadi gaya penulisan jurnalisme sekadar memantik kita agar mampu menembus apa yang ada di balik kejadian atau isu, dan sehingga GFI menyajikan kedalaman informasi. Bukan informasi permukaan belaka. Dalam narasi media investigative, juga harus mampu menggugah narasi yang bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan atau bahan pemikiran oleh siapapun.
Jadi, untuk gabung di GFI gaya jurnalisme itu penting?
Sangat penting! Jadi GFI tanpa insting jurnalistik yang baik, itu tidak akan bertahan sebagaimana GFI pada saat ini. Ibarat dua sisi dalam suatu mata uang, jadi insting jurnalisme harus klik dengan GFI, karena dibalik itu ada prasyarat yang harus dipenuhi untuk menyajikan informasi yang berbobot dan credible, selain daya analisis dan pemikiran atau gagasan. Gaya jurnalisme penting karena bisa menjadi bagian dari narasi tentang pandemic saat ini. Melalui insting jurnalisme, kami di GFI berhasil menyajikan cara pandang berbeda, bahwa pandemic global covid-19 itu merupakan rekasaya virus, bukan hal yang bersifat alami.
Pertanyaan terakhir, 11 Oktober sudah semakin dekat, lantas apa saja harapan mas pada GFI untuk kedepannya?
Harapannya, GFI bisa lebih baik lagi, bisa menginspirasi lagi, bisa memberikan informasi yang lebih baik lagi seperti lebih akurat dan credible, dan bisa membangun kolaborasi dengan para pemangku kepentingan untuk kepentingan nasional, itu hal yang paling penting menurut saya.
Kemudian, perlu adanya semacam pembinaan generasi berikutnya, supaya bisa lebih berkontribusi seperti dalam hal penulisan artikel, jadi GFI sudah saatnya punya konsep yang lebih terencana terkait pembinaan pada generasi muda ke depan. Saya kira itu adalah hal yang utama. Jadi adanya ide besar bisa jadi lahir dari rahim pemikiran para senior GFI tetapi tidak menutup kemungkinan dari generasi muda yang juga bisa menyelami apa yang menjadi kegelisahan pokok teman-teman di GFI. Menurut saya regenerasi adalah hal yang mutlak.