Belum lama ini, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI, KH Hasyim Muzadi dalam situs actual.com menilai sangat baik kalau Indonesia ikut berusaha mendorong perdamaian antara dua negara yang bersitegang, Arab Saudi dan Iran.
Lebih lanjut Hasyim mengatakan bahwa upaya perdamaian itu sesuai dengan Preambul UUD 1945 perihal ikut menyelenggarakan perdamaian dunia. Namun yang lebih pokok adalah perlunya Indonesia mengatur langkah konkret guna mengamankan NKRI dari kemungkinan dampak pertikaian tersebut.
Memang setelah dijatuhinya eksekusi mati terhadap ulama Syiah Nimr al-Nimr, konflik antara Arab Saudi dengan Iran semakin memanas. Konflik ini memang menghadirkan tidak sekadar kepentingan politik dan hukum akibat eksekusi tersebut, tapi memungkinkan juga adanya motif lain, seperti sektarian dan ekonomi. Kita bisa melihat, biar bagaimanapun, Arab Saudi dan Iran adalah dua kutub ideologi (Wahabi/Sunni dan Syiah) yang masing-masing kutub punya pendukung transnasionalnya.
Konstelasi konflik semakin terlihat ketika Saudi bersikap memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Sejumlah negara seperti Bahrain dan Sudan bersikap mengikuti Arab Saudi. Sementara, langkah yang berbeda ditempuh Uni Emirat Arab (UEA). Mereka memilih untuk menurunkan hubungan diplomatik dibanding memutusnya. UEA hanya mengizinkan perwakilan diplomatik tertinggi Iran hingga di tingkat wakil duta besar dan mengurangi jumlah diplomat Iran di sana. Sedangkan Irak, Suriah, Libanon, dan Yaman utara kemungkinan akan mendukung Iran.
Sedangkan Rusia dan Cina sebagai dua negara yang berpengaruh di wilayah itu mengeluarkan pernyataan agar Iran dan Arab Saudi diharapkan bisa menahan diri. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan Indonesia akan tetap bersikap netral dan mencari cara guna mengupayakan perdamaian antara kedua negara.
Konflik Iran-Arab Saudi : Perluasan Proxy War
Dalam perseteruan Iran-Arab Saudi, kiranya perlu menimbang apa yang dipaparkan oleh M. Arief Pranoto (Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan GFI), yakni bahwa kawasan sebagai keadaan atau kondisi statis merupakan kepingan puzzle agar kajian tidak meluas kemana-mana, selain perilaku geopolitik (para adidaya) kerapkali memetakan (mapping)kawasan sebagai obyek atau sasaran kolonialisme. Dan kawasan itu sendiri, dalam perspektif hegemoni adidaya juga sering ditempatkan sebagai pijakan bagi geostrategi dalam rangka menguasai kawasan-kawasan lain (geoekonomi). Inilah kemasan kolonialisme di muka bumi.
M. Arief Pranoto menekankan bahwa “Konflik lokal bagian daripada konflik global.”
Konflik yang terjadi antara Iran dengan Saudi, bukanlah hanya melulu persoalan (lokal) kawasan, niscaya terkait geopolitik global. If you would understand world geopolitic today, follow the oil, kata Deep Soat. Inilah kemasan proxy war dalam artian negara lain dijadikan “medan tempur”-nya.
Sementara, Hendrajit (Direktur Eksekutif GFI), memperkuat argumen Arief Pranoto. Ia menyatakan bahwa konflik antara Arab Saudi versus Iran, yang krusial bukan sekadar soal Sunni versus Syiah. Melainkan karena adanya penyikapan yang berbeda terkait dengan Konflik regional yang sedang melanda kawasan Timur Tengah. Utamanya, terkait dengan perang saudara di Suriah sejak 2011 lalu, dan sekarang masih berlangsung, antara pasukan pemerintahan Bashar al Assad versuskelompok-kelompok Islam radikal yang didukung oleh AS-Inggris dan NATO di Suriah. Perbedaan penyikapan antara Arab Saudi dan Iran terkait konflik Suriah, disebabkan oleh kenyataan bahwa Arab Saudi dan Iran pada perkembangannya merupakan mencerminkan penyikapan beberapa negara adikuasa yang juga sedang berebut pengaruh di kawasan Timur Tengah. Seperti antara AS-Inggris di satu pihak, Rusia-Cina di lain pihak.
Ujian Politik Bebas Aktif Indonesia dalam Konflik Iran-Arab Saudi
Pernyataan perdamaian dalam konflik Iran dengan Arab Saudi yang disampaikan Indonesia tidak akan berdampak apa-apa bila tidak dilakukan secara aktif. Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dan merupakan rumah bagi kaum Sunni-Syiah, harus menaruh perhatian penuh terhadap makin memburuknya konflik Iran dengan Arab Saudi. Bila tidak, maka konflik tersebut akan berimbas negatif terhadap hubungan Sunni-Syiah yang pada gilirannya akan berimplikasi terhadap ketegangan lebih lanjut hubungan Sunni-Syiah di Indonesia. Terlebih, gesekan kaum Sunni-Syiah di Indonesia belakangan ini makin sering terjadi sejak 2013 seiringan dengan konflik di Suriah dan Yaman.
Perseteruan Iran dengan Arab Saudi secara ekstrem menarik jarak antara dua kekuatan besar di Teluk. Kondisi ini sangat mungkin membuat situasi menjadi sangat buruk dan berbahaya. Dan tidak menutup kemungkinan pecah konflik militer antara Saudi Arabia dan Iran. Terkait dengan krisis tersebut, yang perlu Indonesia lakukan adalah menjaga jangan sampai sentimen konflik menyuburkan potensi konflik yang ada di dalam negeri.
Hubungan baik yang dijalin Indonesia dengan kedua negara berada pada posisi yang baik bisa menjadi modal utama untuk memulai dialog dan mengusulkan proses perdamaian dalam konflik tersebut. Belum lagi posisi Indonesia, sebagai negara mayoritas muslim, yang memiliki pengaruh besar dan menentukan dalam keputusan-keputusan strategis dalam keikutsertaan sebagai anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam) dapat memainkan peranannya lebih aktif. Terlebih, Indonesia memiliki sejarah sebagai negara yang aktif menggerakkan Gerakan Non Blok.
Patut menjadi contoh kiranya, bagaimana sigapnya Bung Karno ketika menghadapi perang dingin diantara dua kekuatan besar yaitu Kubu Amerika Serikat beserta sekutunya di satu sisi dan kubu Soviet-Cina pada sisi lainnya. Bung Karno membidani lahirnya Konferensi Asia-Afrika (KAA) demi membangun ‘kekuatan ketiga’.
Tawaran Hendrajit dalam memberikan solusi atas konflik Iran-Saudi menjadi relevan. Hendrajit mengatakan bahwa dengan semangat KAA, membangun ‘kekuatan ketiga’ bisa menjadi referensi pemerintah Jokowi untuk berperan aktif dalam konflik Iran-Saudi. Dalam kerangka membangun “Kekuatan Ketiga” tersebut, model kerjasama ala SCO dan BRICS cukup inspiratif sebagai bahan menyusun “Perang Asimetrik” terhadap kekuatan-kekuatan politik internasional.
Pada kondisi seperti ini, kiranya sudah saatnya Indonesia mengambil peranan yang lebih aktif dalam upaya perdamaian, bukan hanya terdepan dalam soal kerja sama dan kesepakatan internasional yang selama ini telah dijalankan. Kebesaran politik bebas aktif Indonesia sebagai negara yang telah lama aktif dalam percaturan dunia dapat dijadikan sebagai ujian dalam konflik Saudi-Iran. Indonesia diharapkan menunjukkan kelasnya sebagai juru damai. Bukan sebaliknya, terseret dalam konflik mereka. Indonesia perlu mengambil peran strategis dalam pusaran konflik kedua negara.
Penulis: Ferdiansyah Ali, Peneliti Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments