Sekilas Bonus Demografi di Indonesia

Bagikan artikel ini

M. Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI) 

Berbagai tesis menyatakan, bahwa kompas geopolitik Indonesia terutama pada gatra kependudukan mengarah pada apa yang disebut dengan istilah “bonus demografi.” Dan bonus itu kelak jatuh pada dekade 2020 – 2030. Sekitar 10-an tahun. Waktu yang relatif lama namun juga bisa dipersepsikan singkat bila kita tak mampu memanfaatkan secara maksimal. Sedang proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut bahwa puncak bonus demografi berjalan 5 tahun (tahun 2025 – 2030). Kok, berbeda? Tidak perlu dibahas mengapa ada yang menyatakan 5 atau 10 tahun. Kita diskusi esensinya saja. Pertanyaannya sekarang, “Apakah bonus demografi itu?”

Bonus demografi merupakan perpaduan konsep antara demografi dengan ekonomi. Ada potensi manfaat ekonomi yang bisa diperoleh suatu negara/daerah karena penduduknya dominan usia produktif. Bonus demografi muncul manakala rating usia produktif (15–64 tahun) berada pada angka 70% dari total jumlah penduduk. Intinya, jumlah 70% nanti akan menopang hidup 30% usia nonproduktif yang terdiri atas usia di bawah 15 tahun dan 65 tahun/keatas.

Pada 2020-2030, Indonesia akan memiliki sekitar 180 juta berusia produktif, sedang usia nonproduktif sekitar 60 juta jiwa, atau 10 orang usia produktif hanya menanggung 3 atau 4 orang usia nonprodutif, sehingga akan terjadi peningkatan tabungan masyarakat serta tabungan nasional.

Hal ini diungkap oleh Presiden Joko Widodo saat membuka rapat terbatas dengan topik Optimalisasi Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (7/2):

“Tahun 2020-2030 kita Indonesia diprediksi akan mendapatkan bonus demografi dimana penduduk usia produktif sangat besar. Artinya dalam kurun waktu 3-13 tahun ke depan kita akan memiliki banyak sekali SDM yang tengah pada puncak usia produktif,” kata Jokowi.

Tampaknya hal inipun sejalan dengan laporan PBB, bahwa jika dibanding dengan negara Asia lainnya, angka ketergantungan penduduk Indonesia akan terus turun sampai 2020. Inilah saatnya atau momentum Indonesia bangkit di panggung global.

Keuntungan Tak Gratis

Selanjutnya meski maksud kata “bonus” adalah keuntungan, namun ia tidak jatuh dari langit dan/atau secara otomatis bakal membawa keuntungan dan kontribusi positif bagi pembangunan, akan tetapi masih perlu upaya, membutuhkan usaha bahkan strategi handal agar ia berjalan pada arah kompas yang benar sesuai syarat-syaratnya.

Secara fisik, keuntungan bonus demografi adalah ketersedian tenaga-tenaga kerja usia produktif sebagai sumber daya penopang utama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan syarat yang harus dipenuhi guna meraih bonus tersebut selain tingkat kesehatan, kualitas pendidikan/ketrampilan memadai untuk membentuk sumber daya manusia (SDM) yang optimal, juga terpenting ialah faktor lapangan pekerjaan dan pasar yang mutlak harus disediakan oleh pemerintah dan/atau kelompok usia produktif itu sendiri mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri dan lingkungan.

Apapun judulnya kelak, di satu sisi — bonus demografi adalah berkah. Momentum yang mungkin sulit terulang di sebuah negara manapun. Betapa tidak, berlimpahnya usia produktif jelas menguntungkan pembangunan sehingga diharapkan memacu laju pertumbuhan ekonomi ke tingkat optimal. Kontribusinya jelas yaitu meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Tetapi pada sisi lain — ia akan berbalik menjadi kontra produktif bila pada “Hari H”-nya tidak dipersiapkan secara konseptual oleh pemerintah dan segenap komponen bangsa.

Korea Selatan contohnya, ketika menerima bonus demografi (1981-1995) pertumbuhan ekonominya mencapai 8,5%, bahkan ratio PDB mencapai 40% pada 1991, begitu pula dengan ratio tabungan mencapai 40% pada 1988. Maka perlu dicermati apa yang dikerjakan Korea ketika menyambut bonus demografi dahulu. Apakah kelak kita akan seperti Korea?

Menurut Nugroho Prasetya, di Indonesia — untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 7% pada 2019 dibutuhkan investasi 44% dari PDB atau sekitar Rp 7.000 triliun. Karena salah arah dari awal, kebutuhan investasi itu tak mungkin dipenuhi oleh sumber domestik, hingga perekonomiam kita menjadi terbuka terhadap investasi asing langsung (FDI) dan investasi portofolio.

Indonesia akan meraih puncak bonus demografi pada 2025. Kondisi ini akan membuat Indonesia memiliki dependency ratio cukup rendah, yakni 0,45 (study East West Centre). “Life-cycle hypothesis“-nya Modigliani dan Brumberg (1955) menyebutkan, bahwa pola konsumsi dan tabungan akan dipengaruhi oleh siklus umur.

Berangkat dari tesis tersebut, maka rendahnya tingkat ketergantungan Indonesia pada 2025 akan membawa dampak positif kepada tabungan pemerintah. Pengeluaran negara untuk pensiun dan jaminan kesehatan menurun. Di sisi lain, naiknya kapitalisasi modal domestik akan diiringi dengan menurunnya konsumsi. Produktivitas naik, pertumbuhan ekonomi naik. Namun demikian, kita patut waspada. Jangan sampai bonus demograsi menjadi musibah demografi, ujar Nugroho. Bonus demografi hanya akan kita nikmati sampai 2050. Saat itu kita akan memasuki aging society. Angka dependency ratio kita akan meningkat menjadi 0,573 pada tahun itu. Setelah mengalami masa bulan madu bonus demografi selama 10 tahun (2020-2030), porsi penduduk tua kita akan melonjak mengakibatkan defisit anggaran, tabungan menurun, investasi menurun, defisit transaksi berjalan meningkat dan pertumbuhan ekonomi menurun. Dengan pengertian lain, kita memiliki potensi tumbuh tinggi hanya sampai dengan tahun 2030. Kesempatan ini tidak boleh disia-siakan. Skenario pertumbuhan ekonomi 5-5,5% saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah pertumbuhan di atas 8% sampai tahun 2030, kata Nugroho Prasetya.

Bahkan PricewaterhouseCoopers (PwC) memprakirakan pasar negara-negara berkembang seperti India dan Brazil akan menggeser dominasi ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Cina. PwC berani merilis daftar negara dengan perekonomian terkuat para tahun 2030 dari aspek purchasing power parity (PPP). PPP ialah model yang menggambarkan daya beli dengan nilai mata uang tertentu. Dan menurut PwC, Indonesia pada tahun 2030 akan berada di peringkat ke 5 di bawah Jepang, India, AS dan Cina.

Bonus Demografi: “Berkah atau Musibah?”

Telah diurai di atas, persiapan secara konseptual menyambut bonus demografi itu berupa pernyiapan kesehatan, tingkat pendidikan dan ketrampilan, serta paling utama ialah penyediaan lapangan pekerjaan bahkan pasar. Itulah beberapa ‘infrastruktur’ yang mutlak disiapkan oleh pemerintah, belum termasuk penyiapan piranti-piranti lunak seperti aturan dan/atau kebijakan yang pararel dengan atmosfir bonus demografi agar berjalan optimal. Ada retorika menggelitik timbul, “Apakah dengan bonus demografi (SDM) kelak kita mampu bersaing di level global baik pada dunia kerja maupun di pasar internasional?”

Terkait bonus demografi yang sudah di depan mata, hal ini sangat menarik. Kenapa? Melihat fakta sekarang, indeks pembangunan manusia atau human development index (HDI) Indonesia justru masih rendah. Dari 182 negara di dunia misalnya, ternyata Indonesia masih berada di urutan 111. Sedang di ASEAN, HDI Indonesia urut ke-6 di antara 10 negara ASEAN, masih di bawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei dan Singapura. Dari tingkat HDI ini, terlihat bahwa pekerja Indonesia tidak kompetitif di pasar serta dunia kerja baik di dalam maupun di luar negeri.

Entah hoax, atau mungkin framing media, bahwa labeling pekerja Indonesia di luar hanya level pembantu rumah tangga (PRT). Lagi-lagi, entah cuma framing media belaka — bahkan di dalam negeri pun konon pekerja kita kalah dengan pekerja asing. Indikasi terlihat bahwa tak sedikit peluang kerja dan posisi strategis di dalam negeri justru ditempati tenaga kerja luar. Retorikanya, “Di masa bonus demografi nanti apakah kita mampu membalik indeks dan framing buruk media?”

Perihal persoalan di atas, apabila tidak segera digarap secara serius dari sekarang secara bersama-sama antara pemerintah dengan segenap komponen bangsa, bisa-bisa bonus demografi malah menimbulkan implikasi buruk bahwa momentum tersebut bukannya berkah tetapi justru musibah karena kita tak mampu memanfaatkan peluang.

Terima kasih

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com