Potret Kegelisahan Purnawirawan TNI-Polri Jelang Pilpres 2024
Membandingkan pilpres antara model one man one vote alias pemilihan langsung (pilsung) dengan musyawarah mufakat melalui MPR, maka model pilpres di MPR jauh lebih murah dan nyaris tanpa kegaduhan signifikan. Bila timbul kekisruhan, sifatnya elitis. Kegaduhan terlokalisir di sekitar elit, tidak meluas ke ruang publik. Rakyat hanya menyaksikan via media. Memberi support dari luar dan berdoa agar ‘para jelmaan rakyat’ (anggota MPR) memperoleh petunjuk-Nya agar melahirkan hal-hal terbaik bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Hal ini, sudah tentu berbeda dengan pilsung. Berbasis pengalaman empat pilpres sebelumnya (2004, 2009, 2014, 2019), model pilsung —one man one vote— selain high cost politics, juga mengandung beberapa kerentanan sosial budaya dan kegaduhan politik, antara lain misalnya:
Pertama, Keterbelahan Masyarakat (Social Enclave). Ini suatu keniscayaan. Rakyat seketika terbelah ke dalam kantong-kantong sosial. “Pro ini, pro itu”. Ada relawan A, buzzer si B, pendukung C, dan seterusnya sesuai persepsi dan perspektif masing-masing. Persepsi berbasis sentimen, mungkin, atau perspektif agama contohnya, back ground masa lalu, perkoncoan, dan lainnya. Sebenarnya tidak salah. Sah-sah saja. Namun, kerap kali kongsi serta pertemanan yang telah terajut lama bisa retak gegara beda pilihan. Dirusak sistem. Group letting pun bisa ‘panas’. Bahkan ada pula yang merambah sampai ke dapur rumah tangga tatkala suami, istri dan anaknya beda pilihan politik.
Berkembang anekdot di lingkaran ‘tamu tak diundang’. Ya. Seumpama pilpres diibaratkan orang melahirkan (memang melahirkan Kepemimpinan Nasional), maka model one man ove vote adalah ‘rahim haram’. Sebab, selain tidak sesuai dengan sila ke-4, juga melemahkan bahkan menghancurkan sila ke-3 Pancasila: “Persatuan Indonesia”; sedang pilpres via MPR selaku Lembaga Tertinggi Negara ialah ‘rahim halal’ sebab merupakan maha karya serta warisan the Founding Fathers.
Dan dari rahim (haram) one man one vote pula, lahir istilah olok-olok atau ejekan semacam kampret, kecebong, kadrun dan lainnya. Celakanya, selain olok-olok tersebut sengaja dipermanenkan, terdapat upaya untuk terus dipelihara dan ‘menggaji’ mereka seolah-olah sebuah profesi/pekerjaan.
Seandainya dulu (2004) model pilpres tak diubah menjadi one man one vote, mungkin kampret dan kecebong tidak akan lahir, tak pernah ada, dan tidak bereksistensi secara terstruktur dan masive sebagaimana kini berlangsung.
Nah, akibat kondisi di atas, kecenderungan publik sekarang mudah (‘dibakar’) digaduhkan hanya oleh persoalan residu serta ecek-ecek. Dilempar isu korupsi, contohnya, kampret dan cebong langsung berkoar, atau ditebar isu al-Zaytun, publik malah lupa isu-isu lainnya. Sementara permasalahan hulu bangsa selaku sumber kegaduhan justru senyap. Nyaris tidak ada geliat signifikan, sebab tertutup lautan isu di hilir persoalan bangsa;
Kedua, Money Politics. Tak bisa dipungkiri, rakyat digiring untuk ‘mata duitan’ bahkan materialistik. Lalu egoistik menguat, individualis mengemuka. NPWP. Nomer Piro Wani Piro. Konsekuensi daripada itu, para kandidat berlomba mendulang suara lewat pencitraan. Tancap baliho, bagi-bagi amplop, tebar sembako, dan lainnya. Ketika ada warga hendak nyaleg, pertanyaan pertama yang terucap, “Sudah siap duit berapa?”. Repot. Ukuran keterpilihan dilihat berapa uang dimiliki si caleg.
Gilirannya, selain yang dicoblos oleh para pemilih —dalam pilsung— hanya citra si kandidat, bukan ideologi, tak pula integritasnya, apalagi gagasan. Para konstituen gak ngurus apa itu ideologi atau macam mana gagasan. Kenal saja tidak. Bukankah citra itu realitas semu?
Sekali lagi, NPWP. “Kami menerima serangan fajar”. Pada akhirnya, suara profesor pun bisa dikalahkan dengan suara (maaf) orang gila yang dimobilisir, ataupun kalah oleh sejumlah pemilih pemula (lulusan es em a).
Kerawanan paling utama pada demokrasi liberal ala Barat ini sangat berperan lagi dominannya kaum pemodal (oligarki ekonomi), baik oligarki lokal maupun global. Siapa capres mampu dan mau ‘membakar’ Rp 10-an triliun rupiah, kecuali konsorsium pemilik modal? Kalau sudah begini, siapapun pemenang niscaya dalam kendali (‘boneka’) alias diremot oleh oligarki ekonomi, si bandar logistik. Napoleon Bonaparte berkata, “Amateur discuss tactic, the professional discuss logistic“. Agaknya, quote Napoleon tidak hanya berlaku di mandala tempur, namun juga di medan politik. Maka keniscayaan berikutnya ialah, akan banyak kebijakan publik tak berpihak kepada rakyat, oleh karena terbitnya kebijakan atas pesanan si oligarki ekonomi. Ya, semacam (politik) balas budi;
Ketiga, Korupsi Marak. Di zaman Orde Baru, korupsi hanya terjadi pada lingkaran pusat. Namun di era kini, korupsi hampir merata pada setiap tingkatan dan lini pelayanan baik di pusat hingga di desa. “Korupsi berjamaah”.
Dari fakta di atas, sebenarnya sudah bisa dirumuskan asumsi, bahwa korupsi di era reformasi bukan persoalan moral semata, tetapi faktor sistem politik. “Ya, korupsi di Indonesia diciptakan oleh sistem”. Bahkan malaikat pun jika masuk ke sistem ini, kata Pak Mahfud MD, bisa menjadi iblis!
Keempat, belum lagi — dampak negatif dari Otonomi Daerah (Otda). Munculnya berbagai fenomena nyleneh di publik, misalnya, petruk dadi ratu, atau raja-raja kecil di daerah, kere munggah bale, dan seterusnya yang justru menyimpang dari filosofi kepemimpinan ala Ki Hajar Dewantara (Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani);
Kelima, dan masih banyak isu negatif lain di publik akibat praktik UUD hasil amandemen, terutama side effects Otda serta praktik one man one vote.
Di ujung tulisan ini, pertanyaan menggelitik pun muncul, “Sampai kapan kegaduhan di republik ini terus terjadi hanya karena menganut sistem koruptif ala Barat, sedangkan kita memiliki sistem sendiri warisan the Founding Fathers yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila?”
Demikian semburat kembang sore yang kini berwarna-warni dalam menyongsong pilpres one man one vote yang bakal berjalan kelima kali (2024 nanti) di republik tercinta ini. Entah hingga kapan.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
Tamat
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments