Pertemuan Multinasional Perdamaian Tentang Ukraina di Arab Saudi Berat Sebelah dan Tidak Netral

Bagikan artikel ini

Pada 5 hingga 6 Agustus 2023 di Arab Saudi akan bertindak sebagai tuan rumah Pertemuan Multinasional membahas persiapan sebuah Pertemuan Tingkat Tinggi (Peace Summitt) membahas draf 10 Poin usulan rencana perdamaian yang diprakarsai oleh Presiden Volodymyr Zelensky (Volodymyr Zelensky Plan) pada 2024 mendatang. Menurut Andriy Yermak, Kepala Staf Kepresiden Ukraina sebagaimana dilansir oleh situs berita Aljazeera, beberapa negara kabarnya akan ikut serta.

 

Baca: Saudi Arabia to host Ukraine peace talks, top official says

 

Ihwal adanya rencana tersebut bermula ketika harian terkemuka Amerika Serikat, The Wall Street Journal, mewartakan adanya rencana pertemuan tingkat tinggi di Jeddah, Arab Saudi, membahas usulan perdamaian Presiden Zelensky, dengan mengutip hasil pembicaraan beberapa diplomat senior. Sebagaimana dilansir The Wall Street Journal, para pejabat senior Ukraina maupun beberapa negara Barat berharap Pertemuan Tingkat Tinggi membahas 10 poin Formula Perdamaian Rusia-Ukraina rumusan Presiden Zelensky itu, akan  mencapai titik puncaknya dengan terselenggaranya Pertemuan Perdammaian Tingkat Tinggi (Peace Summitt tahun depan. Yang mana para pemimpin dunia yang hadir dalam Konferensi Perdamaian Tingkat Tinggi akan menandatangani Piagama Perdamaian berdasarkan skema 10 Poin Rencana Perdamaian yang diajukan Presiden Zelensky.

Namun anehnya, dalam pertemuan tingkat tinggi di Jeddah, Arab Saudi yang rencananya akan dimulai pada hari ini 5 Agustus 2023, tidak mengundang Rusia sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam Konflik Ukraina-Rusia.

Kedua, Pertemuan Tingkat Tinggi di Jeddah, Arab Saudi, hanya mengikutsertakan negara-negara berkembang yang dipandang Pro AS dan Barat, dan tentunya juga pro Ukraina. Tanpa mengikutsertakan Rusia maupun negara-negara berkembang yang dipandang netral, maka pertemuan internasional membahas 10 Poin Rencana Perdamaian atas usulan Presiden Ukraina Zelensky, maka akan dipandang sebagai manuver diplomatik Ukraina dan negara-negara blok Barat untuk menggalang dukungan internasional untuk melancarkan aktivitas politik anti-Rusia terkait Konflik Rusia-Ukraina.

Maka pertanyaan pentingnya di sini, bagaimana mungkin akan tercipta perdamaian yang menguntungkan semua pihak, ketika negara-negara yang ikut serta dalam Pertemuan Tingkat Tinggi yang direcanakan pada tahun 2024 mendatang, sejak proses persiapan yang berlangsung pada 5-6 Agustus 2023 tidak mengikutsertakan negara-negara yang terlibat dalam Konflik Rusia-Ukraina tersebut.

Padahal kalau kita cermati secara normatif, 10 Poin Usulan Perdamaian Ukraina tersebut bukan saja bertujuan menjamin perdamaian bagi Ukraina, melainkan juga untuk menciptakan mekanisme untuk menangkal potensi munculnya konflik berskala global di masa depan.

Sayangnya tujuan pertemuan yang dirancang untuk menggolkan 10 poin perdamaian usulan Presiden Zelensky, sudah tidak netral dari awal. Bagaimana mungkin akan tercapai Persetujuan Damai antara Ukraina-Rusia, ketika dalam salah satu 10 formula perdamaian Zelensky, menggarisbawahi pemulihan integritas territorial Ukraina sekaligus kesediaan Rusia untuk menarik mundur pasukannya dari wilayah-wilayah Ukraina yang diduduki tentara Rusia.

Menjelang pertemuan di Jeddah, 5 Agustus 2023, pihak Ukraina mengklaim akan menghadirkan sekitar 50 negara, Termasuk Chili, Mesir, Uni Eropa, Indonesia, Polandia, Inggris, Amerika Serikat, Zambia dan  Mexico. Nampak jelas dari daftar peserta negara-negara yang diundang ikut serta boleh dibiliang negara-negara yang Pro Amerika, Uni Eropa dan NATO. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Menurut kabar Indonesia akan mengirim delegasi setingkat duta besar.

Namun kalau mencermati skema dan ide dasar pertemuan di Jeddah, Arab Saudi pada hari ini, nampak jelas bahwa kecuali Indonesia yang sejatinya menganut Politik Luar Negeri RI Bebas-Aktif, hampir semua negara peserta cenderung pro AS, NATO dan Uni Eropa. Sehingga sulit untuk dinilai sebagai Pertemuan Tingkat Tinggi Perdamaian yang bersifat Imparsial.

Maka itu, Indonesia dan negara-negara yang tergabung dalam Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN), tidak perlu memandang penting prospek Pertemuan Tingkat Tinggi Perdamaian. Sehingga tidak ada untungnya bagi kepentingan nasional Indonesia. Bahkan bisa berimplikasi akan dipandang sebagai negara-negara yang tidak bersahabat dengan Rusia maupun negara-negara lainnya yang memandang aksi militer terbatas Rusia ke Ukraina sebagai langkah-langkah preventif membendung masuknya AS dan NATO ke wilayah Ukraina. Apalagi kalau nantinya akan memasukkan Ukraina sebagai negara anggota terbaru NATO.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com