Telaah Strategis Di Balik Kunjungan Jokowi ke Cina

Bagikan artikel ini

Soal kritik berbagai kalangan, termasuk dari kawan saya Rocky Gerung, terhadap IKN yang dikaitkan dengan kunjungan presiden ke Cina, haruslah dievaluasi secara menyeluruh agenda agenda yang disepakati sebagai landasan hubungan bilateral RI-Cina.

Saya sendiri belum mempelajari secara rinci kesepakatan bilateral kedua negara, tapi dari olah bacaan berbagai sumber terkait kunjungan ke Cina, nampaknya agenda utama adalah bertumpu pada penguatan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi.

Jadi dalam dugaan terbaik saya, IKN yang banyak disorot dan jadi perbincangan di kalangan pengamat naupun warganet, sebetulnya juga berpedoman pada agenda strategis penguatan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi. Artinya, IKN hanya salah satu item pembahasan untuk disepakati.

Celah atau titik rawan yang harus dicermati dari kesepakatan bilateral RI-CINA seturut kunjungan Jokowi adalah konfigurasi kekuatan seperti apa yang ikut Jokowi ke Cina. Hal ini sangat penting bukan saja menyangkut kejelasan visi presiden sebagai kepala negara, tapi juga support system seperti apa yang berperan memainkan peran menjabarkan visi presiden jadi.strategi diplomasi.

Ini soal serius karena bukan saja menyangkut penyikapan Indonesia merespons pertarungan strategi global antara AS vs Cina. Melainkan juga tentang cara pandang dan pola pikir para pemangku kepentingan indonesia dalam memandang konstelasi dan dinamika geopolitik internasional yang berlangsung saat ini.

Maka itu, aetiap ide untuk menjalin kerjasama dengan Cina apalagi seperti sekarang ketika AS dan Cina begitu tajam di kawasan Asia Tenggara utamanya Laut Cina Selatan, negara negara berkembang termasuk Indonesia punya posisi strategis dan posisi tawar kuat dalam menjalin kerjasama dengan Cina baik sendiri sendiri atau bersama-sama secara kolektif seperti kerjasama ASEAN-CINA. Asalkan punya daya.pikir yang tajam maupun imajinatif.

Maka itu kalau mau mengkritisi Jokowi maupun jajaran kabinetnya terkait kunjungannya ke Cina jangan dilokalisasi ke soal IKN. Melainkan telaah strategis diperluas lingkupnya dalam kerjasama bilateral kedua dalam kerangka penjabaran Politik Luar Negari RI Bebas-Aktif. Artinya setara, saling menguntungkan dan transparan.

Dengan demikian, seperti sudah dipertunjukkan Iran, Pakistan, Turki dan bahkan sekarang Arab Saudi dalam menjalin kerjasama strategis dengan Cina, ternyata negara-negara yang saya sebut tadi mampu memanfaatkan tawaran Cina untuk kepentingan nasional masing-masing dalam mengimbangi pengaruh politik-ekonomi, sosial budaya maupun militer dari Amerika Serikat dan blok Barat.

Misal dalam memanfaatkan hajatan Cina dalam.menyatukan kerjasama ekonomi dan konektivitas geografis dengan negara negara dari Asia, Afrika, Amerika Selatan dan Timur Tengah. Inilah yang disebut Silk Road Maritime Initiative yang kemudian pemerintah Cina mencanangkan ini sebagai Strategi Nasional.

Dalam konteks kerjasama seperti inilah Iran dan Pakistan maupun Brazil dan India, mampu secara imajinatif menanggapi uluran tangan pemerintah Cina dalam kerangka kerjasama yang setara, saling menguntungkan dan transparan. Lantaran memahami ruh skema kerjsama yang kelak kita kenal dengan OBOR atau One Belt One Road. Atau BRI, Belt Road Initiative.

Untuk bisa cerdas dan imajinatif seperti Iran, Pakistan, Turki dan Arab Saudi, para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri Indonesia harus jelas dan satupadu dulu dalam visi nasional dan strategi nasional.

Menurut saya inilah aspek paling strategis terkait kunjungan Jokowi ke.Cina yang layak dikupas tuntas. Maka dengan sendirinya ihwal IKN sebagai salah satu item kerjasama bilateral akan terungkap dan bisa dinilai berdasarkan tolok ukur setara, saling menguntungkan dan transparan.

Kenapa bagi saya lebih penting menyorot konfigurasi kekuatan delegasi pemerintah yang mendampingi Jokowi ke Cina ketimbang fokus pada Jokowi sebagai aktor tunggal?

Sebab ada faksi-faksi di pemerintahan Jokowi yang sejatinya pro kekuatan kekuatan global mapan seperti AS dan Uni Eropa, sehingga walaupun ikut rombongan presiden ke Beijing, sebetulnya tidak suka dengan konsep kerjasama win win solution ala.Cina berdasarkan skema.OBOR dan BRI yang saya sampaikan tadi.

Maka dugaan terbaik saya mengapa kemudian soal IKN yang lantas jadi sorotan dan bukannya menyorot proyek proyek lainnya sesuai agenda penguatan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi, nampaknya tak lepas dari adanya dukungan sistemik namun diam diam dari faksi faksi yang tidak setuju dengan skema kerjasama RI-CINA.

Maka dalam perspektif seperti ini saya lebih sreg menelaah konfigurasi kekuatan seperti apa yang dibawa Jokowi ke Beijing.

Fakta penting yang patut dicatat sebelum Jokowi ke Cina, dalam KTT negara negara yang tergabung dalam SHANGHAI COOPERATION ORGANIZATION atau SCO, Iran bergabung sebagai negara anggota terbaru SCO. Melengkapi India dan Pakistan yang sudah lebih dulu bergabung.

Fakta penting lainnya, dalam KTT negara negara yang tergabung dalam blok.ekonomi BRICS, ada 5 negara yang diharapkan bergabung jadi negara anggota terbaru BRICS. Salah satu negara yang ditawarkan bergabung BRICS yang dimotori Cina-Rusia itu, adalah Indonesia. Anehnya, Indonesia sampai sekarang belum menyatakan ya atau tidak.

Berarti ada komplikasi dan power game yang cukup tajam di ring satu istana dalam menjabarkan politik luar negeri bebas aktif.

Maka itu saya kurang tertarik dengan ajakan kawan saya Rocky Gerung untuk melulu fokus pada Jokowi sebagai aktor tunggal. Boleh jadi itu benar kalau Jokowi itu boneka.

Jokowi bukan boneka, melainkan papan catur. Artinya di atas papan catur itu bukan saja ada banyak faksi berbeda agenda, bahkan saling bertarung dan bertempur. Termasuk dalam menangani masalah politik luar negeri.

Dengan demikian, lantaran Jokowi sejatinya merupakan papan catur alih alih boneka, maka dirinya sebagai presiden tergantung gerakan pendulum dari hasil perang agenda antara kubu pro Amerika VS pro Cina.

Ketika kubu pro Amerika mengalami pasang naik, manuver dan keputusan Jokowi menguntungkan Washington. Ketika.kubu Cina mengalami pasang naik maka Jokowi condong ke Beijing.

Alhasil gerakan pendulum politik luar negeri bebas aktif yang kerap mengayun ke kiri atau ke kanan yang selama ini dipandu oleh kemampuan para pemimpin menggariskan kepentingan nasional kita sesuai dinamika perkembangan zaman, saat ini justru Jokowi lah sebagai bandul pendulum yang kerap bergerak ke kiri dan ke kanan. Bukannya bergerak ke kiri atau ke kanan lantaran para pemimpin nasional berhasil merespons tantangan zaman menjadi kepentingan nasional.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI) dan Wartawan Senior

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com