Setelah Biden Menang, Lantas Apa?

Bagikan artikel ini

Sumber dari Artikel yang ditulis Atilio A. Boron berjudul: Biden won, now what?

Ada nuansa berbeda antara pemerintahan di bawah presiden dari partai republik dan demokrat yang sangat naif jika diabaikan, meskipun kedua kubu tersebut bertujuan saya yaitu mempertahankan Amerika Serikat sebagai sebuah imperium dan hegemoni global. Lantas, dimana titik perbedaannya?

Yang pasti beberapa pemain kunci yang merupakan arsitek kebijakan keamanan nasional AS seperti Elliot Abrams, Marco Rubio, Ted Cruz, dan Bob Menendez, bakal kehilangan kendali dan aksesnya ke Gedung Putih jika Joe Biden ambil alih tampuk kekuasaan dari Presiden Donald Trump.

Mari kita mulai apa yang bakal terjadi jika Joe Biden yang pada 20 November mendatang berusia 78 tahun. Biden merupakan sosok yang sangat menguasai labirin dan seluk-beluk kekuasaan baik di Gedung Putih maupun Gedung Capitol Hill (Gedung Kongres). Biden sudah jadi senator sejak tahun 1972 hingga 2009, saat dirinya dilantik jadi Wakil Presiden AS mendampingi Barrack Obama.

Sebagai anggota kongres yang sudah “karatan” di Capitol Hill, Biden merupakan saksi bisu praktek2 korupsi yang melembaga di Washington maupun konsesi2 dan kontrak2  bisnis yang melibatkan perusahaan-perusahaan industri berat terkait Komplek Industri Militer yang berada di bawah naungan Pentagon. Biden bukan saja saksi, bahkan disinyalir juga bagian dari pihak yang diuntungkan.

Maka itu sangat diragukan jika slogan kampanyenya yang berbunyi The Renewal atau New Beginning, akan benar-benar secara serius direalisasikan oleh Biden dan oran-orang dekatnya. Apalagi dana kampanya Biden berasal dari bantuan beberapa korporasi besar dan 44 miliarder Amerika. Bahkan Kamala Harris, wakil presiden pendamping Biden, dapat bantuan dana dari 46 miliarder AS. Lebih besar dari Biden itu sendiri.

Lantas,apa agenda strategis yang mendasari strategi global AS di era Biden-Harris? Forum multilateral kembali digunakan sebagai sarana menciptakan kompromi, seraya tetap menggunakan kekuatan bersenjata sebagai alternative, namun bukan sebagai tujuan utama.

AS di bawah Biden akan kembali bergabung dan berkomitmen pada Paris Acccord tentang Climate Change, kembali bergabung dengan WHO untuk memberantas pandemi global Covid-19, dan bergabung kembali dengan UNESCO sebagai salah satu badan di PBB, setelah sempat keluar dari badan tersebut karena Trump menuding sebagai lembaga yang bias anti Israel.

Namun harap juga ingat bahwa sejak 2011 ketika masih pemerintahan Obama-Biden, AS sudah menghentikan bantuan dana kepada UNESCO.

Bagaimana dengan visi Biden mengenai militer dan peran Pentagon? Sewaktu masih anggota senat, Biden menaruh perhatian terhadap pengembangan Komplek Industri Militer dan stabilitas keuangan pada masa krisis 2008.

Adapun terkait sektor kesehatan,  Biden yang merupakan antitesa terhadap kebijakan Trump yang dinilai abai terhadap Pandemi Covid-19, nampaknya akan kembali memprioritaskan program unggulannya “Obamacare”.

Dalam hal kebijakan terkait pengerahan pasukan militer di luar negeri, Biden bahkan mungkin lebih agresif daripada Trump. Sekadar informasi, sewaktu masih di senat, Biden termasuk yang mendukung pengerahan pasukan militer AS di Afghanistan dan Irak. Dan waktu jadi wakil presiden, termasuk yang mendukung operasi militer AS terhadap Suriah dan Libya.

Biden juga punya catatan buruk dalam ikut mendukung penggulingan kekuasaan terhadap kepala pemerintahan di beberapa negara. Seperti mendukung kudeta terhadap Juan Manuel Zelaya, presiden Honduras pada 2009 lalu. Juga mendukung percobaan kudeta Rafael Vicente Corea, Presiden Ekuador pada 2010, dan Fernando Lugo, Presiden Paraguay, pada 2012. Bahkan ikut mendorong adanya impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden Brazil Dilma Rousseff antara 2015-2016. Dengan demikian, tak ada yang baru dengan kepemimpinan Biden-Harris nanti.

Selain menerapkan kebijakan pembendungan terhadap Cina melalui perang dagang akan semakin intensif, seraya menangkal para sekutu Cina menetapkan aturan main internasional. Sehingga AS di bawah Biden-Harris akan semakin agresif dalam mewujudkan agenda-agenda strategisnya melalui meja perundingan dan diplomasi.

Dalam menyikapi Cina dan Rusia, Biden-Harris masih tetap memandang kedua adikuasa tersebut sebagai musuh, yang mana tak jauh berbeda dengan retorika yang dikumandangkan Presiden Trump.

Bahkan dalam serangannya terhadap Rusia, Biden dalam pernyataannya sama sekali tidak bersifat diplomatis. Seperti menggambarkan pemerintahan Rusia di bawah Vladimir Putin sebagai “a system of authoritarian kleptocracy.” Sementara menggambarkan Presiden Cina Xi Jinping sebagai ‘preman.” Seraya menyerang Cina dalam pencurian hak cipta dan aset-aset perusahaan-perusahaan AS.

Dalam hal isu demokrasi, Biden nampaknya akan menggunakan isu tersebut untuk penggalangan persekutuan internasional dengan menggelar konferensi internasional antar negara-negara sekutu AS atau dia istilahkan friendly “leaders.” Dengan demikian penegakan demokrasi dan hak-hak asasi manusia maupun pemberantasan korupsi, akan menjadi tema sentral pemerintahan Biden-Harris.

Singkat cerita tak akan ada perubahan signifikan dengan beralihkanya pemerintahan AS ke Biden-Harris. Seperti juga di era Obama-Biden yang tadinya diharapkan akan membawa angin segar setelah masa 8 tahun pemerintahan George W Bush, banyak kalangan progresif baik di Amerika maupun Eropa pada akhirnya kecewa. Sehingga kekecewaan banyak pihak akhirnya akan terjadi pada pasangan Biden-Harris.

 

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com