Siapa Menabur Api di Jalur Sutera (4)

Bagikan artikel ini

Penulis: M Arief Pranoto, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)

Tulisan ini masih sambungan artikel yang lalu, yaitu (1) Indonesia dalam Perspektif Geopolitik Jalur Sutera, (2) Pokok-Pokok Teori Geopolitik, dan (3) Takdir Geopolitik Jalur Sutera. Sengaja judul dibuat berbeda di setiap bagian, bukannya sekedar seni penulisan agar tampak sexy, tetapi yang utama supaya sidang pembaca lebih fokus menelaah sajian topik demi topik. Tak ada maksud lain. Inilah uraiannya secara sederhana.

Membaca kolonisasi serta berbagai “kegaduhan” di Jalur Sutera, mungkin terlalu kompleks dan panjang. Catatan sederhana ini diawali dari statement Perdana Menteri (PM) Inggris, Henry Bannerman (1906). Ia berkata:

“Ada sebuah bangsa (Bangsa Arab/Umat Islam) yang mengendalikan kawasan kaya akan sumber daya alam. Mereka mendominasi pada persilangan jalur perdagangan dunia. Tanah mereka adalah tempat lahirnya peradaban dan agama-agama. Bangsa ini memiliki keyakinan, suatu bahasa, sejarah dan aspirasi sama. Tidak ada batas alam yang memisahkan mereka satu sama lainnya. Jika suatu saat bangsa ini menyatukan diri dalam suatu negara; maka nasib dunia akan di tangan mereka dan mereka bisa memisahkan Eropa dari bagian dunia lainnya (Asia dan Afrika). Dengan mempertimbangkan hal ini secara seksama, sebuah “organ asing” harus ditanamkan ke jantung bangsa tersebut, guna mencegah terkembangnya sayap mereka. Sehingga dapat menjerumuskan mereka dalam pertikaian tak kunjung henti. “Organ” itu juga dapat difungsikan oleh Barat untuk mendapatkan objek-objek diinginkan” (JW Lotz, 2010).

Apabila jeli mencermati pernyataan Bannerman, tersirat ada “kegelisahan” Barat jika kelak muncul persatuan dan kesatuan Arab. Itulah pokok-pokok motif dan latar belakang kenapa Barat gelisah bila bersemi rasa persatuan apapun, dimanapun dan kapanpun. Oleh sebab ‘barang’ tersebut dianggap hazard atau endapan bahaya bagi penerapan kapitalisme, ideologi yang mereka puja. Terkait statement Bannerman, maka menjadi keniscayaan ketika persatuan serta kesatuan suku-suku bangsa di Jazirah Arab nantinya justru memisahkan Barat dari dunia lain yakni Asia dan Afrika. Inilah inti isyarat dari PM Inggris tempo doeloe.

Ada dua hal pokok menarik untuk didiskusikan terkait isyarat di atas. Pertama, siapa “organ asing” yang dimaksud oleh Bannerman; kedua, dimana teritori dalam kalimat ini, “ ..mereka mendominasi pada persilangan jalur perdagangan dunia.. ”.

Sampai saat ini, penelusuran Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit, di berbagai literatur atas pokok-pokok pernyataan di atas belum ditemukan maksud, apa dan dimana riil itu ‘barang’, baik organ asing maupun jalur persilangan dunia. Tak ada referensi menyebut pasti tentang kedua hal tersebut.

Kiranya hasil diskusi terbatas di GFI (3/5/2014) dapat dijadikan asumsi awal, bahwa ‘organ asing’ yang dimaksud Bannerman ialah Israel. Tak bisa tidak. Adapun posisi jalur persilangan dunia yang mendominasi perdagangan, sebagaimana pernyataan Bannerman, tidak lain dan tak bukan ialah Jalur Sutera itu sendiri. Inilah petikan pointers diskusi di GFI guna melanjutkan catatan ini.

Mari menengok data sebentar. Sekurang-kurangnya, setelah Israel menjadi bangsa (bukan negara) tahun 1948 —sesuai isyarat Bannerman— memang seringkali terjadi konflik serta pertikaian hampir tak kunjung usai di Jalur Sutera. Hingga kini, bahkan sampai detik ini gejolak politik senantiasa mewarnai jalur persilangan perdagangan (dan militer) dunia tersebut.

Ya. Entah konflik yang disebabkan perbedaan budaya dalam agama (Islam), atau antar agama dan suku, isue terorisme, pemimpin tirani, demokratisasi, wahabisme, takfiri, korupsi, dll. Masih ingat asumsi yang berkembang di forum diskusi (terbatas) Kepentingan Nasional RI (KENARI), pimpinan Dirgo D. Purbo? Pada beberapa tulisan, asumsi KENARI saya nyatakan, “conflict is the protection oil flow and blockade somebody else oil flow” (terjemahan bebas: Konflik sengaja dicipta guna melindungi aliran migas dan menyesatkan orang lain agar tidak mengetahui atas aliran migas dimaksud). Inti asumsi di atas menguak maksud, agar bangsa dan negara yang ditarget selalu gaduh di tataran hilir (isue dan tema), sementara skema kolonial terus berjalan tanpa gugatan siapapun.

Kita membahas sedikit soal modus penjajahan untuk menerangkan hal di atas. Ya. Pola kolonialisme dimanapun, baik melalui asymmetric warfare (non militer) maupun pintu simetris (hard power) yang mengerahkan kekuatan militer, tidaklah ujug-ujug. Ia selalu berangkat dari ISUE yang sengaja ditabur sebelumnya. Lalu dimunculkan TEMA atau agenda gerakan, dan ujungnya ditancapkan SKEMA kolonial. Arab Spring misalnya, isue yang ditebar masalah korupsi, pemimpin tirani, demokrasi, dll. Selanjutnya agenda atau tema yang diangkat ialah gerakan massa (yang telah dipersiapkan dan dilatih sebelumnya), sedang skemanya adalah ‘ganti rezim’. Ganti rezim pada Arab Spring sesungguhnya cuma pintu masuk dalam rangka penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA di negara target. Apakah demikian pula dengan Asia Spring yang kini melanda Thailand? Lain waktu kita bahas.

Berbasis kelaziman selama ini, bahwa isue dan tema di setiap kolonialisme dapat berubah-ubah sesuai perkembangan kondisi dan situasi, tetapi skema kolonialisme niscaya tetap lestari sepanjang zaman yakni penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA. Ini mutlak dan barangkali merupakan pakem penjajahan di muka bumi.

Tampaknya anekdot tua yang menyatakan ‘Israel itu Amerika kecil, dan Amerika ialah Israel besar’ semakin mendekat ke titik kebenaran tatkala sekitar 60-an lebih resolusi atau mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dilanggar Israel, tetapi Paman Sam justru diam membisu. Sebaliknya AS akan bertindak keras ketika pelanggar mandat PBB ialah kelompok negara yang bukan sekutunya, meski pakem yang dilanggar sifatnya kontroversi. Sanksi terhadap Iran tentang nuklir contohnya, kendati masih simpang siur baik bukti-bukti formil maupun materiilnya toh embargo tetap dikenakan kepada Negeri Para Mullah. Atau embargo terhadap Kuba masih berlaku hingga sekarang walaupun Soviet, pusat komunis yang menjadi rujukan Kuba telah lenyap ditelan (siklus) alam, dan lain-lain.

Kesimpulan yang dapat diambil, bahwa Israel merupakan bangsa yang sengaja ditanam oleh kepentingan asing (Barat) tepat di “jantung”-nya Jalur Sutera dalam rangka memecah belah persatuan serta kesatuan suku-suku dan bangsa Arab agar mereka menjadi kekuatan kecil-kecil dan lemah, sehingga gilirannya rentan dibentur-benturkan (devide et impera) antar kelompok dan golongan mereka sendiri, ataupun diadu domba antara negara yang satu versus negara lainnya. Conflict is the protection oil flow! 

Bersambung (5)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com