Situasi Terkini mengenai Kepulauan Senkaku / Diaoyu

Bagikan artikel ini

Terletak di Laut Cina Timur, lima pulau tak berpenghuni dengan luas total sekitar 6 km persegi. Dua negara yang terlibat dalam sengketa seperti Jepang dan China masing-masing menyebutnya sebagai Senkaku dan Diaoyu. Pulau ini termasuk dalam zona “sangat panas”, mengingat perairan di sekitarnya meiliki nilai strategis terlebih dalam kontrol jalur laut, sumber daya ikan, belum lagi cadangan energi yang belum dimanfaatkan. Dengan demikian, api konflik skala penuh bisa meletus kapan saja. Tidak hanya di kawasan Indo-Pasifik, tetapi juga dalam skala global.

Dalam perkembangan terakhir, pada 9 Februari, kapal selam serang nuklir Prancis muncul di Laut Cina Selatan. Dua minggu kemudian, fregat Prancis memasuki pelabuhan Nagasaki di Jepang. Sementara Korea Utara sangat berkepentingan untuk menjaganya. Pertanyaan selidik pun muncul, di manakah letak gumpalan kepentingan Prancis (Inggris, Jerman) yang cenderung meningkat?

Namun, yang tidak bisa terelakkan adalah AS juga sangat berkepentingan dengan semua “zona panas” di kawasan tersebut. Fluktuasi arah politik Washington dalam kaitannya dengan situasi di masing-masing negara dipengaruhi pelbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Dalam hal ini, respons Washington (jika ada) atas Tokyo tentang perpanjangan Pasal V dari “Perjanjian Keamanan” bilateral tahun 1960 terhadap pulau Senkaku / Diaoyu cukup mengungkapkan adanya potensi kepentingan yang diperjuangkan.

Fakta bahwa selama beberapa dekade, dari waktu ke waktu, persoalan ini telah diajukan tidak hanya di hadapan setiap pemerintahan baru AS, tetapi seringkali sebagian dari mereka telah berkuasa, sungguh luar biasa. Seperti yang terjadi, misalnya, selama masa jabatan kedua presiden Barack Obama. Sesuatu yang tidak biasa tersembunyi dalam selubung persoalan tersebut, jika diaktualisasikan secara berkala. Untuk menentukan keanehan ini, kita perlu, sekali lagi, beralih ke geografi lokal dan sejarah terkini.

Kepulauan Senkaku / Diaoyu terletak sekitar 150 km sebelah barat selatan Kepulauan Ryukyu, yang membentang 1.200 km dari utara ke selatan dari salah satu dari empat pulau utama Jepang, Kyushu, hingga Taiwan. Dari pulau terakhir ini, Kepulauan Senkaku / Diaoyu berjarak 150 km dari pantai RRC sejauh 300 km. Geografi ini menjadi alasan bagi Beijing (serta Taiwan) untuk tidak merujuk pulau-pulau yang disengketakan ke Kepulauan Ryukyu.

Dan di sinilah bagian sejarah berperan. Faktanya adalah bahwa seluruh Kepulauan Ryukyu hadir dalam sengketa teritorial Jepang-China. Sama seperti bagian dari elit India yang telah mengubur jauh di dalam “subkorteks mentalnya”, masalah kedaulatan (bukan kedaulatan seperti sekarang) dari Beijing atas seluruh Tibet. Padahal di permukaan politik “hanya” ada perselisihan tentang kepemilikan 100 ribu kilometer persegi zona perbatasan China-India.

Sama seperti India yang ingin melihat semua Tibet cukup otonom dari Beijing, maka Beijing lebih suka (sekali lagi, tidak secara publik) untuk memiliki entitas kuasi-negara yang disebut Ryukyu, dengan otonomi luas dari Tokyo, di sebelahnya. Untuk itu terdapat beberapa alasan historis.

Faktanya adalah bahwa sebelum paruh kedua abad ke-19, formasi kuasi-negara dengan populasi yang asli sudah ada. Kepulauan Ryukyu menjadi bagian dari Jepang ketika Jepang memulai ekspansi kebijakan luar negerinya setelah apa yang disebut Restorasi Meiji (pada akhir 1960-an), dan terutama sebagai akibat dari Perang China-Jepang Pertama (1894-95). Status Kepulauan Senkaku / Diaoyu yang berdekatan tidak ditentukan dengan cara apa pun.

Dengan berakhirnya Perang Dunia II, Kepulauan Ryukyu berada di bawah kendali AS, yang pada tahun 1951 diabadikan dalam Perjanjian Perdamaian San Francisco (Pasal 3) dengan status hukum internasional sebagai perwalian. Namun, dokumen ini juga tidak menyebutkan secara spesifik tentang status Kepulauan Senkaku / Diaoyu.

Pada tahun 1972, Kepulauan Ryukyu kembali ke yurisdiksi Tokyo, sebuah itikad baik dari Washington menuju sekutu kunci yang sekarang di Asia. Disewakan (tetapi dibayar dengan anggaran Jepang) bagian dari wilayah Okinawa, yaitu pulau utama Kepulauan Ryukyu, tetap menjadi pangkalan utama kontingen militer AS di Jepang. Tetapi dengan kembalinya kepulauan ini ke yurisdiksinya, Jepang juga mendapatkan kembali status Kepulauan Senkaku / Diaoyu yang belum terselesaikan.

Dalam pandangan Vladimir Terehov, sekali lagi, keterkaitan masalah yang sangat lokal ini dengan potensi masalah status seluruh Kepulauan Ryukyu mendasari ketajaman situasi di kawasan Kepulauan Senkaku / Diaoyu. Dan tidak begitu banyak kelimpahan ikan dan cadangan hidrokarbon yang diduga sangat besar di dasar laut sekitarnya.

Hampir tidak perlu menjelaskan reaksi Beijing terhadap prosedur “jual-beli” ini. Dengan pencapaiannya, situasi di sekitar Kepulauan Senkaku / Diaoyu mulai memburuk. Jepang menganggap sebagai tantangan terbuka pengenalan pada awal Februari tahun ini dari Undang-Undang Penjaga Perbatasan China, yang, antara lain, mengizinkan kapal perbatasan China untuk menembaki “kapal penyusup” asing di perairan teritorialnya.

Pada tanggal 9 Februari, selama pembicaraan dengan pejabat d’affaires ad interim AS Joseph Young di kantor Kementerian Pertahanan Jepang, pimpinannya Nobuo Kishi menyebut undang-undang tersebut “sama sekali tidak dapat diterima”. Dua minggu kemudian, ada “bocoran berita” tentang pembicaraan antara “kelompok” anggota Partai Demokrat Liberal yang berkuasa dan sejumlah perwakilan pemerintah Jepang tentang hak-hak kapal perbatasan Jepang di wilayah Kepulauan Senkaku / Diaoyu. Pertanyaan relevan yang diajukan oleh “kelompok” tersebut dijawab secara positif.

Dengan kata lain, situasi di sekitar pulau-pulau ini semakin memanas. Dan pertanyaan tentang posisi AS sangat penting dalam memprediksi perkembangan selanjutnya. Yang mana dalam kaitannya dengan Jepang adalah dalam hal aliansi militer-politik yang mengikat, dan dengan China sebagai lawan geopolitik utamanya.

Dengan ketidakpastian kebijakan luar negeri AS pada umumnya dan terhadap China pada khususnya, sangat mungkin “nuansa” kontradiktif yang sama dalam situasi di sekitar Kepulauan Senkaku / Diaoyu akan terus bermunculan, yang semakin memuncak di depan mata kita.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com