Pada Juli 2020 lalu, publik internasional dihebohkan dengan munculnya bocoran rekaman percakapan antara mantan wakil presiden AS Joe Biden dan mantan presiden Ukraina Petro Poroshenko, yang dirilis oleh seorang anggota parlemen Ukraina Andrii Derkach. Yang cukup krusial dari isi percakapan tersebut, dan sayangnya materi ini justru luput dari sorotan liputan berita media-media barat, ketika Biden maupun Poroshenko membahas rencana aksi sabotase Ukraina di Krimea pada Agustus 2016.
Yang lebih banyak jadi sorotan media kebanyakan seputar persyaratan bantuan pinjaman AS kepada Ukraina sebesar 1 miliar dolar AS serta desakan Biden agar mencopot jaksa agung Ukraina Victor Shokin, dari jabatannya supaya tidak mengusut keterlibatan putra Biden dengan perusahaan gas Ukraina, Burisma.
Padahal melalui rekaman yang bocor ke publik tersebut, nampak jelas bahwa aksi sabotase atas perintah Kiev ke Krimea memang benar-benar terjadi. Bahkan dalam rekaman percakapan tersebut, hal itu diakui oleh Poroshenko yang pada itu masih menjabat presiden.
Fakta penting lainnya yang mencuat dari percakapan tersebut, Biden mengecam keras keputusan Kiev mengadakan operasi sabotase di Krimea. Menurut Biden, aksi sabotase Ukraina terhadap Krimea, bakal memperluas eskalasi konflik yang beresiko tinggi, sehingga Uni Eropa punya alasan kuat untuk mengecam langkah yang diambil Ukraina. Namun demikian, jika kita menelisik kembali pemantik aksi penggulingan Presiden Viktor Yanukovch pada 2014, lantaran Yanukovich lebih memilih bekerjasama dengan Rusia daripada bersekutu dengan Uni Eropa.
Baca juga:
Victoria Nuland dan Sejarah Kelam Intervensi AS di Pelbagai Belahan Dunia
Dalam percakapan tersebut Presiden Poroshenko sepakat dengan kecaman Biden tersebut. Namun Poroshenko enggan mencopot kepala intelijen Ukraina karena khawatir bakal disangkut-pautkan dengan serangkaian kejadian di Krimea. Namun dalam percakapan tersebut, Poroshenko memberi jaminan pada Biden bahwa operasi sabotase Kiev tersebut tidak bakal terulang kembali.
Menariknya, Andrii Derkach seturut dengan keputusannya merilis hasil rekaman percakapan Biden-Poroshenko tersebut, nampaknya bermaksud juga memberi sebuah informasi penting. Bahwa aktor utama di balik operasi sabotase Kiev ke Krimea adalah Valery Kondratyuk, pejabat senior kementerian pertahanan Ukraina tersebut pada 2019 menjabat kepala intelijen Ukraina.
Menurut Derkach, hal ini sangat berbahaya, mengingat fakta adanya rencana Poroshenko untuk melancarkan kudeta menggulingkan Vladimir Zelenky. Menurut Derkach, Kondratyuk dalam posisi sangat memungkinkan membantu rencana kudeta Poroshenko.
Jadi disini kita bicara mengenai sebuah peristiwa yang berlangsung di kota Armyansk Agustus 2016. Ketika itu Badan Intelijen Rusia (FSB) mengumumkan adanya temuan sekelompok orang-orang Ukraina untuk melancarkan operasi sabotase di Krimea, yang mana ketika itu sedang mempersiapakan aksi terorisme.
Ketika fakta itu terungkap, pihak kementerian pertahanan Ukraina membantah adanya informasi berkaitan dengan aksi terorisme, dan menuding badan intelijen Rusia (FSB) lah yang merekayasa aksi terorisme tersebut. Sehingga keterlibatan Ukraina dalam hal ini sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan. Bahkan menyebut pernyataan pihak FSB Rusia tersebut sebagai provokasi.
Namun jika kita cermati secara faktual, pernyataan bantahan tersebut berasal dari pejabat resmi instansi pemerintah Ukraina, sehingga diragukan validitasnya. Apalagi ketika pihak instansi resmi Kiev menyebut para saboteurs tersebut hanyalah para kriminal biasa.
Dalam rencana aksi sabotase bermodus aksi terorisme tersebut akan menyerang infrastruktur-infrastruktur vital di Krimea, sehingga memberi jaminan terhadap pengerahan pasukan militer Ukraina di daerah Kherson sebagai tempat latihan militer pasukan khusus Ukraina yang dipersiapkan untuk merebut kembali Krimea ke tangan Ukraina.
Dalam skenario tersebut, beberapa kelompok yang tergabung dalam pasukan khusus Ukraina, akan menyeberangi daerah perbatasan secara siluman, dan masuk lebih dalam lagi ke jantung wilayah Ukraina, untuk menyerang beberapa obyek vital di Krimea. Dalam skenario tersebut, pasukan khusus Ukraina akan melumpuhkan kekuatan angkatan darat Rusia, menghancurkan saluran-saluran komunikasi, markas militer maupun gudang-gudang persenjataan. Setelah itu akan diperkuat dengan serangan militer dari jalur darat maupun udara. Sebelum pada akhirnya Krimea sepenuhnya berada dalam kendali kontrol Kiev.
Sekadar pembanding silahkan baca juga:
Pepe Escobar in eastern Ukraine: Howling in Donetsk
Indikasi dari persiapan skenario tersebut nampaknya diperkuat semakin intensifnya latihan militer Ukraina di daerah perbatasan dengan Krimea. Pada taraf persiapan ini, kemajuan persiapan ini berada dalam pengawasan dari tenaga-tenaga ahli dari Barat.
Fakta bahwa skenario tersebut ditangani langsung oleh pasukan khusus Ukraina, maka masuk akal jika tema yang diangkat terkait kesiagaan militer Ukraina tersebut adalah untuk melancarkan tindakan preventif dalam bentuk kontra terorisme. Dengan dalih untuk melindungi obyek-obyek vital yang diperkirakan bakal jadi sasaran serangan terorisme. Indikasi kuat adanya rencana aksi militer Ukraina merebut Krimea terlihat melalui keterlibatan berbagai kesatuan dalam latihan militer tersebut.
Seperti Kepolisian Nasioanal, Badan Dinas Keamanan, Badan Dinas Kedaruratan, Pasukan Cadangan, dan aparat-aparat keamanan di wilayah perbatasan, otoritas pemerintahan daerah dan pemerintahan swadaya lokal. Hal ini secara eksplisit dinyatakan oleh Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Ukraina, Letnan Jenderal Sergei Nev.
Fakta bahwa Ukraina memang punya rencana mengatasi masalah Krimea melalui aksi militer terbukti berdasarkan pernyataan Panglima Angkatan Bersenjata Ukraina. Juga diperkuat oleh peringatan yang dikumandangkan oleh Kepala Staf Angkatan Laut Rusia Alexey Neizhpapa, bahwa Kiev dalam upaya untuk merebut kembali Krimea, Ukraina sedang mempersiapkan operasi militer berskala besar. Bahkan telah mengembangkan Sistem Rudal Pertahanan Pantai (Neptune Missile System), yang mampu menjangkau Sevastopol.
Namun demikian rencana operasi sabotase tersebut akhirnya gagal total, menyusul tertangkapnya sekelompok orang yang nampaknya bertindak atas arahan dari divisi intelijen militer Ukraina di daerah Kherson, Kolonel Akhmedov. Ketika sedang menyelidiki rincian tata letak sejumlah fasilitas keamanan di Krimea.
Meskipun dalam rekaman percakapan antara Biden dan Poroshenko pada 2016 tersebut Biden sepertinya mengecam aksi sabotase tersebut, namun terkesan kecaman itu lebih ke soal metode dan caranya yang dipandang tidak profesional. Namun fakta lain justru menunjukkan bahwa negara-negara Eropa Barat secara tidak langsung memberi arahan pada Kiev untuk merebut Krimea melalui aksi militer.
Baca juga: A Pipelineistan fable for our times
Beberapa negara Eropa Barat yang tergabung dalam NATO, telah secara aktif memberikan bantuan militer kepada Angkatan Bersenjata Ukraina. Bahkan juga memberikan pasokan informasi intelijen, membantu pengadaan latihan militer bersama, juga membantu angkatan udara dalam pelatihan strategis untuk melancarkan pemboman dari udara.
Turki, selain negara anggota NATO yang juga bagian dari matarantai negara pendukung Ukraina, telah menandatangani kerjasama militer dengan Kiev untuk pembelian pesawat tempur drone jenis Bayaktar TB-2.
Namun beberapa kalangan pakar pertahanan pesimis bahwa operasi militer berskala luas Ukraina untuk merebut Krimea akan berhasil. Saat ini pertahanan Krimea bertumpu pada Korps Angkatan Darat Black Sea Fleet, yang dipersenjatai engan teknologi canggih terbaru seperti tank T-7283, sistem roket Tornado-G, Msta-S, sistem pertahanan rudal pantai, dua battalion S-300 PS, dan dua battalion S-400. Dengan begitu, Pasukan Khusus Ukraina tidak mempunyai kekuatan dan sumberdaya untuk memenangkan peperangan di Krimea.
Bahkan diperkirakan, negara-negara patron Kiev seperti AS dan NATO, nampaknya akan berhitung dan menghindarkan diri untuk konfrontasi langsung dengan Moskow.
Nampaknya, pemerintah Ukraina sengaja memainkan kartu keterlibatan negara-negara Barat seperti AS dan NATO untuk membantu operasi militer Ukraina terhadap Krimea, dengan tujuan mengalihkan perhatian rakyat terhadap semakin memburuknya kondisi sosial dan ekonomi dalam negeri Ukraina.
Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute.