Disarikan dari sebuah artikel yang ditulis Rick STERLING:
Why Victoria Nuland Is Dangerous And Should Not Be Confirmed
Victoria Nuland merupakan sebuah ilustrasi paling pas bagaimana AS mencampuri urusan dalam negeri negara lain, dan mengelak dari tanggunggjawab atas sepak-terjangnya di masa silam. Sungguh pertanda buruk di awal pemerintahan Joe Biden, ketika Victoria Nuland telah diangkat sebagai deputi menteri luar negeri AS untuk urusan politik. Apa bahanya sosok satu ini sehingga dipandang tidak kompeten dan berbahaya?
Pada 2000-2003, Nuland merupakan permanen representative di NATO pada masa pemerintahan George W Bush memutuskan menginvasi Afghanistan. Setelah Al-Qaeda berhasil ditumpas, ternyata AS tetap bercokol di Afghanistan, bahkan membangun pangkalan militer semi permanen di negeri itu, dan memecah-belah berbagai komponen bangsa di negeri itu, dan tetap memerangi rakyat Afghanistan selama dua dekade kemudian.
Pada 2003-2005, Nuland menjadi penasehat utama kebijakan luar negeri Wakil Presiden Dick Cheney, untuk membantu dan merencanakan serangan militer AS ke Irak untuk menggulingkan Presiden Saddam Hussein dengan dalih memiliki senjata pemusnah massal.
Padahal misi sesungguhnya AS, termasuk kalangan penganut garis politik ultra kanan seperti Victoria Nuland, percaya bahwa menggulingkan Saddam Hussein dan membentuk pemerintahan boneka yang pro AS, merupakan hal yang mudah dilakukan. Akiba invasi militer AS ke Irak, jutaan warga sipil Irak tewas. Begitu pula ratusan ribu personil militer dan warga sipil AS. Belum lagi yang mengalami trauma pasca perang. Sehingga menyedot anggaran antara 2 sampai 6 triliun dolar AS.
Antara 2005-2008, Nuland ditunjuk jadi duta besar AS di NATO, melalui jabatan tersebut Nuland memperkuat persekutuan dengan beberapa negara mendukung pendudukan AS di Afghanistan dan Irak. Dengan demikian, kesetiaan politik Nuland didedikasikan kepada para pihak yang diuntungkan akibat invasi AS ke Afghanistan dan Irak.
Adapun salah satu korporasi AS yang diuntungkan akibat invasi AS ke Irak adalah Halliburton, yang berhasil meraup kontrak sebesar 39,5 miliar dolar AS terkait proyek-proyek pengadaan untuk Perang Irak. Dick Cheney, wakil presiden era Bush kala itu, merupakan mantan CEO Halliburton.
Pada Januari 2020 parlemen Irak mendesak pemerintah AS agar tentaranya dan kontraktor pertahanan ditarik mundur dari Irak. Namun hinggi kini tentara dan para kontraktor pertahanan masih tetap bercokol di AS.
Menariknya pada saat pemerintahan Barrack Obama dan Hillary Clinton menjabat menteri luar negeri, pada 2011 Nuland ditunjuk sebagai jurubicara kementerian luar negeri AS. Pada tahun yang sama itu pula, Hillary Clinton mendukung serangan militer terhadap Libya untuk menggulingkan Moammar Ghaddafi. Serta mengabaikan penyelesaian konflik secara damai. Sebab tujuan utamanya adalah, AS bertujuan tunggal, menggulingkan Ghaddafi. Motto Hillary Clinton kala itu: Kami datang, kami lihat dan dia (Ghaddafi) mati.
Padahal semasa kekuasaan Ghaddafi, taraf hidup rakyat Libya adalah yang tertinggi di kawasan Afrika.Terkait Suriah. Salah satu alasan kalangan garis keras pendukung perang termasuk Nuland bersikeras menyerang Libya dan menggulingkan Ghaddafi adalah untuk menguasa mendapatkan akses ke pabrik dan gudang persenjataan militer (military arsenal) Libya. Dengan menguasai arsenal militer Libya, maka akan mudah dalam membantu pemberontakan milisi-milisi Suriah untuk menggulingkan Presiden Bashar al-Assad.
Dengan begitu regime change yang dicanangkan menteri luar negeri Clinton untuk menggulingkan Presiden Assad di Suriah, meniru model penggulingan Ghaddafi di Suriah.
Misalnya seperti ini. Pertama, mendorong gerakan aksi protes dan demonstrasi secara damai, lalu memancing aparat keamanan bertindak kekerasan, lalu mengklaim aparat keamanan pemerintah sudah bertindak brutal. Lalu mendesak para demonstran melumpuhkan dirinya. Sementara pada saat yang sama mendukung agen-agen proxy-nya di kalangan milisi bersenjata untuk beraksi.
Bagaimana di Ukraina? Pada 2013 Nuland menjabat deputi menteri luar negeri untuk urusan Eropa dan Euro-Asia. Pada saat dia pada jabatan itu, di Ukraian sedang terjadi pergolakan politik yang cukup memanas. Pada Januari 2014 pergolokan mengarah pada sebuah isu: Apakah Ukraina bersedia menerima bantuan dari IMF atau lebih baik menerima bantuan dari Rusia dengan persyaratan yang lebih ringan.
Pihak oposisi di parlemen Ukraina yang terdiri dari partai sayap kanan dan partai berhaluan fasisme Svoboda Party, mendesak presiden Yanukovich untuk menerima bantuan dari IMF/Uni Eropa.
Disinilah Nuland memainkan peran kunci dalam ikut mendukung penggulingan Yanukovich. Selain ikut campur urusan dalam negeri Ukraina, Nuland juga punya hubungan erat dengan tokoh-tokoh oposisi Ukraina. Bahkan dalam sebuah rekaman audio mengungkap bahwa Nuland sempat memaki-maki pihak Uni Eropa yang mencoba menjajagi perundingan dan kompromi dengan pihak pemerintahan Yanukovich. Berarti, menggulingkan Yanukovich adalah sasaran pokok.
Salah satu agenda setelah kejatuhan Yanukovich pada Februari 2014 adalah menghapus bahasa Rusia sebagai bahasa resmi yang digunakan di Ukraina, padahal bahasa ini sudah terlanjur jadi bahasa yang digunakan jutaan warga Ukraina, utamanya Ukrainan Barat dan Timur.
Pemerintahan pasca Yanukovich yang dikuasai oleh partai berhaluan fasisme dan ultranasionalis, kemudian berhasil bercolol dan menancapkan kuku-kuku kekuasaannya. Di Odessa, penguasa baru tersebut menumpas secara kekerasan aksi protes menentang kudeta terhadap Yanukovich.
Singkat cerita, Nuland merupakan sosok gambaran nyata intervensi AS di pelbagai negara baik melalui cara proxy war, agresi militer, mendukung aksi kudeta, dan pendudukan militer AS menyusul keberhasilan invasi militer yang dilancarkan sebelumnya. Dengan begitu, Victoria Nuland merupakan sosok yang berbahaya.