Para Jenderal Pentagon Mendesak Biden Tingkatkan Postur Pertahanan Yang Lebih Agresif

Bagikan artikel ini

Dengan dalih menangkal ancaman Cina dan Rusia, beberapa jenderal Pentagon mendesak Presiden Biden mendukung Program the new Ground-Based Strategic Deterrent atas dasar skema Perang dengan menggunakan persenjataan nuklir.

Begitu Joe Biden dipastikan menduduki Gedung Putih, beberapa jenderal mulai sibuk bikin manuver yang cukup agresif. Bukan agresif dalam menyusun rencana operasi tempur, melainkan manuver politik mempengaruhi arah kebijakan militer Presiden Biden utamanya dalam restrukturisasi angkatan bersenjata, termasuk dalam memperluas pabrik dan gudang persenjataan nuklirnya. Termasuk juga dalam kemampuan tempur angkatan perangnya. Gagasan ini sangat diharapkan oleh kalangan Pentagon yang berkepentingan untuk melestarikan Kompleks Industri Militer.

Baca: Washington’s Energetic Generals and the Emphasis on Preparation for Nuclear War

Saat ini kementerian pertahanan AS dipimpin oleh menteri pertahanan berlatarbelakang purnawirawan perwira tinggi,  Jenderal  Lloyd J Austin. Sehingga muncul keraguan apakah menteri pertahanan kulit hitam pertama AS tersebut akan taat pada arahan Gedung Putih bahwa tentara tidak boleh ikut campur dalam urusan politik, dan sepenuhnya patuh pada arah kebijakan presiden. Namun dengan tetap bersikukuhnya para jenderal Pentagon untuk mendesak adanya postur angkatan bersenjata yang lebih agresif, merupakan indikasi bahwa tentara AS tetap memainkan peran sebagai kelompok penekan, bahkan bisa dianggapn telah melakukan “kegiatan politik partisan.”

Misalnya pada Februari 2021 lalu, Kepala Staf Angkatan Udara Jenderal Charles Q Brown dan Komandan Korps Marinir AS Jenderal David H Berger, menulis di harian The Washington Post bahwa keduanya mendukung National Defense Strategy yang dirilis Pentagon semasa Presiden Trump pada 2018, namun  keduanya berpandangan hal itu belum maksimal terkait prioritas meningkatkan investasi pertahanan dalam lingkup dan skala yang dibutuhkan untuk menghadapi persaingan militer dengan negara-negara adikuasi lainnya.

Jenderal Brown dan Jenderal Berger berpendapat bahwa anggaran militer pada era Trump sebesar 740 miliar dolar AS tersebut ternyata belum cukup memadai untuk menghadapi persaingan militer menghadapi Cina dan Rusia.

CSAF Nominee Seeks Roles and Missions Review - Air Force Magazine

Memperkuat pandangan Jenderal Berger dan Jenderal Brown, Panglima Militer AS untuk kawasan Eropa dan Afrika Jenderal Christopher Cavoli beberapa hari kemudian menyampaikan pandangannya bahwa angkatan bersenjata AS saat ini membutuhkan artileri jarak jauh maupun aneka jenis persenjataan canggih lainnya buat mengamankan kawasan Eropa menghadapi kekuatan militer negara adikuasa lainnya. Maka itu Jenderal Cavoli sependapat dengan Jenderal Berger dan Jenderal Brown, bahwa sangat beralasan untuk meminta Presiden Biden mempertimbangkan usulan peningkatan  postur militer AS yang lebih agresif.

Christopher G. Cavoli - Wikipedia

Jendral Charles Richard, Kepala Komando Strategis yang berwenang untuk strategi deterrence atau penangkalan maupun operasi militer bersenjatakan nuklir dan ruang angkasa, dalam makalahnya yang diterbitkan the Naval Institute Magazine, menulis bahwa Rusia dan Cina telah mulai melancarkan tantangan terhadap norma-norma internasional dan perdamaian global, dengan menggunakan aneka persenjataan yang tak terbayangkan pada masa Perang Dingin.

Sehingga Jenderal Richard memprediksi krisis kawasan akan semakin memanas seiring semakin gencarnya Cina dan Rusia meningkatkan eskalasi konflik di berbagai kawasan melalui kemungkinan meriskir penggunaan persenjataan nuklir. Jika kedua negara adikuasa pesaing AS tersebut merasa perang konvensional bakal kalah, sehingga membahayakan eksistensi negaranya.

Washington's Energetic Generals and the Emphasis on Preparation for Nuclear War — Strategic Culture

Maka bukan suatu hal yang kebetulan ketika pada awal Februari lalu Pentagon memesan dua Carrier Strike Group yang berada di bawah komando dua kapal induk AS,  Theodore Roosevelt Carrier Strike Group dan Nimitz Carrier Strike Group, yang dikerahkan untuk melakukan manuver militer di perairan Laut Cina Selatan.

Washington's Energetic Generals and the Emphasis on Preparation for Nuclear War — Strategic Culture

Seperti dilansir Navy Times, di dalam Theodore Roosevelt Carrier Strike Group terdapaat  Carrier Air Wing 11, guided-missile cruiser Bunker Hill, Destroyer Squadron 23 [enam kapal], dan guided-missile destroyers Russell and John Finn. Adapun di dalam  The Nimitz’s carrier strike group terdapat Carrier Air Wing 17, guided-missile cruiser Princeton, guided-missile destroyer Sterett, dan staff from Destroyer Squadron 9 serta Carrier Strike Group 11.

Tidak tertutup kemungkinan bahwa show of force angkatan laut AS di Laut Cina Selatan tersebut bertujuan memprovokasi angkatan bersenjatan Cina untuk bereaksi.

Dalam konteks gambaran tersebut di atas, maka sungguh mencemaskan prediksi Kepala Komando Strategis Jendral Charles Richard bahwa krisis kawasan akan semakin memanas seiring semakin gencarnya Cina dan Rusia meningkatkan eskalasi konflik di berbagai kawasan melalui penggunaan persenjataan nuklir.

Faktanya adalah, saat ini militer AS mengancam Cina di Laut Cina Selatan, dan mulai melancarkan konfrontasi terbuka dengan Rusia di sepanjang daerah-daerah perbatasannya. Seringkali terjadi insiden di Laut Hitam di tempat mana angkatan bersenjata AS menempatkan dua kapal perusak berpeluru kendali pada Januari lalu.

Eurofighter Typhoon

Menurut Komando Militer AS di Eropa, dua kapal berpeluru kendali tersebut berasal dari Pasukan Armada Ke-6 yang berpangkalan di Laut Mediterania, dengan dalih untuk memelihara perdamaian dan stabilitas di kawasan  Eropa dan Afrika dalam rangka mengamankan kepentingan nasional AS.

Seturut dengan kepentingan AS seperti dicanangkan Komando Militer AS di Eropa, Pentagon baru-baru ini juga membentuk the Pentagon’s “China Task Force yang disetujui oleh Presiden Biden pada 10 Februari lalu. Gugus tugas ini nampaknya merupakan badan perencanaan perang untuk menelaah strategi dan konsep-konsep operasi, teknologi dan postur pertahanan, searah dengan konsep Presiden Biden bagaimana menghadapi tantangan militer Cina, seraya menjamin keunggulan AS terhadap para pesaingnya di masa depan.

Sepertinya Presiden Biden sepakat dengan para jenderal Pentagon dalam upaya mengejar keunggulan supermasi militernya ke depan, dan sepakat dengan program the new Ground-Based Strategic Deterrent atau GBSD yang mana seperti digambarkan dalam Bulletin of Atomic Scientist dalam terbitannya 8 Februari lalu, akan disiapkan jenis baru persenjataan pemusnah massal, yang mampu menempuh perjalanan sepanjang 6000 miles, membawa hulu ledak nuklir yang kekuatannya 20 kali lebih dahsyat daripada bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Sehingga mampu menewaskan ratusan ribu orang dalam sekali tembak.

Washington's Energetic Generals and the Emphasis on Preparation for Nuclear War — Strategic Culture

Dengan demikian, seperti pernyataan yang dicanangkan Jenderal Richard, angkatan bersenjata AS harus mengubah asumsinya, yang semula beranggapan penggunaan senjata nuklir tidak mungkin terjadi, menjadi sangat mungkin terjadi.

Perkembangan ini mengindikasikan bahwa angkatan bersenjata AS terlibat dalam kegiatan politik partisan mengarahkan Gedung Putih mengeluarkan  kebijakan militer yang lebih agresif dengan dalih untuk menghadapi ancaman militer Cina dan Rusia. Sementara pada pihak lain, ada jutaan rakyat AS yang menolak program GBSD tersebut, karena kalau benar-benar dijalankan bisa menciptakan pembantaian warga sipil dan non-kombatan akibat perang menggunakan senjata nuklir.

Sampai saat ini Presiden Biden belum memperlihatkan sikapnya atas manuver para jenderal Pentagon tersebut, Kita tunggu apa arah kebijakan Presiden Biden. Apakah setuju dengan desakan dan manuver para jenderal agresif Pentagon tersebut, atau menolak dan mengeliminir manuver politik para jenderal Pentagon tersebut.

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com