Siapa Pembuat dan Penebar Covid-19?

Bagikan artikel ini

Hingga pandemi Covid19 berusia setahun lebih — pertanyaan sesuai judul di atas masih belum ada jawaban pasti. Perang narasi —saling tuduh— antara Amerika (AS) versus Cina di awal pandemi 2019-an sampai sekarang cuma menghasilkan dugaan-dugaan. AS menuduh Cina, Cina pun menuduh Paman Sam selaku pembuat dan penyebar Covid19.

Gilirannya, publik cuma disuguhi kesimpangsiuran berita.

Catatan kecil ini mencoba menguak sedikit meski nanti juga tergolong dugaan. No problem. Hitung-hitung, ikut meramaikan jagat analisis terkait Covid19.

Kajian ini berbasis dua rujukan:

1. artikel Sylvain Lafores berjudul: “Putin and Trump vs The New World Order: The Final Battle” dengan improvisasi latar dari penulis tanpa mengurangi substansi guna menguatkan isi analisis Sylvain;

2. hasil pengamatan, survei kecil dan analisis penulis selaku research associate di Global Future Institute, Jakarta, pimpinan Hendrajit.

Ya. Analisis Sylvain beranjak dari asumsi bahwa konsepsi New World Order (NWO) atau Tata Dunia Baru rancangan para bankers —globalis cabal— sejak 1773 guna menguasai politik dan ekonomi dunia dalam genggam sebuah dinasti atau keluarga, tampaknya mulai terancam hiper-inflasi lagi cenderung bangkrut.

Flashback sejenak. Tahun 1944, selaku pemenang PD I dan PD II, AS menggelar Bretton Woods Agreement yang diikuti 44 negara untuk menggagas sistem keuangan global.

Inti kesepakatan: bahwa negara-negara tidak lagi menggunakan emas sebagai alat transaksi melainkan dolar yang diback up atau dijamin emas. Hanya dolar yang memiliki nilai intrinsik. Semua negara mengacu dolar. Dan AS menjamin setiap dolar dicetak ada back up emas.

Tahun 1970-an harga emas menggila dan dolar terkapar. AS menyerah. Ia tak sanggup menjamin setiap dolar dengan emas. Secara logika, jumlah emas terbatas, sedang kebutuhan dolar terus meningkat.

Singkat cerita, tahun 1971 AS keluar dari kesepakatan Bretton Woods. “Dolar menceraikan emas”. Dunia pun terhenyak. Ini yang ditakutkan negara-negara. Nasi sudah menjadi bubur, dolar terlanjur mengglobal menjadi alat transaksi dunia.

Jadi, uang yang beredar kini sebenarnya tanpa jaminan emas. Semua mata uang mengambang tanpa nilai intrinsik. Saat ini, percetakkan uang hanya berbasis surat utang, karena ada aturan IMF semenjak Perjanjian Bretton Woods, emas tidak boleh dijadikan alat tukar dan hal ini membuat dolar AS jumawa. Tak punya lawan.

Tahun 1974, Henry Kissinger manuver ke Raja Arab agar dolar digunakan sebagai alat transaksi dalam perdagangan minyak di Liga Arab. Raja Faisal setuju, maka lahirlah: “Petro Dollar” yang semakin mengglobalkan dolar AS. Kenapa? Minyak merupakan kebutuhan utama semua negara, maka otomatis semua cadangan dan devisa negara-negara niscaya dalam bentuk dolar.

Itulah sekilas latar kekhawatiran kaum globalis cabal atas hiper-inflasi, karena ada indikasi beberapa adidaya mulai mencapakkan dolar AS secara bertahap sebagai alat transaksi perdagangan. Kalau hal ini tak dicegah, kondisi itu berpeluang menimbulkan “tsunami dolar”. Ya. Dolar berpotensi pulang basamo, mudik ke Negeri Paman Sam menjadi kertas-kertas tak berharga.

Retorika: “Bukankah akan ada waktu dari masa tentang keruntuhan Dinasti Amerika?”

Lantas, apa langkah kaum globalisme mencegah agar tak terjadi hiper-inflasi?

Sylvain menulis, mereka melepas Covid19 ke berbagai negara yang diawali di Wuhan, Cina, kemudian menyebar ke Uni Eropa bahkan AS, akhirnya menjalar di seluruh dunia.

Sebenarnya isu Corona19 tidak jauh berbeda dengan virus sebelumnya seperti SARS, misalnya, atau kolera, flu burung dll tetapi karena gemuruh media mainstream dan framing berita begitu gebyar meliput Covid19 sehingga timbul kepanikan publik.

Nah, dari perspektif asymmetric warfare (peperangan asimetris) yang berpola: Isu-Tema atau Agenda-Skema menilai, bahwa Corona19 sebagai “isu” relatif sukses. Mengapa? Selain mampu membentuk opini publik, isu tersebut juga berhasil menciptakan kepanikan global.

Lalu, agenda apa yang dikehendaki mereka?

Tidak lain adalah lockdown dan berbagai varian seperti social distancing, bermasker dan lain-lain sesuai clue WHO. Dan dampak clue tersebut di satu sisi, mengakibatkan lumpuhnya beragam aspek kehidupan terutama sosial budaya, ekonomi bahkan religi; banyak perusahaan gulung tikar, lapangan kerja menciut, marak pengangguran, pasar modal mengalami crash, dan triliunan dolar AS “lenyap” dari peredaran guna membendung tekanan. Meski pada sisi lain, ada sektor yang ‘panen’ terutama industri farmasi dan jasa kesehatan.

Di Inggris beda lagi. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik, hasil survei menemukan 2,9 juta penduduk dewasa mengalami kesepian kronis (chronic loneliness). Bahkan mereka mengaku, kepuasan hidupnya terganggu ‘rasa sepi’ selama pandemi. Ya kesepian akibat hilang kehangatan pertemanan. Lenyapnya social and family support, tipisnya rasa percaya terhadap orang lain (litle trust to other) dan lain-lain. Tampaknya fenomena ini tak hanya melanda Inggris, tetapi seluruh Eropa juga Paman Sam.

Balik ke pandemi. Di luar dugaan, serangan virus ke beberapa negara adidaya tidak sesuai rencana. Skenario lepas kontrol. Cina misalnya, ternyata mampu membuat formula antibakteri bernama azythroicin. Rusia dan beberapa negara Eropa juga mampu membuat vaksin, termasuk Indonesia. AS pun tidak ketinggalan.

Fenomena menarik, justru di era Donald Trump, AS cukup keras melawan ‘serangan virus’ para globalis cabal melalui Federal Drug Administration. Dan via media sosial pula, Trump Cs mencuitkan bahwa Covid19 cuma rekayasa kaum globalisme.

Mundur sebentar tentang NWO. Ya. Ia merupakan konsepsi kaum globalisme yang ingin mewujudkan emperium global di bawah kuasa AS; memakai mata uang global yakni dolar AS; dan menjalankan satu agama tunggal yaitu sekuler universal. Itulah cita-cita kaum globalis cabal membentuk NWO alias Tata Dunia Baru.

Barangkali mereka pengamal fanatik teori geopolitik “The One World”-nya Waldell Wilky yang tidak laku. Kenapa tak laku? Karena nonsense membentuk pemerintahan dunia berdasarkan geopolitik. Bukankah geopolitik itu ilmu negara? Science of the state, kata Karl Haushofer. Dan hingga kini, tak ada satu pun teori (geopolitik) dapat diterima di semua negara. Dan tidak semua negara bisa menerima satu teori. Itulah kebenaran relatif. Kebenaran yang bergerak sesuai tuntutan ruang dan waktu. Nisbi.

Nah, uraian singkat di atas barangkali menjawab galau pertanyaan, kenapa di awal pandemi sikap Trump cenderung over acting, tak mau bermasker. Dan mengapa pula —setelah lengser— akun-akun media sosial milik Trump diblokir. Iya, karena sebagian besar industri komunikasi dan media sosial kepunyaan kaum globalis cabal pendukung NWO, lawan Trump Cs di lentera geopolitik global.

Bersambung ke Bagian 2

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com