Sekilas Tentang Tumpah Darah

Bagikan artikel ini
Jab-Jab Ringan Geopolitik
Bagi bangsa ini — secara geopolitik, Indonesia bukanlah sekedar tanah air belaka, tidak pula wilayah atau domisili/tempat untuk mencari nafkah saja — melainkan ‘tumpah darah’. Ya. Tumpah darah Indonesia.
Lantas, apa makna tumpah darah?
Adalah tanah atau bumi dimana para anak bangsa dilahirkan, tumbuh berkembang, tempat (bekerja) menyambung nyawa, dan kelak merupakan tempat menutup mata kembali ke haribaan Ilahi. Dengan demikian, konsep geopolitik Indonesia sangat berbeda dengan konsepsi Barat yang memandang negara sebagai organisme yang lahir, hidup, berkembang, menyusut dan mati.
Dalam perspektif Barat —dianut juga beberapa negara Asia— negara cuma sebatas objek. Batas-batas negara sifatnya tidak tetap, namun berubah sesuai kebutuhan pemilik ruang hidup. Persepsi inilah yang kemudian melegalkan hukum ekspansi baik secara hard power melalui kekuatan militer, atau soft power secara nirmiliter/asimetris. Termasuk membidani doktrin Security Dilemma di panggung geopolitik, yaitu:
“Setiap negara akan merasa aman jika memiliki kekuatan seimbang dengan negara-negara sekitarnya”.
Konsep ini, akhirnya memicu pembangunan (dan perlombaan) angkatan bersenjata di setiap negara.
Balik lagi ke geopolitik. Menyikapi narasi tumpah darah di atas, maka salah satu unsur pokok Geopolitik Indonesia versi Bung Karno (BK) ialah:
“Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan. Rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya, tidak dapat dipisahkan”.
Inilah kontra geopolitik terhadap teori ala Barat yang diajarkan BK kepada bangsa ini. Ajaran BK, gilirannya membidani selain konsep bela negara, sishankamrata, juga menciptakan jiwa-jiwa patriotisme, cinta tanah air, semangat pantang menyerah — apalagi bila bangsa dan negara ini diganggu oleh musuh (bersama) alias common enemy.
Tetapi, sungguh sayang — para elit dan pakar strategi belum mampu merumus siapa musuh bersama bangsa ini yang menyebabkan kemiskinan tak bertepi dan ketidakadilan sosial. Ya. Selain ujud common enemy masih abstrak serta berubah – ubah, kadang berujud ‘gadis cantik’ yang membuat orang justru jatuh cinta (stockholm syndrome), terkadang menjadi sosok dermawan dan seterusnya. Tetapi, siapapun ia — musuh bersama, kebaikannya hanya kedok. Palsu. Pasti menyelipkan racun di balik manisnya madu, dan menyimpan belati di balik punggung dalam senyum ramahnya.
Urgensi filosofinya, “Segera rumuskan secara serius, siapa musuh bersama yang menciptakan paradoks geopolitik: negeri kaya tetapi penduduknya miskin; keturunan ras unggul kok jadi bangsa pencundang?”
End
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com