Skema Trans Pacific Partnership (TPP) Amerika Serikat Hancurkan Produk Industri Kelapa Sawit Indonesia

Bagikan artikel ini

Ferdiansyah Ali, Staf Peneliti Global Future Institute (GFI)

“Meski negara-negara Uni Eropa dan Amerika menekan perdagangan minyak sawit (crude palm oil) Indonesia dengan berbagai cara, tapi fakta tak bisa dielakkan. Kelapa sawit, dalam setiap hektare (ha) pertahunnya mampu menghasilkan biodiesel enam ribu liter, sedangkan kedelai hanya 440 liter. Sudah seharusnya hasil penelitian tersebut dapat dijadikan bahan negosiasi pemerintah Indonesia dengan Amerika maupun Uni Eropa terkait aturan ketat mereka mengenai peredaran minyak sawit Indonesia.”

Kebanggaan, sebuah kata yang sudah sangat dirindukan oleh rakyat di negeri ini. Dari masa ke masa makna kebanggaan itu kian luntur di negeri kaya akan sumber daya alam. Kebanggaan… “Ah sudah lupakan saja!”

Apa lagi yang bisa dibanggakan dari Indonesia? Pertamina, perusahaan migas yang dulu katanya menjadi tempat belajar Petronas Malaysia, kini terjerembab tak menentu jauh tertinggal. Pendidikan, lagi-lagi katanya dulu pemerintah Malaysia melakukan studi banding di Indonesia, kini peringkat Human Development Index (HDI) negeri ini berada di urutan terbawah diantara Negara Asean. Kalah sama Filipina dan jauh dibelakang dibandingkan dengan Malaysia. Indonesia menempati urutan ke 124. Sedangkan Filipina ke 112, Thailand ke 103, Malaysia berada di urutan ke 61, dan Singapura dengan urutan ke 26.

Di sektor olah raga, untuk tingkat olimpiade tidak pernah masuk 20 besar dunia. Sepak bola Indonesia berada di peringkat 143 dunia dengan konflik PSSI tidak yang tidak berujung. Bulutangkis, sebagai negara yang banyak melahirkan maestro bulutangkis, kini mencapai semifinal Piala Thomas dan Uber tak mampu. Dibidang kekuatan militer jangankan di dunia, di Asia Tenggara saja kalah dengan Malaysia dan Singapura. Di bidang otomotif nyaris semua kendaraan impor.

Namun di balik semua ‘keputus-asaan’ pada kondisi diatas, sebenarnya ada potensi yang mampu mengangkat harkat dan martabat negeri ini untuk kedaulatan dan kesejahteraan rakyatnya. Bangsa ini ternyata adalah produsen terbesar kelapa sawit di dunia.

Kelapa sawit merupakan anugerah bagi Indonesia dan daerah-daerah tropis. Pasalnya, jenis tanaman ini hanya bisa tumbuh subur di kawasan tropis dan produksinya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat terkhusus potensi luar biasa bagi Indonesia. Industri kelapa sawit menjadi salah satu industri yang banyak menyerap tenaga kerja lebih kurang 10 juta orang baik yang bekerja dari Industri hilir dan Industri hulu perkebunan kelapa sawit yang secara langsung maupun tidak langsung. Secara Makro ekonomi kelapa sawit berkontribusi terhadap Indonesia sebesar $ 16,5 milyar atau sekitar 160 triliun per tahun.

Sektor industri kelapa sawit selama ini sangat strategis bagi kepentingan ekonomi nasional. Selama ini sawit menjadi tulang punggung ekonomi nasional dan hajat hidup petani sawit rakyat. Sudah sepantasnya pemerintah Indonesia harusnya menjadi frontliner dan menjadi panglima perang di perdagangan CPO (crude palm oil) atau minyak mentah sawit global. Hingga pada akhirnya menjadi kebanggaan di negeri ini.

Geliat Dominasi Kelapa Sawit Indonesia

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Rabobank, Pawan Kumar, Rabobank Associate Director of Food and Agribusiness Research and Advisory (FAR) mengungkapkan bahwa Indonesia masih menjadi penyumbang produksi minyak sawit dunia terbesar. Indonesia menyumbang sebanyak 48 % dari total volume produksi minyak sawit di dunia. Diikuti Malaysia sebesar 37% dari total volume produksi minyak sawit dunia. Dari laporan 10 tahunan Compounded Annual Growth Rate (CAGR), Indonesia tercatat sebagai produsen minyak sawit yang mengalami pertumbuhan produksi terbesar, yaitu sebesar 11%.

Hingga tahun 2020 diprediksi Indonesia terus mendominasi minyak kelapa sawit. Permintaan konsumsi minyak kelapa sawit dunia akan meningkat mencapai 180 juta ton pada 2020, dengan 68 juta ton atau 38% di antaranya adalah minyak sawit, terutama dari Cina dan India. Indonesia pada tahun itu bakal memasok sekitar 55 persen dari kebutuhan minyak sawit dunia. Hal tersebut tidak terlepas dari beberapa hal yang mendukung Indonesia untuk tetap mempertahankan hegemoni sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Iklim, tenaga kerja, dan kesediaan lahan yang masih cukup banyak sekitar 16 juta – 17 juta hektar, sebagai faktor utama dalam mendukung Indonesia guna meraih predikat tersebut.

Indonesia menjadi pemasok terbesar kelapa sawit di dunia dengan negara tujuan utama Cina, Belanda, India, Amerika, Italia, Jerman dan lainnya.  Hal ini akan terus meningkat seiring dengan konsumsi minyak kelapa sawit yang meningkat setiap tahunnya. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan produksi minyak kelapa sawit Indonesia meningkat dengan rata-rata pertumbuhan dari tahun 2010-2012 mencapai 8,07%. Minyak sawit, sebagian besar diperdagangkan dan dikonsumsi untuk kebutuhan minyak nabati dunia, dan digunakan terutama sebagai bahan makanan seperti biskuit dan es krim, atau sebagai biofuel.

Upaya Perusakan Citra Kelapa Sawit

Indonesia kini menjelma menjadi penghasil CPO terbesar di dunia dan sulit ditandingi negara lain sehingga muncul intrik-intrik persaingan ekonomi melalui saluran politik yang berupaya merusak citra Indonesia. Tujuannya agar pertumbuhan dan perkembangan bisnis kelapa sawit di Indonesia tidak lagi berkembang.

Karenanya potensi Indonesia yang mampu mengembangkan areal perkebunan kelapa sawit sehingga semakin mengukuhkan posisi Indonesia sebagai penghasil CPO pasti bakal digoyang pihak-pihak yang tidak ingin Indonesia memegang peranan ini. Ketakutan terhadap Indonesia bakal memegang peran besar terhadap dunia lewat sektor penghasil CPO terbesar sangat mengkhawatirkan negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, yang  kepentingannya bakal terganggu.

Perusakan citra terhadap kelapa sawit yang terus berkembang lebih disebabkan faktor kecemburuan pihak lain terhadap eksistensi Indonesia memandu bisnis CPO terbesar di dunia. Isu yang digelindingkan pemerintah Amerika Serikat bahwa tanaman kelapa sawit telah merusak lingkungan agaknya hanya rekayasa politik yang ingin meruntuhkan dominasi Indonesia sebagai penghasil CPO terbesar di dunia .

Agenda konspirasi global dalam perusakan citra terhadap kelapa sawit semakin terlihat dalam Konferensi Tingkat Tinggi Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (KTT APEC), 8-9 September 2012 lalu di Vladiostok, Rusia. Dan ironisnya, diperlihatkan lemahnya kapabilitas negosiator Pemerintah Indonesia yang gagal memasukkan  minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebagai produk ramah lingkungan (environmental goods), berarti skema Trans Pacific Partnership Amerika Serikat (AS) berhasil melobi negara-negara satelit AS yang tergabung dalam TPP seperti Malaysia, Singapore, Jepang, Filipina dan Brunei Darussalam, sehingga citra Kelapa Sawit dipandang sebagai produk yang tidak ramah lingkungan. Sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah negara (AS, Australia, dan Kanada) menyebut industri CPO Indonesia merupakan industri tidak ramah lingkungan. Tentu saja kondisi ini bakal mempengaruhi kinerja ekspor CPO Indonesia dalam beberapa tahun ke depan.

Bisa dimengerti jika Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyesalkan kegagalan pemerintah Indonesia dalam melobi para pemimpin Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) untuk memasukkan kelapa sawit sebagai produk ramah lingkungan.

Kegagalan upaya negosiasi ini tak terlepas dari tudingan Badan Perlindungan Lingkungan (Environtment Protection Agency /EPA) Amerika Serikat yang menetapkan emisi gas rumah kaca dari bahan baku sawit minimal 20 persen. Sementara menurut EPA, emisi gas rumah kaca minyak sawit Indonesia yang masuk ke pasar AS hanya sebesar 17 persen untuk biodiesel dan 11 persen untuk bahan bakar lestari sehingga pemerintah AS menolak produk kelapa sawit dan turunannya asal Indonesia.

Padahal berdasarkan hasil perhitungan emisi yang dilakukan oleh IPB terhadap emisi gas rumah kaca minyak sawit sebesar 50 ton CO2/Ha/Tahun setara dengan reduksi 28 persen emisi. Angka ini lebih tinggi dari yang di persyaratkan EPA sebesar 20 persen emisi. Dengan demikian Kelapa sawit menjadi bahan yang aman untuk digunakan sebagai bahan biodiesel di bandingkan dengan bahan penghasil minyak nabati lainnya dan telah memenuhi Renewable Fuel Standart.

Lain lagi dengan Australia. Melalui RUU Food Standards Amendment yang saat ini tengah dibahas secara intensif di parlemen Australia memberi kesan buruk terhadap minyak sawit. Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Deddy Saleh, RUU ini bersifat diskriminatif karena menuding dampak kandungan minyak sawit terhadap kesehatan manusia. Dikatakan, lemak yang terkandung dalam minyak sawit lebih besar daripada minyak yang berasal dari tumbuhan/sayuran lainnya.

Sementara pada 2010, Uni Eropa mengumumkan hanya mengakui dan menerima impor biodiesel yang bisa menghemat 35 persen GRK (Gas Rumah Kaca). Faktanya, hasil penelitian Van Zuthpen yang dirilis oleh Dewan Minyak Sawit Indonesia angka yang dihasilkan Indonesia bahkan sudah melampaui target Uni Eropa 2025 sebesar 50 persen.

Penggunaan biodiesel sawit mampu mengurangi GRK hingga 62 persen dibandingkan bahan bakar fosil, seperti minyak bumi. Penggunaan bahan bakar fosil, seperti pada kendaraan, pabrik, peralatan rumah tangga mengeluarkan gas karbondioksida (CO2) 4.228 ton. Sedangkan biodiesel sawit hanya memproduksi 2.627 ton.

Jumlah karbon yang diikat dari udara oleh perkebunan sawit per hektare pertahunnya, ternyata tak jauh berbeda dengan jumlah hutan hujan tropis, yaitu 161 ton. Sedangkan hutan tropis 163,5 ton per hektare pertahun. Meskipun dari total biomassa, hutan tropis tentu lebih besar empat kali lipat dari sawit, yaitu 431 ton, sedangkan sawit (100 ton).

Meski negara-negara Uni Eropa dan Amerika menekan perdagangan minyak sawit (crude palm oil) Indonesia dengan berbagai cara, tapi fakta tak bisa dielakkan. Kelapa sawit, dalam setiap hektare (ha) pertahunnya mampu menghasilkan biodiesel enam ribu liter, sedangkan kedelai hanya 440 liter.

Sudah seharusnya hasil penelitian tersebut dapat dijadikan bahan negosiasi pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa terkait aturan ketat mereka mengenai peredaran minyak sawit Indonesia.

Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia, produksinya mampu melebihi minyak nabati negara-negara Uni Eropa dan Amerika dengan berbagai macam minyaknya. Minyak kelapa sawit telah menjadi komoditi yang lebih banyak dikonsumsi mengalahkan minyak nabati lainnya. Kelapa sawit menguasai produksi minyak nabati dunia sebanyak 30 %, minyak  kedelai (29%), Minyak Biji Rape (24%), Bunga matahari (8%) dan minyak lainnya (19%). Bahkan ke depan industri kelapa sawit akan berkembang sesuai dengan pertumbuhan penduduk dunia dimana konsumsi minyak nabati perkapita perorang di dunia di perkirakan rata-rata 25 kg/thn.

Kondisi seperti ini membuat negara-negara besar, terutama Amerika, kerap pemerintahnya mengambil keputusan sepihak yang merugikan hubungan dagang dengan Indonesia. Amerika, sebagai negara penghasil kedelai utama yang memasok 35 % produksi di dunia, mempunyai kepentingan untuk melindungi petaninya. Mereka tidak menginginkan pada akhirnya kelapa sawit mampu menggantikan kedelai sebagai bahan baku minyak nabati, karena secara umum kelapa sawit lebih baik daripada kedelai yang dikuasai oleh negara-negara maju itu. Dengan minimnya karbon, biodesel sawit terbukti terlihat lebih seksi dalam perdagangan internasional.

Jadi sebenarnya, berdasarkan hasil diskusi Tim Riset Global Future Institute, yang menjadi ‘akar permasalahan’ boikot kelapa sawit oleh Amerika berkaitan dengan eksistensi industri minyak nabati di Amerika, sehingga terjadi penolakan hasil industri kelapa sawit dari Indonesia. Bisa dibayangkan hasil minyak nabati di luar minyak kelapa sawit hanya 0,3 -0,7 ton/ha/tahun sedangkan minyak sawit mampu mencapai 7 ton/ha/tahun sehingga jika 12 juta kebun kelapa sawit didunia untuk minyak nabati di luar kelapa sawit harus menyiapkan lahan seluas kira-kira 75 juta ha untuk menyamai produktifitas minyak kelapa sawit.

Jika industri di Amerika tidak diproteksi maka akan mematikan industri nabati negaranya dan ditambah lagi menurunnya daya beli masyarakat Amerika dan Eropa  akibat krisis ekonomi yang berlangsung. Terlalu dini jika mengatakan perihal penolakan hasil dari industri kelapa sawit Indonesia berkaitan dengan isu lingkungan, hanya saja isu utamanya “terbungkus secara rapi”. Sebagaimana biasa, skema yang seringkali dituduhkan Amerika berdasarkan paket DHL (Demokrasi, HAM, dan Lingkungan).

Kecemburuan negara-negara besar yang tidak bisa mengembangkan kelapa sawit menjadi faktor utama menggelindingkan isu-isu terkait kelapa sawit merusak lingkungan hidup. Upaya-upaya penolakan minyak sawit Indonesia ini bagian dari konspirasi global yang akan memperlemah Indonesia.

Menaikkan Posisi Tawar

Indonesia termasuk negara yang mengancam produk dan petani kelapa sawit di beberapa negara besar seperti Uni Eropa dan Amerika. Oleh karena itu untuk mengeliminir negara-negara maju mengangkat sejumlah alasan yang berkaitan lingkungan untuk dijadikan kedok negara tersebut dalam menolak kelapa sawit dari Indonesia, pada masa akan datang, pemerintah harus mampu mengupayakan CPO secara optimal menjadi bahan baku energi terbarukan yang ramah lingkungan. Pemerintah sudah harus mencanangkan program hilirisasi produk dengan tujuan meningkatkan nilai tambah produk nasional dan menyerap tenaga kerja. Pemerintah harus segera mengurangi era ekspor produk primer. Indonesia tidak boleh lagi hanya mengandalkan eksportir produk primer karena nilai tambah sangat rendah.

Kurang berkembangnya industri hilir kelapa sawit di Indonesia menyebabkan tekanan dari luar semakin banyak untuk menggusur industri kelapa sawit Indonesia. Selama industri hilirnya tidak maju, kelapa sawit Indonesia terus mendapat ancaman global. Jika industri hilirnya maju maka tidak perlu banyak-banyak mengekspor kelapa sawit mentah, tapi dalam bentuk produk hasil olahannya. Hal ini akan mengeliminir tekanan dari luar tersebut. Menurut Guru Besar Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Endang Gumbira Said, saat ini baru sekitar 30 persen industri hilir yang berkembang, sisanya 70 persen masih di hulu atau bahan baku.

Kemudian yang juga harus mendapatkan perhatian adalah perlu lebih intensif kegiatan riset yang mengkaji tentang kelapa sawit. Dengan kegiatan riset yang belum komprehensif dan dipublikasikan secara internasional, Indonesia tidak mempunyai mekanisme tawar sehingga selalu diserang oleh negara besar dan tidak bisa melawan. Terlalu banyak kepentingan, apalagi banyak investor asing yang bermain di industri kelapa sawit.

Disadari sepenuhnya bahwa industri kelapa sawit masih banyak kekurangan dan kelemahan namun bukan berarti industri ini harus stagnan akibat isi-isu global dan pelarangan impor. Ssecara perlahan industri kelapa sawit akan menyesuaikan dan merevitalisasi kembali sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia dan dunia, industri ini mempunyai prospek yang cerah apalagi jika ‘biodiesel minyak sawit’ dapat berkembang  secara massal, tidak terbayang bagaimana besarnya nilai tawar dan peranan Indonesia di dunia.

Semoga makna kebanggaan yang lama dirindukan buat negeri ini, hadir melalui industri kelapa sawit…

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com