Di tengah upaya Amerika Serikat untuk memaksakan kerjasama global atas dasar skema Unipolar alias pengkutuban tunggal, aliansi strategis global Eropa-Asia, nampaknya semakin terorganisir di bidang perdagangan, pembangunan dan kerjasama antar-negara.
Sejak perekonomian di era kepresidenan AS di bawah Bill Clinton mulai pulih antara 1992-2000, negara Paman Sam ini melancarkan misi senyap untuk mendorong penggusuran pemerintahan negara-negara berkembang yang dianggap tidak sehaluan dengan skema kapitailisme global AS dan Uni Eropa.
Dengan tema Mendemokratisasikan rejim-rejim otoriter di negara-negara berkembang sesuai dengan sistem politik liberal ala AS atau Eropa Barat.
Beberapa yang masuk daftar prioritas untuk didesain menurut skema politik ekonomi liberal ala AS adalah Rusia, Cina, India, Iran, dan beberapa negara di kawasan Timur-Tengah serta Afrika Utara (Mahgribi).
Operasi pemboman dan penghancuran Yugoslavia menjadi beberapa negara yang terpecah-belah seperti Siberia, Bosnia, Kosovo, Albania dan sebagainya, sejatinya merupakan sebuah tahapan penting untuk melumpuhkan Republik Federasi Rusia yang merupakan mata rantai penting Yugoslavia. Seraya untuk menghisap sumber kekayaan alam, privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara, dan menjarah semua sumber-sumberdaya strategis Rusia.
Namun demikian, Cina beserta India dan Iran, memandang kebangkitan AS dan Eropa Barat pasca runtuhnya Tembok Berlin dan Perang Dingin, berupaya untuk membangun kekuatan keseimbangan baru/New Balancing Forces di tengah-tengah dominasi Washington yang berupaya memaksakan kerjasama internasional atas dasar skema Unipolar/Pengkutuban Tunggal.
Republik Islam Iran, misalnyal, pada 1979 baru saja menggulingkan Shah Iran, dan melepaskan diri dari belenggu pengaruh AS dan sekutu-sekutunya dari Eropa Barat. Sebaliknya, India yang semasa Perang Dingin menjalin kerja sama erat dengan Moskow, pada era Pasca Perang Dingin justru mendekat pada Washington. Meskipun India tidak nyaman dengan persekutuan AS-Afghanistan-Pakistan dalam menghadapi invasi Rusia ke Afghanistan.
Bahkan di era George W Bush, pengganti Clinton, AS-India merajut kerjasama yang semakin erat. Apalagi India berkepentingan untuk membendung pengaruh Cina di Asia Pasifik. Seraya menciptakan keseimbangan baru menghadapi Cina.
Namun ada perkembangan internasional penting yang kelak mengubah konfigurasi kekuatan-kekuatan internasional. Yaitu munculnya Vladimir Putin jadi Presiden Rusia pada 1999. Kedua, Cina diterima sebagai anggota World Trade Organization (WTO). Sehingga menjadi momentum kebangkitan ekonomi Cina karena negara-negara Eropa Barat merelokasikan perusahaan-perusahaan berbasis industrinya ke Cina.
Sedangkan tampilnya Putin, kepemimpinan nasional Rusia dipandu oleh visi geopolitik yang imajinatif dan cerdas, seraya memperakarsai pembaharuan besar-besaran dalam bidang kemiliteran Rusia.
Menyadari momentum kebangkitan Cina dan Rusia, maka kedua negara berupaya membangun kerjasama dengan AS dan NATO, seperti halnya yang ditempuh oleh India. Atas dasar kerjasama yang setara dan adil.
Namun keputusan sepihak AS untuk keluar dari perjanjian the Anti Ballistic Missile Treaty (ABM Treaty) pada 2002, maka pupuslah sudah impian Barat untuk mengintegrasikan Rusia ke dalam persekutuan NATO.
Pada 2001, Washington mengubah fokusnya ke Perang terhadap Terorisme,yang kemudian membawa implikasi geopolitik pada sasaran. Menginvasi Afghanistan pada 2001 dengan dalih Taliban dan Al Qaeda telah jadi sarang sekaligus pelindung terorisme internasional. Serta melakukan invasi ke Irak, dengan dalih Saddam Hussein memiliki Senjata Pemusnah Massal (Weapon of Mass Destruction).
Namun ironisnya, di tengah upaya AS dan NATO menjadi kekuatan Unipolar Dunia, benih-benih ke arah kerjasama internasional bersifat multipolar justru mulai bersemi. Rusia di era Bush, melalui doktrin politik luar negeri dan pertahanannya bertajuk Project New American Century (PNAC), menetapkan Rusia sebagai pesaing utama/Principle Enemy.
Adapun perekonomian India dan Cina yang semakin tumbuh-berkembang, nampaknya mulai menggagas sebuah kerjasama yang saling menguntungkan, meski secara laten masih memendam persaingan terselubung. Sementara Iran dan Rusia ada kebutuhan bersama untuk menyegarkan kembali postur pertahanan dan kekuatan militernya, untuk menangkal ancaman militer dari AS dan Israel.
Dengan kata lain, Cina dan India semakin digdaya sebagai raksasa ekonomi baru seiring semakin bertumbuh-kembangnya perekonomian nasional masing-masing negara, Rusia dan Iran tumbuh berkembang sebagai kekuatan regional yang sulit disingkirkan begitu saja dalam percaturan politik internasional.
Alhasil, Iran dan Rusia, semakin erat bahu-membahu menangkal skema Unipolar AS-NATO seperti yang mereka lancarkan terhadap Afghanistan, Somalia, Irak, dan belakangan Libya dan Suriah.
Sementara pada saat yang sama Iran dan Rusia semakin solid menghadapi negara-negara Arab yang bersekutu dengan AS yang dimotori Arab Saudi.
Sementara itu, Inggris dan Prancis dari belakang layar mendukung milisi-milisi bersenjata di Tunisia, Libya dan Mesir. Tujuannya untuk menciptakan kekacauan dan kerusuhan yang mengarah pada perpecahan internal di negara-negara tersebut.
Sebagai konsekuensi dari manuver Unipolar AS dan NATO tersebut, malah mengilhami terciptanya suatu kekuatan keseimbangan baru untuk menangkal aksi destabilisasi AS dan NATO tersebut. Menariknya, gagasan tersebut mengarah pada sebuah aliansi yang bertumpu pada persekutuan lintas-kawasan, yaitu Eropa-Asia.
Maka pelan tapi pasti, persekutuan India-Iran-Rusia-Cina semakin solid di bidang ekonomi, militer, politik dan diplomasi. Dengan demikian, maka berakhirlah era dominasi AS yang bertumpu pada kerjasama Unipolar, menjelma menjadi sebuah realitas baru. Yaitu Kerjasama Multipolar yang menciptakan pusat kekuatan baru di luar orbit Unipolar AS-NATO.
Ikatan historis Rusia dan India di masa Perang Dingin semakin mempererat kerjasama kedua negara, Rusia dan Cina semakin solid menghadapi pengarauh AS di Afrika Utara dan Timur Tengah, menyusul skenario Presiden Barrack Obama mendukung Skenario Arab Springs, untuk menggusur para pemimpin di kedua kawasan itu yang tidak sehaluan dengan skema kapitalisme global AS. Seperti Ben Ali dari Tunisia, dan Hosni Mobarak dari Mesir.
Apalagi ketika AS mendorong skenario Perang Saudara untuk menggusur Moamar Khadafi dari Libya. Dan Aksi destabilisasi di Suriah, dengan mendukung milisi-milisi bersenjata dalam rangka memberontak terhadap pemerintahan Bashar al Assad. Maka Rusia dan Cina serta Iran semakin solid sebagai kekuatan keseimbangan di Timur-Tengah untuk menghadapi hegemoni AS dan NATO.
Bahkan titik-baliknya justru semakin menarik. India, Iran, Cina dan Rusia justru menggunakan Timur-Tengah sebagai batu-loncatan untuk meningkatkan integrasi energi, ekonomi, dan militer, seraya menggagalkan agenda strategis kaum neo-konservatif AS di kawasan Timur-Tengah. Sehingga mengirim pesan tidak langsung kepada Arab Saudi dan Israel yang tetap merupakan sekutu tradisional AS dan NATO.
Simak lebih lanjut dalam sebuah artikel bertajuk:
Russia, China, India and Iran: The Magic Quadrant That is Changing the World
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)