Skenario Bentrokan Militer China dan AS di Laut China Selatan

Bagikan artikel ini

Ketegangan di Laut China Selatan terus meningkat. Menurut laporan China Central Television (CCTV), dua negara adidaya, Cina dan AS, dalam waktu dekat akan saling berhadapan dan memicu insiden militer besar di Laut China Selatan.

Ketegangan antara kedua negara adidaya itu terus meningkat selama beberapa tahun terakhir, karena China berusaha menancapkan kendali dan hegemoninya atas perairan yang disengketakan. Sementara AS juga telah meningkatkan kehadiran dan kegiatan militernya di kawasan itu, dalam upaya untuk melawan sikap Beijing yang semakin agresif. Hal ini dilakukan dengan terus mengupayakan kebebasan patroli navigasi bersama dengan misi pengintaian udara.

Mei lalu, satu skuadron jet tempur SU-30 yang dipimpin pilot ace Lu Geng bergegas untuk mencegat pesawat militer asing yang mendekati wilayah udara China.

Dalam komunikasi radio yang disiarkan dalam laporan CCTV, pilot Lu terdengar mengeluarkan peringatan keras kepada pilot asing dalam bahasa Inggris dan China.

“Ini Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat (PLA),” bentaknya, sebagaimana dilansir express.co.uk.

“Kamu akan memasuki wilayah udara China. Segera pergi!”

Ketika jet asing menolak untuk kembali, pilot China mulai mensimulasikan manuver serangan dalam upaya untuk mengintimidasi musuh mereka. Ketika taruhannya meningkat, pilot asing dengan bijak memutuskan untuk meredakan situasi dengan mundur ke tempat yang aman. Pilot Lu kemudian mengatakan kepada CCTV bahwa dia tidak akan ragu-ragu untuk menembak jatuh para penyusup jika situasinya menuntutnya.

Dia berkata: “Jika [mereka]memulai pertarungan, saya akan bertarung.

“Pilot siap setiap saat, dan tidak ada yang perlu diragukan lagi.”

Meskipun laporan CCTV tidak mengidentifikasi kewarganegaraan pesawat yang mengganggu itu, para ahli mengatakan bahwa mereka kemungkinan besar dari AS.

Menurut pemantauan yang dilakukan Inisiatif Penyelidikan Situasi Strategis Laut China Selatan (SCSPI), angkatan udara AS mengirim setidaknya 35 pesawat mata-mata ke wilayah tersebut Mei lalu.

Xu Guangyu, penasihat senior Asosiasi Kontrol dan Perlucutan Senjata China, mengatakan kepada Global Times pada Minggu lalu bahwa Washington telah meningkatkan upayanya baru-baru ini untuk mengumpulkan intelijen tentang Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Dia mengklaim bahwa AS telah mengirim pesawat pengintai elektronik dan pesawat anti-kapal selam untuk operasi pengintaian jarak dekat.

Pekan lalu, AS mengatakan pihaknya membutuhkan kehadiran pasukan militer yang “dapat dipercaya dalam pertempuran” di Laut China Selatan untuk mencegah agresi China. Ely Ratner, calon asisten Menteri Pertahanan AS, mengatakan kepada Komite Angkatan Bersenjata Senat Rabu bahwa “postur pasukan ke depan yang kredibel dalam pertempuran” diperlukan untuk “mencegah, dan jika perlu, menolak skenario fait accompli”.

Sebagaimana dalam artikel sebelumnya, penulis mengungkap bahwa Laut China Selatan seolah menjelma menjadi destinasi pertempuran berikutnya antara AS dan China mengingat kawasan itu sangat memungkinkan bagi “wisatawan militer” dari kedua negara adidaya tersebut untuk menunjukkan segala “kemolekan” postur pertahanannya jika dibandingkan dengan kawasan lain di dunia. Terlebih, ambang batas suhu pertempuran di laut China Selatan bisa segera naik di bawah Presiden terpilih Joe Biden.

Harus diakui, AS dan China merupakan dua negara ekonomi terbesar dunia yang saat ini bersaing dalam segala hal mulai dari perdagangan hingga virus corona. Persaingan lain dari dua negara adidaya itu sepertinya akan lebih meluas yang memicu memicu konfrontasi militer antara keduanya. Meskipun pejabat tinggi pertahanan dari AS dan China terus menjalin komunikasi bahkan ketika hubungan yang lebih luas telah memburuk, nasionalisme yang lebih kuat di kedua negara meningkatkan taruhan politik dari setiap krisis yang ada, demikian diungkapkan Karen Leigh, Peter Martin and Adrian Leung.

Sebagaimana diketahui bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump telah meningkatkan jumlah “operasi kebebasan navigasi” —yang dikenal sebagai FONOP — di Laut China Selatan yang bertujuan untuk merespon klaim China atas perairan tersebut. Hal ini bisa dicermati dari serangkaian manuver saat ini, yang melibatkan kapal-kapal angkatan laut yang berlayar dalam batas teritorial dari fitur-fitur darat yang diklaim oleh China, yang mencapai level tertinggi dari 10 tahun lalu setelah total hanya lima dalam dua tahun terakhir pemerintahan Obama.

Juga Kalau dilacak dari upaya provokasi AS terhadap China dalam beberapa tahun terakhir, AS juga telah meningkatkan aktivitas militer dan kehadiran angkatan lautnya di wilayah ini, termasuk kebebasan operasi navigasi (FONOP) pada bulan Januari dan Maret 2018. Dalam pidatonya selama kunjungan November 2017 ke Asia Tenggara, Presiden Donald J. Trump menekankan pentingnya operasi semacam itu, dan memastikan akses bebas dan terbuka ke Laut China Selatan. Sejak Mei 2017, Amerika Serikat telah melakukan enam FONOP di wilayah tersebut.

Dan sekarang, suara provokasi AS itu kian nyaring terdengar dengan keberadaan kapal induk USS Nimitz dan USS Ronald Reagan untuk melakukan operasi di Laut China Selatan pada Juli lalu.

Seperti dilaporkan CNN, otoritas Angkatan Laut AS menyatakan bahwa beroperasinya kapal induk AS, USS Nimitz dan USS Ronald Reagan, tidak lain adalah untuk  “melakukan beberapa latihan taktis yang dirancang untuk memaksimalkan kemampuan pertahanan udara, dan memperluas jangkauan serangan maritim jarak jauh presisi dari pesawat berbasis kapal induk.”

Sepertinya, Presiden AS Joe Biden tampaknya akan mempertahankan atau bahkan memperluas jumlah FONOP. Jake Sullivan, yang didapuk menjadi penasihat keamanan nasional AS, tahun lalu, menyesali ketidakmampuan AS untuk menghentikan China dari militerisasi fitur tanah buatan di Laut China Selatan, dan meminta AS untuk lebih fokus pada kebebasan navigasi.

“Kami harus mencurahkan lebih banyak aset dan sumber daya untuk memastikan dan memperkuat, dan bersama mitra kami, kebebasan navigasi di Laut China Selatan,” kata Sullivan kepada ChinaTalk, sebuah podcast yang dipandu oleh Jordan Schneider, seorang asisten yang bertugas di Center for a New American Security yang berbasis di Washington.

Memang AS selama ini telah memainkan peran kunci dalam menjaga keamanan di perairan Asia sejak Perang Dunia II. Namun pembangunan militer Beijing, dikombinasikan dengan langkah-langkah untuk memperkuat daya cengkeramannya di wilayah yang disengketakan di Laut China Selatan, telah menimbulkan kekhawatiran bahwa hal itu dapat menghalangi akses militer AS ke perairan di lepas pantai China. Pada gilirannya, AS semakin berupaya untuk menunjukkan hak untuk melakukan perjalanan melalui apa yang dianggapnya sebagai perairan dan wilayah udara internasional.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com