Di sekolah dasar dan menengah kita lazimnya hanya hafal nama sastrawan perempuan macam Sariamin (Kalau Tak Untung) dan Hamidah (Kehilangan Mestika). Nama Soewarsih Djojopoespito rasanya agak asing atau setidaknya rada jarang disebut guru kesusasteraan mungkin juga guru sejarah di depan kelas.
Kok bisa ya? Padahal ia sudah menulis novel sejak tahun 1939. Dibandingkan novel karya sastrawan lain nasib novel Soewarsih tergolong “apes”. BUITEN HET GAREEL, demikian judul novel itu dalam bahasa Belanda, semula ditulis dalam bahasa Sunda. Ia memang lebih paham bahasa Sunda dan Belanda ketimbang bahasa Melayu-Indonesia.
Sang novel, yang berkisah tentang perjuangan dan pengabdian pasangan guru Sudarmo dan Sulastri dan penyebaran semangat nasionalisme di negeri jajahan tersebut, tahun 1939 dikirim ke penerbit plat merah Balai Pustaka.
Redaktur BP, yang umumnya berpandangan konservatif, menolak menerbitkannya lantaran novel itu dinilai penuh aroma “politik” dan melawan kebijakan pemerintah.
Membaca reaksi itu, dalam suatu pertemuan dengan sastrawan Hindia Belanda Charles Edgar du Perron (yang biasa menulis namanya E.du Perron), ia mengeluh perihal nasib karyanya. Perron lalu menyarankan agar novel tersebut ditulis ulang dalam bahasa Belanda. Soewarsih, yang menguasai bahasa Belanda dengan baik, menyambut penuh semangat saran sahabatnya itu. Naskah novel, yang dikoreksi dengan teliti oleh Perron, lalu dikirim ke Belanda.
Tahun 1940 sang novel terbit dengan judul yang telah disebutkan yang berarti: “Di Luar Jalur”. Novel yang diterbitkan De Haan Uitgevery, Utrecht, itu agaknya hendak memberi pesan bahwa ia tidak mengikuti arus umum karya-karya prosa yang terbit saat itu. Ia, dengan begitu, sebuah anomali dari mainstream. “Tepat juga penilaian dewan redaksi…seluruh isi buku penuh dengan semangat perjuangan politik,” tulis Rob Nieuwenhuys, sastrawan londo yang lahir di Semarang itu.
Puluhan tahun kemudian kritikus sastra HB.Jassin meminta Soewarsih menerjemahkan Buiten het Gareel ke dalam bahasa Indonesia. Tahun 1975 novel tersebut, diterbitkan Djambatan yang sekarang sudah marhum, bisa dibaca publik Indonesia dengan judul: MANUSIA BEBAS. Barangkali inilah novel awal Indonesia yang cetakan pertamanya terbit di luar negeri dan ditulis dalam tiga bahasa.