Sri Soekanti Ianfu Paling Muda di Dunia: “Saya Diperlakukan Seperti Kuda”

Bagikan artikel ini

EkaHindra, Peneliti Independen “Ianfu” Indonesia

Saya dilahirkan di Desa Gundi, Purwodadi, Jawa Tengah berasal dari keluarga besar sebagai anak ke-11 dari 12 bersaudara. Bapak seorang Wedana di Purwodadi bernama Soedirman, orang-orang memanggilnya Den Dirman (Den kepanjangan dari Raden yang merupakan gelar kebangsawanan dalam kebudayaan Jawa), sedangkan Ibu bernama Sutidjah anak seorang Lurah (Kepala Desa). Bapak mempunyai kereta kuda (dokar) dan saisnya (pengemudi) sebagai kendaraannya bekerja. Seingat saya ketika kecil kerjanya ayah hanya perintah-perintah orang saja. Mereka takut dengan ayah, karena ia tidak banyak bicara, wajahnya pun yang jarang tersenyum membuahnya terkesan galak dimata mereka.

Banyak orang mengatakan diantara delapan kakak perempuan, sayalah yang paling cantik karena berhidung mancung dan berkulit putih. Saya juga senang berbicara, jadi terkesan cerewet. Makanya orang-orang banyak orang-orang memanggil saya dengan sebutan Nyah Kran (Nyonya Belanda).

Sejak kecil saya dilarang bergaul dengan sembarangan anak. Sehingga saya jarang pergi keluar rumah kecuali ada kakak yang mengantarkan. Kalaupun bermain dengan kawan-kawan dekat rumah, merekalah yang datang ke rumah untuk bermain. Saya hampir menjadi anak bungsu sifat saya sangat manja. Apapun yang saya inginkan harus dikabulkan orang tua, kalau tidak saya akan marah dan mogok makan. Kerjaan saya waktu kecil yang cuma bermain saja karena semua pekerjaan rumah sudah dikerjakan sama babu (pekerja rumah tangga).Waktu itu bermain dengan boneka yang sering saya lakukan. Tetapi bentuk bonekanya bukan seperti boneka jaman sekarang, bentuknya kucing terbuat dari pohon randu.

Pada waktu Jepang mulai masuk ke desa Gundi, usia saya 9 tahun sudah sekolah kelas II Sekolah Rakyat. Ruang sekolahnya memakai balai desa untuk tempat belajar, Setiap hari kakak-kakak bergantian  mengantar sekolah memakai sepeda ke sekolah. Saya masih ingat kalau pulang sekolah masih suka digendong-gendong bapak.

Diculik Jepang

Suatu siang sekitar jam 11.00 siang pertengahan 1945, datanglah dua orang tentara Jepang berpakaian dinas lengkap dengan samurai terselip dipinggangnya, ditemani Lurah desa Gundi bernama Djudi ke rumah saya. Lurah inilah yang menunjukan kepada si Jepang kalau ayah memiliki saya, gadis yang mereka anggap paling cantik di keluarga. Ternyata mereka mengingkan saya, Bapak waktu itu berusaha menolak halus permintaan mereka.

Tiga hari kemudian, jam 03.00 sore  dua orang Jepang tersebut datang kembali untuk mengambil paksa saya dari rumah. Salah dari dari mereka berkata kepada Bapak, “Jika anakmu tidak boleh saya ambil, nanti saya  pukuli semua anak-anakmu sampai mati.” Mendengar ancaman itu saya menangis ketakutan sambil bersembunyi dibalik punggung bapak. Ayahnya tidak berdaya untuk menolong Sri Sukanti dari cengkraman si Jepang. Diiringi tanginsan ibunya, Sri Sukanti kecil dibawa pergi paksa si Jepang dengan menggunakan mobil jeep.

Tidak lama kemudian Jeep itu sudah memasuki sebuah komplek gedung yang bernama gedung Papak (artinya gedung tanpa bentuk atap). Saya mengenali gedung itu sebagai rumah tinggal keluarga Belanda yang menjabat sebagai Kepala Stasiun Kereta Api di Gundi, Purwodadi. Disitulah saya baru mengetahui kalau  Malam pertama disana, saya dimandikan, dikeramasi, dibedaki dan disalini (dikasih baju) oleh Ogawa persis seperti boneka.

Tidak lama Ogawa melampiaskan nafsu seksnya sebanyak enam kali hingga keesokan harinya. Akibatnya saya mengalami pendarahan hebat, kemaluan bengkak sebesar kepalan tangan orang dewasa. Saya ingat, waktu itu saya terus menangis merasa kesakitan sambil memanggil-manggil nama ibu.

Sejak malam itu saya menjadi tahanan Ogawa di gedung Papak”. Di malam kedua Saya dibiarkan sendiri oleh Ogawa didalam kamar terkunci. Satu hari sebelum Saya dipulangkan Ogawa ke rumah orang tua, saya dipaksa Ogawa melayani nafsu seksualnya lagi, “Habis-habisan saya dipaksa melayani hasratnya. Saya diperlakukan seperti kuda, “kemaluan saya mengeluarkan banyak darah. Saat itu rasanya saya ingin mati. Saya bukan manusia lagi”.

Setelah empat hari menjadi tawanan Ogawa, akhirnya saya dapat kembali bertemu dengan  kedua orang tuanya. Mereka sangat terkejutnya karena vagina saya mengeluarkan banyak darah. Orang tua mengobati pendarahan di vagina sekitar satu bulan.

Sejak Jepang pergi dari desa Gundi, saya sempat meneruskan sekolah dasar kelas II yang terpaksa saya tinggal karena dibawa paksa ke gedung papak. Waktu saya kembali bersekolah, kawan-kawan dan guru malah mengejek, “bekas ketek … bekas ketek …” (bekas monyet = bekas Jepang),“Kenapa tidak ikut ke Jepang saja”. Kejadian ini terus terjadi selama tiga hari. Jadi membuat saya malu dan tidak mau lagi kembali sekolah. Sekarang saya tidak bisa memiliki anak. Sehari-hari saya bekerja tukang pijat dan memandikan jenazah.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com