Surat Terbuka Kepada Presiden Jokowi Terkait Mengaktualisasikan Kembali Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif

Bagikan artikel ini

Kepada Yang Terhormat Presiden RI Joko Widodo

Di Tempat.

Salam Hormat.

Bersama surat ini kami dari Global Future Institute (GFI) dan beberapa mahasiswa Fakultas Ilmu Hubungan Internasional Universitas Nasional yang tergabung dalam Vox Muda, berharap semoga Bapak Presiden dan segenap jajaran kabinet berada dalam keadaan sehat wal afiat dan senantiasa dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.

Bapak Presiden yang kami hormati.

Senin 5 Desember yang baru lalu, kami dari GFI dan Vox Muda, menggelar seminar terbatas dengan format Focus Group Discussion membahas tema: “Membentuk Strategi Perimbangan Kekuatan Dalam Rangka Mengaktualisasikan Kembali Politik Luar Negeri RI yang bebas dan aktif.” Sebagaimana yang kami harapkan selaku Steering Committee seminar, beberapa kalangan kementerian terkait kebijakan luar negeri seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan maupun Kementerian Pertahanan, hadir memenuhi undangan kami. Selain itu berbagai elemen masyarakat seperti dari kalangan Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan maupun kemahasiswaan hadir seperti Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah dan Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Selain itu juga hadir ikut memberikan saran gagasan adalah dua orang peneliti bidang ekonomi politik maupun hubungan internasional. Juga tidak ketinggalan hadir seorang mantan diplomat senior Kementerian Luar Negeri.

Bapak Presiden yang kami hormati.

Baik para narasumber maupun peserta aktif bersepakat bahwa politik luar negeri RI bebas dan aktif bukan saja tetap relevan di era sekarang ini, bahkan harus berlanjut terus. Bahkan lebih daripada itu, sebagaimana kami harapkan selaku panitia pengarah, perlu adanya reaktualisasi politik luar negeri yang  bebas dan aktif sesuai dengan tren global terbaru dan tantangan zaman yang tentunya berbeda dengan beberapa dekade sebelumnya.

Selain daripada itu, ada desakan kuat  baik dari beberapa narasumber maupun peserta aktif dalam forum diskusi, agar Indonesia tidak saja lebih meningkatkan peran aktifnya di berbagai forum internasional dan multilateral, melainkan juga sudah saatnya tampil sebagai Kekuatan Baru dan Penyeimbang Kekuatan Dunia di tengah semakin menajamnya persaingan global yang semakin menajam antara Amerika Serikat versus Republik Rakyat Cina khususnya di kawasan Asia Pasifik.

Para narasumber maupun peserta aktif diskusi memandang penting pemerintah dan para stakeholders kebijakan luar negeri untuk mereaktualisasikan kembali Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif, atas dasar dua pertimbangan strategis. Pertama, sejak era Orde Baru pada masa pemerintahan Suharto hingga dan tetap  berlanjut ke era Reformasi, kebijakan luar negeri Indonesia masih terlalu condong mengandalkan diri pada Amerika Serikat, Eropa  Barat, disamping Jepang dan Republik Rakyat Cina. Baik dibidang ekonomi dan perdagangan maupun dalam kerjasama pertahanan.

Bahkan ada salah seorang narasumber seminar secara khusus menyorot kerjasama pertahanan internasional Indonesia, berani berkesimpulan bahwa Indonesia masih belum berani keluar dari orbit pengaruh “Western Hemisphere.” Seperti terlihat dari kecenderungan untuk mengandalkan pembelian peralatan militer strategis dari Korea Selatan, padahal kita ketahui bersama, Korea Selatan bagaimanapun juga, masih berada dalam orbit pengaruh blok Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Kedua, Indonesia perlu mereaktualisasikan kembali Politik Luar Negeri Bebas-Aktifnya, karena sejak beberapa tahun terakhir ini, ada tren global yang secara signifikan memerlukan adanya suatu cara pandang dan pola pikir baru dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan luar negeri kita. Yaitu tren global pergeseran sentra geopolitik global yang tadinya berpusat di Atlantik sekarang bergeser ke kawasan Asia Pasifik. Yang mana telah ditandai dengan munculnya tiga kekuatan baru yang berpotensi menjadi kekuatan keseimbangan global baru, khususnya di kawasan Asia Pasifik. Yaitu India, Cina dan Rusia.

Bapak Presiden yang kami hormati.

Tren global yang kami gambarkan tadi, nampak jelas sewaktu beberapa waktu berselang digelar US-ASEAN Summit di California, Amerika Serikat, yang mana Bapak Presiden sendiri berkenan hadir dalam event yang sangat penting tersebut. Sebagaiman informasi yang kami peroleh menyusul berakhirnya US-ASEAN Summit di California, Amerika Serikat beberapa waktu yang lalu, nampaknya ada tekanan yang cukup kuat baik dari Washington maupun dari dalam negeri kita sendiri, agar Indonesia dan ASEAN hendaknya lebih berkiblat kepada Amerika dan blok Uni Eropa dibandingkan Cina, Rusia dan India. Sehingga sempat ada desakan kuat kepada pemerintah Indonesia agar ASEAN Dialog Partnership dengan Cina, Rusia dan India, dikurangi intensitasnya cukup dua tahun sekali, atau bahkan jika dimungkinkan, ditiadakan sama-sekali.

Tak pelak lagi hal ini mengindikasikan betapa Amerika menaruh kekhawatiran besar dengan kemunculan tiga negara tersebut India-Cina-Rusia dalam konstalasi di Asia Pasifik maupun Asia Tenggara pada khususnya, sehingga merasa perlu melancarkan manuver diplomatik untuk menetralisasikan tren ke arah terjalinnya aliansi strategis ASEAN, yang tentunya termasuk Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN dan Asia Tenggara, dengan ketiga negara yang diprediksi akan menjadi suatu kekuatan alternafif global di luar orbit Amerika dan Uni Eropa.

Atas dasar hal tersebut di atas, maka beberapa narasumber maupun peserta aktif mendesak forum diskusi agar meninjau ulang arah kebijakan luar  negeri RI yang dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini condong lebih menggantungkan diri kepada Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang. Meskipun beberapa tahun belakangan ini, mulai menjajagi berbagai kerjasama dengan Cina.

Terkait dengan dua pertimbangan strategis perlunya Indonesia mereaktualisasikan politik luar negeri bebas aktif, kemudian berkembang  beberapa gagasan strategis dalam forum diskusi tersebut.

Pertama, untuk melakukan suatu hubungan kerjasama luar negeri yang lebih solid dengan India, Cina dan Rusia, maka dalam mengaktualisasikan prinsip kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, harus terlebih dahulu Membangun Strategi Perimbangan Kekuatan (Balancing Strategy) bersama-sama dengan negara-negara yang bervisi sama dengan Indonesia, seperti pernah dipelopori Indonesia semasa pemerintahan Presiden Sukarno, melalui gagasan terbentuknya Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955 maupun Gerakan Non Blok Beograd 1961.

Sehingga atas dasar skema tersebut, Indonesia bersama-sama dengan negara-negara yang sevisi dan sehaluan, akan mampu membangun persekutuan strategis dan solid dengan ketiga kekuatan baru Asia Pasifik tersebut (India, Cina dan Rusia) atas dasar prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan. Sehingga tidak sekadar berpindah dari satelit negara-negara Amerika Serikat dan Eropa  Barat menjadi satelit ketiga kekuatan baru tersebut. Melainkan bersama-sama ketiga kekuatan baru Asia Pasifik tersebut menjadi suatu Kekuatan Alternatif sekaligus Penyeimbang Kekuatan Dunia, di tengah persaingan global yang semakin menajam antara Amerika Serikat dan Cina di kawasan Asiap Pasifik.

Apalagi  beberapa narasumber maupun peserta aktif seminar juga mengingatkan bahwa meskipun Amerika dan Cina berbeda niat, namun kedua negara sama-sama berwatak imperialistis dan berambisi menjadi Penguasa Tunggal Dunia Internasional. Sehingga kita harus memandang AS dan Cina sama-sama berpotensi anncaman bagi kepentingan nasional Indonesia.

Bapak Presiden yang kami hormati.

Bagi Indonesia, yang pada April 1955 memotori terbentuknya Solidaritas bangsa-bangsa di kawasan Asia-Afrika melalui terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika di Bandung, maupun Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok di Beograd pada 1961, sepertinya harus kembali kepada konsepsi Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif. Karena untuk memotori penyusunan Strategi Perimbangan Kekuatan, khususnya di Asia Tenggara menyusul bergesernya persaingan global negara-negara adikuasa di Asia Tenggara, para stakeholders kebijakan luar negeri RI harus dijiwai oleh Dasa Sila Bandung 1955 dan komitmen Gerakan Non Blok 1961.

Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif sebagaimana dimaksud dalam kerangka pemikiran ini adalah, Bebas. Dalam pengertian bahwa Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila. Aktif. Artinya di dalam menjalankan kebijaksanaan luar negerinya, Indonesia tidak bersifat pasif-reaktif atas kejadian-kejadian internasionalnya, melainkan bersifat aktif, dalam menjabarkan tantangan global dan nasional yang kita hadapi sekarang. Juga dapat didefinisikan: “berkebebasan politik untuk menentukan dan menyatakan pendapat sendiri, terhadap tiap-tiap persoalan internasional sesuai dengan nilainya masing-masing tanpa apriori memihak kepada suatu blok.

Juga bisa diartikan Bebas dalam artian tidak terikat oleh suatu ideologi atau oleh suatu politik negara asing atau oleh blok negara-negara tertentu, atau negara-negara adikuasa (super power). Aktif artinya dengan sumbangan realistis secara giat mengembangkan kebebasan persahabatan dan kerjasama internasional dengan menghormati kedaulatan negara lain.

Sehubungan dengan kerangka pemikiran dan gagasan tersebut di atas, maka untuk menciptakan situasi yang kondusif ke arah tampilnya Indonesia sebagai Kekuatan Baru yang memelopori dan memotori kembali terbentuknya Kekuatan Penyeimbang Dunia di tengah konflik global saat ini, maka beberapa narasumber dan peserta aktif bersepakat, untuk merevitalisasikan kembali forum Perhimpunan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) dan negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI).

Tentunya dengan satu syarat, bahwa Indonesia harus bisa meyakinkan melalui sarana-sarana diplomatik yang ada, agar ASEAN dan OKI pun bersedia untuk membangun perspektif baru dan komitmen baru atas dasar gagasan untuk membangun Strategi Perimbagan Kekuatan Global, yang dijiwai dan diilhami oleh semangat Dasa Sila Bandung 1955 dan Gerakan Non Blok 1961.

Dan untuk lebih mendapat dukungan yang solid dan kongkrit pada skala internasional, menarik untuk mempertimbangkan usulan dari mantan Waki Duta Besar RI di Rusia, Bapak Nurrachman Oerip. Menurut beliau, untuk mendapat merealisasikan Strategi Membangun Perimbanga Kekuatan Global yang dimotori Indonesia, sudah saatnya mempertimbangkan untuk menjalin kerjasama yang lebih strategis dan solid dengan Rusia. Dasar pertimbangan Pak Oerip nampaknya cukup rasional dan beralasan. Pertama, adalah fakta bahwa Rusia merupakan salah satu anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mempunyai hak veto di PBB.

Kedua, di Rusia, ada terdapat sekitar 20 juta warga Muslim, yang tentunya  merupakan modalitas sosial atau social capital yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dan kiranya sangat efektif untuk merajut The We Feeling antara negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, karenan sebagian besar negara-negara berkembang  baik di Asia-Afrika maupun Timur-Tengah, juga merupakan negara-negara yang berpenduduk Muslim terbanyak.

Karena itu, sebagaimana Bapak Presiden bisa mempelajari dan mendalami Simpul-Simpul dan Rekomendasi Seminar GFI  5 Desember lalu, kiranya mendesak untuk segera membentuk Kelompok Kerja dengan tiga tugas pokok:

  1. Mengkaji dan meninjau ulang pelaksanaan prinsip bebas-aktif dari Politik Luar Negeri RI yang selama 50 tahun terakhir condong menggantungkan diri kepada blok Amerika Serikat dan Eropa Barat dalam bidang ekonomi-politik keamanan, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan.
  2. Mengeksplorasi dan mendalami lebih detail berbagai kemungkinan baru dalam menjalin aliansi strategis Indonesia dengan India-Rusia-Cina di beberapa sektor strategis  baik Politik-Keamanan, Ekonomi-Perdagangan, dan Sosial-Budaya.
  3. Mengkaji dan mengeksplorasi suatu format kerjasamama maupun kemitraaan strategis Indonesia-Rusia, baik secara Government to Government maupun People to People Diplomacy. Khususnya di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Kemiliteran, Kemaritiman, Energi, Pendidikan, dan Media Massa..

Demikianlah Bapak Presiden yang kami hormati, sekelumit informasi dan beberapa pokok gagasan yang sempat kami serap melalui Seminar terbatas para ahli yang kami selenggarakan pada Senin 5 Desember lalu di Jakarta.

Semoga Bapak Presiden berkenan mempelajari lebih lanjut beberapa simpul-simpul strategis Seminar maupun rekomendasi GFI terkait hasil seminar, sebagaimana sudah kami publikasikan juga kepada masyarakat melalui berbagai sarana informasi dan media massa.

Sekian dan Terimakasih.

Jakarta, 12 Desember 2016.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com