Suriah, Pada Akhirnya

Bagikan artikel ini

Penulis: Dina Y. Sulaeman, Mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional Padjadjaran, penulis buku “Prahara Suriah”  

Pada akhirnya, globalisasi telah membuat arus informasi mengalir deras tanpa bisa terbendung. Meskipun media-media arus utama (mainstream) berusaha membungkam, tetapi bak air, informasi antimainstream bisa terus mencari jalan untuk keluar dan menyebar ke seluruh dunia. Tetesan air itu berubah mtenjadi bah yang tak bisa ditahan oleh apapun.

Waktu, cepat atau lambat, akan menjadi pedang yang menebas semua kepalsuan informasi. Kasus yang mungkin masih diingat adalah bagaimana Presiden Bush Sr dan anaknya Presiden Bush Jr menggagas Perang Teluk 1991 dan Perang Irak 2003. Bush Sr menggunakan kisah pembantaian 300 bayi di rumah sakit Kuwait oleh tentara Saddam untuk menggalang dukungan internasional dan melancarkan Operasi Badai Gurun. Kisah pembantaian itu diungkapkan seorang gadis bernama Nariyah (15 tahun) yang muncul di program televisi ABC’s Nightline dan NBC Nightly News sambil menangis.  Lama kemudian baru terungkap  bahwa Nariyah tak lain putri Sheikh Saud Nasser Al-Saud Al-Sabah, Duta Besar Kuwait untuk Amerika Serikat. Sebelum tampil di acara televisi itu, dia belajar akting di Hill & Knowlton.

Presiden Bush Jr menggunakan strategi yang sama dalam ‘membujuk’ Kongres AS agar menyetujui serbuan ke Irak. Kali ini isu yang disebarkannya adalah Saddam memiliki senjata biologis yang mengancam AS dan dunia. Tahun 2003, serangan itu dilakukan, Saddam terguling, dan sampai hari ini tentara AS masih bercokol di Irak. Dan, tak ada bukti soal senjata biologis itu.

Suriah, tak luput dari modus serupa. Kisah-kisah tentang kekejaman Assad (yang kebetulan Alawi) terhadap kaum Sunni disebarluaskan. Pasukan jihad pun berdatangan dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Tak ada yang lebih mengerikan daripada kebengisan yang dilandasi dendam relijius yang berusia ribuan tahun. Dan itulah yang terjadi di Suriah.

Namun, zaman sudah berubah. Globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi membuat kebenaran terkuak tanpa perlu waktu lama. Awalnya hanya kaum Alawi/Syiah yang menjadi sasaran pembunuhan para ‘mujahidin’. Tetapi dengan segera terlihat, kaum Sunni pun menjadi korban. Ulama-ulama Sunni dibunuh dengan brutal. Syekh Seifeddin dibunuh dan dimutilasi, kepalanya digantung di menara masjid. Syekh Buthy gugur akibat bom yang meledak di masjid saat ia sedang memberikan ceramah agama. Anak Syekh Hassoun (Mufti Suriah) dibunuh. Kaum Kristen di desa kuno Maaloula pun ditawan dan sebagian dibunuh. Dan akhirnya, sesama mujahidin pun saling bantai dengan brutal.

Zaman memang sudah berubah. Kemajuan teknologi informasi membuat informasi mengenai bukti-bukti kejanggalan konflik Suriah sudah muncul sejak awal. Pergerakan pasukan asing di perbatasan Jordan-Suriah sudah tersebar sejak akhir 2011. Ada jurnalis-jurnalis independen, blogger, dan facebooker yang tanpa kenal lelah, dan tanpa bayaran, menyebarluaskan informasi tandingan. Foto dan video menyebar hanya dalam hitungan detik, untuk memberitahukan kepada dunia apa yang sebenarnya terjadi. Pemalsuan foto dan video dengan cepat terdeteksi, mempermalukan media-media sekelas BBC dan CNN.

Keterlibatan AS dan Israel di Suriah pun tak bisa lagi ditutupi. Foto dan video pasukan ‘mujahidin’ yang dirawat di RS Israel dan bersalaman dengan PM Netanyahu, misalnya, menyebar luas hanya dengan sekali klik ‘share’. Pada awal Mei lalu, delegasi oposisi Suriah, termasuk Kepala Staf Free Syrian Army, Brigjen Abdelilah Al-Bashir, datang ke Washington. Mereka berencana membuka kantor misi diplomatik di AS dan dijanjikan akan menerima bantuan 27 Juta US Dollar dari AS.

Terakhir, bahkan beberapa hari lalu, Arab Saudi sudah melempar handuk kekalahan dengan mengundang kedatangan Menlu Iran ke Saudi. Semua pengamat yang rasional akan menyimpulkan undangan yang ‘ujug-ujug’ ini sangat terkait dengan kekalahan Arab Saudi di Suriah.  Semua masih ingat betapa galaknya diplomasi Arab Saudi di awal konflik Suriah; secara frontal mengambil posisi berseberangan dengan Iran (yang tegas mendukung Suriah). Bahkan bulan April yang lalu pun Arab Saudi masih show of force: menggelar parade militer terbesar dalam sejarahnya di Hafr Al Batin yang berhadapan dengan Irak dan Iran.

Manuver Arab Saudi itu menunjukkan kepanikan mereka atas pergerakan pasukan ISIS yang semakin ganas dan telah mengarahkan moncong senjata mereka ke Arab Saudi. Sebagaimana sudah saya prediksikan sejak Desember 2012, pasukan ‘mujihidin’ Suriah akan berperang satu sama lain. Argumen prediksi ini sederhana saja: bagaimana mungkin mereka akan bisa bekerja sama dalam satu tim ketika landasan ideologi mereka adalah takfirisme (mengafirkan setiap orang yang berbeda pendapat dengan mereka)?

Kekalahan demi kekalahan membuat ‘mujahidin’ saling menyalahkan dan saling bantai. ISIS, salah satu dari dua kelompok ‘mujahidin’ yang berseteru di Suriah, meluapkan rasa sakit hatinya kepada Arab Saudi. ISIS menilai Al Nusra-lah sebab kekalahan di Suriah dan ISIS mengancam akan mengobarkan perang di Arab Saudi dan Kuwait untuk membasmi Al Nusra dan para ulama pendukung mereka. Arab Saudi pun ketakutan dan mulai menangkapi warganya yang terindikasi anggota Al Qaida. Betapa ironis, Arab Saudi yang selama ini mendirikan, mendanai, dan mengirim misi Al Qaida untuk membumihanguskan Suriah,  akhirnya harus menghadapi monster yang sama.

Bangsa Suriah, terutama Syrian Arab Army, dengan keteguhan dan kekuatan mental akhirnya berhasil mengalahkan agresor di negeri mereka. Bahkan saat ini mereka sedang bersiap-siap untuk menyelenggarakan pemilu bulan Juni mendatang.

Sayangnya, masih saja ada orang-orang berkepala batu. Misalnya, seorang penulis terkenal, Felix Siaw, yang bukunya “Udah Putusin Aja” disukai putri ABG saya. Felix memang fasih bicara tentang agama dan mampu memikat anak-anak muda. Namun, setelah sedemikian banyak informasi akurat terungkap, membuka tabir konflik Suriah, seorang sekelas Felix di facebook-nya masih menyuarakan isu basi: Assad Syiah membunuhi kaum Muslim. Tapi, mungkin karena arus informasi juga tak bisa dibendung, Felix terlihat membelokkan isu: “perjuangan Mujahid di Syria bukan hanya karena dizalimi rezim, tetapi untuk menegakkan syariah Islam”.

Entah apa yang dimaksud Felix dengan syariah, ketika sesama mujahidin penegak syariah itu saling bantai dengan cara-cara terbrutal yang pernah disaksikan manusia zaman modern ini: kepala dipenggal, ditendang-tendang, direbus, dibakar.

Dan sialnya, Felix menyebut orang-orang seperti saya sebagai ‘sok tahu’ karena bicara soal Suriah padahal belum ke Suriah (meski sebenarnya saya sudah pernah , tapi dulu, di masa damai). Lalu bagaimana dengan perjuangan Palestina? Betapa banyak aktivis dan penulis pembela Palestina yang belum pernah ke Palestina (termasuk saya)? Lalu, apakah kami semua ini bodoh dan salah, percaya saja apa kata media mulai dari CNN hingga Al Manar bahwa di Tepi Barat ada tembok pemisah yang dibangun Israel yang menyebabkan ratusan ribu warga terkurung, terpisah dari sanak saudara, dan kehilangan mata pencaharian? Lalu, betapa banyak di Indonesia ada pembela Ikhwanul Muslimin yang diperlakukan semena-mena oleh rezim fasis militer Mesir, padahal mereka belum pernah datang ke Mesir? Sok tahukah ini?

Suriah, pada akhirnya, memang menjadi pembeda di antara orang-orang yang cerdas menyaring informasi dengan mereka yang memilih berada di dalam tempurung kecil.

Dan Suriah, pada akhirnya memberi bukti bahwa para pemikir merdeka tak boleh gentar bersuara. Kebenaran pasti akan terungkap.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com