Netralitas Pers Menjelang Pilpres 2014

Bagikan artikel ini

Datuak Alat Tjumano, peneliti senior Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia, Jakarta

Dalam sistem politik yang terbuka, pers berperan sangat penting dalam menentukan berkembang atau tidaknya demokrasi. Itu sebabnya, Edmund Burke tak segan menyebut pers sebagai pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal itu merujuk pada empat peran ideal pers yang antara lain sebagai sumber informasi yang berimbang dan mendidik masyarakat (pendidikan politik), menjadi pengawas penguasa (watchdog) dalam menjalankan pemerintahan, sebagai penyambung lidah (mediator) publik dengan pemerintah, dan sebagai ruang advokasi publik.

Bahkan dengan sinis McNair Brian (1995) pernah mengatakan, “Media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang. Media justru bisa menjadi subyek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak”.

Menurut salah seorang wartawan senior di sebuah harian di Batam, Kepri mengatakan, menjelang Pemilu Presiden 2014, gelagat netralitas penyiaran pers itu sepertinya tidak surut begitu saja. Hal ini mengacu pada realitas saat ini, bahwa bos media-media besar, terutama televisi, adalah mereka yang memiliki kepentingan dalam Pemilu Presiden mendatang. Aburizal Bakrie misalnya yang memiliki kendali atas TVOne dan ANTV telah pasti maju menjadi Capres dari Partai Golkar. Sementara Surya Paloh yang memegang kendali atas Metro TV juga akan mendukung Jokowi sebagai partai koalisi Nasdem yang akan maju menjadi Capres.

Kasus Suwandi (korban lumpur lapindo yang pernah berjalan kaki dari Surabaya ke Jakarta untuk meminta maaf ke keluarga bakrie) yang ditayangkan langsung oleh TVOne hal ini sudah pasti tidak perlu dicurigai, karena kedatangan tersebut merupakan pesan yang harus sampai kesemua masyarakat Indonesia terutama kepada korban lumpur Lapindo dalam rangka memuluskan langkah ARB untuk menduduki korsi Presiden. Seharusnya KPI tentu perlu turun tangan memeriksa kasus tersebut, jangan sampai apa yang dilakukan Suwandi melalui TV One semakin melukai perasaan para korban lumpur Lapindo.

Dalam hal ini seharusnya KPI, dituntut lebih keras dan serius untuk menelaah semua program-program televisi yang ada. KPI harus berani bertindak tegas ketika ada program yang menyeleweng dari kepentingan publik. Selain KPI, Semua civil society juga harus bergerak mengawasi geliat media massa. Karena tanpa keseriusan pengawasan terhadap media massa, publik akan sangat dirugikan dengan banyaknya “informasi sampah” yang menjejali ruang kehidupan.

Sedangkan Direktur Eksekutif Global Review Institute Hendrajit, mengatakan, dalam sistem politik yang terbuka, pers berperan sangat penting dalam menentukan berkembangnya suatu demokrasi. Pers merupakan sebagai sumber informasi yang berimbang dan mendidik masyarakat (pendidikan politik), menjadi pengawas penguasa (watchdog) dalam menjalankan pemerintahan, sebagai penyambung lidah (mediator) publik dengan pemerintah, dan sebagai ruang advokasi publik. Namun di sisi lain, keberadaan pers juga tak lekang dari kritik tajam. Hal ini disebabkan oleh (terkadang) adanya peran ganda yang dimainkan. Selain melakukan fungsi ideal seperti tertera di atas, pers kerap kali terjebak dan tak kuasa melawan kungkungan kapitalisme. Melihat paradoks ini, tidak mengherankan apabila kemudian Presiden SBY terus mengingatkan para pekerja pers agar tetap mawas diri. Menjelang Pemilu Presiden 2014, tentu kondisi politik nasional akan memanas, oleh sebab itu pers harus berlaku adil dan seimbang dalam memberikan infomasi kepada masyarakat. Pers diharapkan bisa memberikan pendidikan politik yang baik.

Presiden SBY pernah mengigatkan kalangan pers agar bisa memberi porsi adil dalam memberitakan kandidat capres bukanlah tanpa alasan. Jika melihat gejala perkembangan pers akhir-akhir ini, kita semua patut cemas terhadap sikap netral awak media. Hal itu mengacu pada indikasi bahwa kerap kali media massa berpengaruh Indonesia hanya menjadi corong politik bagi para pemilik modalnya.

Sedangkan, salah seorang redaktur sebuah harian di Pekanbaru mengatakan, Saat ini  sedikit sekali pers yang netral dalam menjalankan fungsinya, karena kepemilikan  media merupakan orang-orang partai politik hingga menteri. Selain itu kebijakan media melalui pimpinan bahkan orang perorangan  di dalamnya juga menghambat netralitas. Bahkan slogan “berani bela yang bayar” cukup terlihat, apalagi dalam menjelang pileg dan pilpres ini. Tidak hanya media nasional, media lokal bahkan juga mengambil sikap yang sama guna menghidupi medianya dan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Karena media lokal yang bukan grup dari media nasional, harus berani membela yang bayar.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com