Tahun 2022 Menandai Runtuhnya Hegemoni Global AS

Bagikan artikel ini

Krisis Ukraina-Rusia yang mewarnai konstelasi global sepanjang tahun 2022 pada perkembangannya bukan saja berdampak di kawasan Eropa, melainkan juga ke kawasan Asia. Melonjaknya harga energi dan pangan akibat putusnya rantai pasokan, bukan saja merugikan negara-negara berkembang di sektor pangan dan energi, namun pada perkembangannya juga berpotensi menimbulkan krisis global di bidang energi dan pangan.

Konflik Ukraina-Rusia tidak terbatas di kawasan Eropa Tengah dan di wilayah yang berbatasan langsung ke Rusia yang melibatkan kelompok-kelompok reaksioner anti-Rusia di Kiev, melainkan juga meluas menjadi konflik terbuka antara AS dan sekutu-sekutunya dari negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam NATO versus Rusia.

 

Baca: 2022… The Year That Marked the End of America’s Hegemony

 

Rusia sudah pernah memperingatkan AS dan NATO bahwa membangun persekutuan militer terhadap wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Rusia, merupakan ancaman keamanan strategis yang tidak bisa diterima. Dan Rusia juga sudah memperingatkan bahwa indikasi tersebut semakin terlihat jelas dari tahun ke tahun.

Setahun yang lalu Rusia sudah memprakarsai kompromi dengan AS dan NATO melalui sarana-sarana diplomatic dengan mengajukan perjanjian keamanan komprehensif/comprehensive security treaty atas dasar prinsip keamanan terpisah atau indivisible security.

Sayangnya prakarsa diplomatik Rusia tersebut tidak digubris oleh Washington maupun sekutu-sekutunya dari Eropa Barat/NATO. Yang jadi masalah paling krusial bagi Rusia adalah Tindakan pemerintahan Kiev yang semakin mendukung militarisasi kelompok-kelompok neo-nazi sebagai unsur utama gerakan the Russian Phobia terutama di Ukraina Tenggara. Apalagi ketika dukungan terhadap militerisasi kelompok neo-nazi tersebut secara terang-terangan mendapat dukungan AS dan NATO. Sehingga membunyikan lonceng tanda bahaya bagi Rusia.

 

 

Keputusan Presiden Putin untuk melancarkan aksi militer terbatas terhadap Ukraina merupakan konsekwensi logis dari kekhawatiran Rusia dengan semakin meningkatnya provokasi AS-NATO dan Ukraina, apalagi ketika ada niat untuk memasukkan Ukraina dalam keanggotaan NATO. Tentu saja hal itu merupakan sesuatu yang sensitif menyusul tumbangnya pemerintahan Viktor Yanukovich pada 2014 yang dalam berbagai kesempatan, kerap menentang skema Neoliberalisme Global AS dan Uni Eropa. Maka ketika pada 2014 berganti pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Viktor Poroshenko, sejak itu Ukraina dipandang sebagai perpanjangan tangan politik luar negeri AS.

Alhasil, sejatinya krisis Ukraina-Rusia adalah kuasi perang antara AS-NATO versus Rusia. Sehingga tak heran jika Gudang-gudang persenjataan di Ukraina dipenuhi berbagai jenis persenjataan dari negara-negara NATO.

Sepertinya Ukraina menjadi momentum bagi AS untuk memperkuat kembali imperium kekuasaannya dengan melancarkan agresi terhadap Rusia. Sebagai negara adikuasai yang sejak berabad-abad silam mendambakan penguasaan sumberdaya alam yang tak terbatas, kekayaan alam Rusia tak pelak lagi telah memicu ambisi  hegemoni globalnya kembali. Dengan memprovokasi Ukraina melawan Rusia, AS berhasil menciptakan momentum  menyatukan kembali kekuatannya dengan Eropa Barat.

Dalam pengadaan gas dan persenjataan, Eropa kembali bergantung pada AS sehingga menguntungkan kaum kapitalis korporat AS. Sedangkan Rusia dikeluarkan dari lingkaran tersebut dengan masuknya AS menyusul meletusnya Krisis Ukraina. Adapun Jerman yang semula merupakan kekuatan utama Eropa Barat seturut keluarnya Inggris dari Uni Eropa, maka masuknya kembali AS ke lingkaran negara-negara Uni Eropa, peran Jerman melemah kembali.

Apakah dengan begitu menajamnya kembali konflik AS-NATO versus Rusia akan mengulangi kembali ketegangan antara AS-blok Barat versus Uni Soviet pada Perang Dingin? Pada 1930 Washington akhirnya mengakui kedaulatan Uni Soviet produk revolusi Oktober 1917. Sehingga terciptalah peredaan ketegangan yang kita kenal dengan Détente. Bahkan saat meletusnya  Perang Dunia II antara AS-Inggris versus fasisme Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler, Uni Soviet bersekutu dengan AS dan Inggris. Namun pasca Perang Dunia II, ketegangan antara AS-Inggris versus Uni Soviet menajam kembali.

Peredaan ketegangan tercipta kembali pada era 1960an pada era pemerintahan John F Kennedy, karena khawatir meletusnya perang nuklir yang akhirnya menghancurkan kedua belah pihak.

Namun seiring runtuhnya Uni Soviet dan runtuhnya tembok Berlin, AS dan blok Barat merasa sedang di atas angin, sehingga menghidupkan kembali ambisi imperiumnya dengan melancarkan konflik baru terhadap Republik Federasi Rusia. AS merasa dirinya sejak berakhirnya Perang Dingin, sebagai negara adikuasa satu-satunya tanpa saingan. Inilah awal mula AS mencanangkan terciptanya Unipolar alias pengkutuban tunggal.

Menyangka bahwa pasca Perang Dingin Rusia bukan lagi kekuatan adikuasai yang patut diperhitungkan, sehingga hanya perkara waktu Rusia akan berada dalam orbit pengaruh AS dan blok Barat. Namun AS dan blok NATO salah hitung. Rusia ternyata menolak hegemoni tunggal AS. Salah satu contoh adalah sikap tegas Rusia untuk tetap mempertahankan persekutuannya dengan Suriah menghadapi milisi-milisi bersenjata Free Syrian Army yang didukung dari belakang oleh AS dan NATO pada 2015 lalu.

Lebih menariknya lagi, ketika merasa lebih unggul di era pasca Perang Dingin, AS selalu menolak prakarsa damai Rusia lewat meja perundingan. AS lebih cenderung menerapkan pendekatan klasik zero-sum-game demi memenuhi ambisi hegemoni globalnya.

Namun di sini pula titik mula kelemahan AS yang merasa dirinya sebagai kekuatan Unipolar. Merasa superior sebagai kekuatan adikuasa tunggal, maka terhadap  negara-negara lain hanya memberi dua opsi:  Menjadi sekutu, atau menjadi target agresi dan penghancuran. Invasi ke Afghanistan, Irak, Libya, merupakan beberapa contoh kasus.

Namun sejatinya, benih-benih ambisi hegemoni global AS sudah terlihat sejak berakhirnya Perang Dunia II. Sekadar perbandingan, William Blum dalam bukunya bertajuk “America’s Deadliest Export Democracy, The Truth About US Foreign and Everything Else yang terbit pada 2013 lalu, menulis bahwa sejak berakhirnya Perang Dunia II, Amerika Serikat telah

  1. Berusaha keras untuk menggulingkan lebih dari 50 pemerintahan luar negeri yang kebanyakan hasil pemilihan secara demokratis.
  2. Secara kotor ikut campur tangan dalam pemilihan umum di lebih dari 30 negara.
  3. Berupaya melakukan percobaan pembunuhan lebih dari 50 orang pemimpin negara-negara asing.
  4. Mengebom warga sipil di lebih dari 30 negara.
  5. Berupaya menekan gerakan-gerakan rakyat atau nasionalis di 20 negara.

Melalui bukunya yang menarik tersebut, Blum agaknya bermaksud menyampaikan pesan bahwa secara prinsip orang harus menyadari bahwa Amerika Serikat berupaya mendominasi dunia, dan untuk tujuan ini, Amerika Serikat akan menempuh jalan apa saja yang diperlukan. Oderint dum metuant, Blum mengutip ungkapan pemimpin Roma kuno, yang artinya “Biarkan mereka membenci selama mereka takut.” Prinsip ini sudah dianut Washington sejak 1945 ketika berakhirnya Perang Dunia II AS mulai menyadari dirinya sebagai negara adikuasa baru menggantikan Inggris. Apalagi ketika berakhirnya Perang Dingin  yang ditandai runtuhnya Tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet pada akhir 1980an dan awal 1990an, AS merasa telah menjadi negara adikuasa satu-satunya tanpa saingan.

Namun, Republik Federasi Rusia dan begitu pula Repiblik Rakyat Cina nampaknya hanya melengkung tapi tidak tamat. Kedua negara dari kawasan Eropa Timur dan Asia Timur tersebut pelan namun pasti malah melakukan konsolidasi. Seraya menelaah berbagai kemungkinan dan celah untuk memanfaatkan era Pasca Perang Dingin untuk kepentingan nasional kedua negara tersebut.

Maka pada 2001, kedua negara tersebut secara mengejutkan membangun aliansi strategis di bawah payung perjanjian Shanghai Cooperation Organization (SCO). Menariknya, kesepakatan Cina-Rusia dalam skema SCO itu merupakan bibit-bibit tumbuh-berkembangnya kerjasama-kerjasama internasional dan regional yang berbasis Multipolar antar berbagai negara dan kawasan, dengan Cina dan Rusia menjadi simpul-simpul aleternatif. Maka sejak itu secara alami Cina-Rusia muncul sebagai kekuatan adikuasa dalam menghadapi dominasi berbasis Unipolar AS-Inggris yang dikembangkan sejak Pasca Perang Dingin.

Maka ketika Rusia bersikukuh untuk mempertahankan kepentingan strategisnya dan memaksakan situasi win-win solution daripada zero-sum-game dalam berbagai kejadian internasional seperti terlihat dalam kasus Krisis Suriah, AS malah terpancing mempertunjukkan watak aslinya (ugly face of American Power).

Watak brutalnya secara telanjang semakin terlihat buka saja ketika  Rusia bersama Cina semakin solid membangun aliansi strategis melalui payung perjanjian SCO, namun terlihat juga melalui krisis Suriah yang mana AS dan NATO terang-terangan mendukung milisi Free Syrian Army untuk menggulingkan Presiden Bashar al-Assad. Namun Rusia malah bersikukuh  membela Presiden Bashar al -Assad. Dari sebab konsistensi Rusia mendukung pemerintahan Assad, maka hingga kini tetap tericpta keseimbangan kekuatan sehingga AS dan NATO tidak bisa merajalela semaunya sendiri.

Maka itu krisis Ukraina saat ini merupakan cross-road atau berada di simpang jalan, apakah kerjasama multipolar yang dimotori Cina-Rusia akan semakin menguat menuju terciptanya tata hukum internasional yang adil, ataukah dunia internasional malah akan kembali berkobar menuju perang terbuka antara AS-NATO vs Rusia-Cina oleh sebab AS semakin bertekad untuk mempertahankan pendekatan Unipolar dan hegemoni globalnya atas dasar prinsip zero-sum-game.

Kalau demikian, AS dan sekutu-sekutu strategisnya seperti Inggris, sepertinya sedang melawan arus sejarah. Ketika Cina dan Rusia bersama-sama beberapa negara Asia-Afrika dan Amerika Latin, semakin intensif mendesakkan terciptanya kerjasama internasional berbasis multipolar atas dasar tata  hukum internasional yang adil, setara dan saling menguntungkan.

Ketika AS semakin sulit membendung arus sejarah yang semakin menguat agar terciptanya kerjasama internasional berbasis multipolar, maka satu-satunya cara adalah mengobarkan kembali skema Perang Dingin Jilid 2. Namun ketika Rusia semakin bersikukuh melawan skema warmonger AS-NATO dengan mendukung Ukraina sebagai unsur garis depan untuk melawan Rusia, maka sejatinya ini bisa dibaca sebagai pertanda runtuhnya Hegemoni AS. Apalagi ketika sikap yang sama dipertunjukkan Washington terhadap Cina yang belakangan ini fondasi kekuatan dan ruang pengaruhnya/sphere of influence-nya di Asia, Afrika dan Amerika Latin, dan Iran di Teluk Persia, juga semakin menguat sebagai kutub alternatif menghadapi hegemoni global berbasis Uni Polar AS-Inggris.

Ketika suatu negara memutuskan untuk mengalahkan musuh melalui hard-power atau kekuatan bersenjata oleh karena mengalami kekalahan melalui cara soft-power, sejatinya bukan saja mencerminkan kelemahan, melainkan juga pertanda bahwa kepentingan-kepentingan strategis para kapitalis korporat di negara induknya, sedang mengalami komplikasi dan krisis.

Hendrajit, pengkaji geopolitik Global Future Institute.

 

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com