Otjih Sewandarijatun, alumnus Udayana, Bali. Mantan Direktur Komunikasi Massa pada Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI), Jakarta
Dalam kesempatan diskusi bedah buku “Sisi Gelap Demokrasi, Munculnya Kelompok Masyarakat Madani Intoleran” yang diselenggarakan oleh Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat Tangerang pada 23 Mei 2016, Sidney Jones (Direktur Institute for Analysis of Conflict/IPAC) hadir sebagai salah satu narasumber yang mengemukakan sejumlah pandangannya mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia. Beberapa pernyataan yang diungkapnya tentu menarik untuk dicermati kembali, diantaranya: pertama, tudingan tentang peran masyarakat madani Indonesia yang mengarah semakin intoleran dikaitkan dengan isu Papua dan komunisme/PKI. Pernyataan itu merespon terjadinya sweeping yang dilakukan oleh ormas-ormas seperti FPI dan pendukung Pancasila terhadap atribut dan simbol-simbol komunisme yang bertebaran di beberapa wilayah.
Kedua, Jones mensinyalir adanya kerjasama antara TNI/Polri dengan ormas-ormas tertentu, terutama ormas Islam dan ormas pendukung Pancasila guna menekan kelompok minoritas, termasuk eks PKI dengan cara main hakim sendiri. Jones mencontohkan peristiwa di Tolikara, munculnya kelompok ANAS (Aliansi Anti Syiah) di Jawa Timur yang menurutnya mendapat dukungan dari kelompok Salafi Timur Tengah untuk memerangi Syiah di Indonesia.
Ketiga, Pancasila menurut Jones merupakan solusi ekslusif di Indonesia yang belum berhasil diterapkan. Ia mencontohkan bagaimana Orde Baru memberlakukan Pancasila dengan perangkat otorianisme dan hukum subversifnya. Jones mengusulkan agar Pancasila tafsirnya diperluas dengan mengakomodir mereka yang tidak bertuhan, komunis/atheis sebagai bentuk toleransi. Pelarangan terhadap PKI dianggap tidak benar dan bentuk paranoid yang dibesar-besarkan.
Tidak Paham Konteks
Mungkin saja ada sebagian pernyataan Sidney Jones yang relevan dan dapat menjadi masukan dalam menangani persoalan intoleransi berbasis agama. Semisal terkait dengan munculnya sentimen terhadap kelompok minoritas Islam di Tolikara, maupun gerakan anti Syiah di Jawa Timur yang potensial disertai dengan tindakan kekerasan yang dapat memicu konflik horizontal di masyarakat. Begitu pula dengan sinyalemen yang diungkap tentang sejumlah warga negara Indonesia, diantaranya anak-anak yang ke Suriah dan bergabung dengan ISIS. Namun jumlah 500 orang dan 40% anak-anak yang disebutnya bergabung dengan ISIS, perlu untuk di verifikasi kembali validitas data tersebut.
Sementara itu, perspektifnya tentang isu komunisme di Indonesia dan kedudukan Pancasila tentu perlu untuk diluruskan. Pernyataan Jones menunjukan ketidakpahamannya tentang realitas sosial politik, historis dan ideologis Indonesia yang tidak dapat disamakan dengan pengalaman Barat yang dikonstruksi atas dasar perkembangan ideologi liberalisme. Meski Barat selalu mengklaim menjunjung kebebasan dan demokrasi, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa Jones seolah melupakan sejarah bagaimana kebencian Barat terhadap pengalaman fasisme Nazi dan perseteruannya dengan Blok Timur yang mengusung komunisme. Jones tidak memahami bahwa sejarah komunisme di Indonesia, meski dalam konteks dan praktek politik yang berbeda, namun secara substansi telah menimbulkan luka yang membekas dan traumatik.
Aksi sweeping harus dipahami sebagai bentuk spontanitas massa yang tergerak karena traumatik terhadap eforia kebebasan yang dapat dimanfaatkan oleh kekuatan eks PKI/Komunis untuk kembali dalam panggung politik Indonesia. Reaksi masyarakat atas isu komunisme dalam perkembangannya tentu tidak boleh main hakim sendiri, karena itu lebih tepat jika aparat keamanan mengambil peranan dalam kerangka menjaga ideologi negara dan menegakan hukum yang masih berlaku dimana menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang dan dibubarkan, serta menyebut tentang larangan menyebarluaskan/mempraktekan ajaran marxismeleninisme/maoisme/komunisme sebagaimana dalam Tap MPRS XXV/1966.
Pancasila sebagai Solusi Final
Pernyataan Jones tentang Pancasila sebagai solusi eksklusif dan perlu diperluas tafsirnya adalahpernyataan awam yang tidak perlu didengarkan. Harus dipahami bahwa para pendiri negara telah meletakan Pancasila sebagai Dasar Negara yang bersifat final dan mengikat seluruh elemen negara. Pancasila tidak hanya mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa, tetapi juga menjadi konsensus final yang merepresentasikan seluruh potensi dan kekuatan negara. Sebagai Dasar Negara, sila-sila dalam Pancasila merupakan suatu kesatuan utuh yang tidak dapat diinterpretasikan secara parsial, apalagi disandingkan dengan konteks ideologi liberalisme Barat yang melandasi pola pikir Jones. Pancasila sebagai ideology paripurna yang melampaui Komunisme dan Liberalisme. Pancasila karena itu merupakan solusi final atas berbagai macam potensi konflik ideologis dan kepercayaan yang telah diwariskan oleh pendiri bangsa.
Gagasan tentang diakomodirnya pandangan tentang masyarakat atheis/komunis dalam tafsir tentang Pancasila juga tidak memiliki basis legitimasi dan dukungan realitas faktual Indonesia. Secara sosiologis, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang mengenal konsep keEsaanTuhan dalam berbagai sistem kepercayaan dan agama yang tumbuh di Indonesia. Realitas masyarakat religious dan bertuhan inilah yang menjadi dasar bagi konsep nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila. Karenanya, Jones tidak dapat menyandingkan realitas dan pengalaman spiritual masyarakat Indonesia dengan masyarakat Barat yang mengalami sekulerisasi dan mentolerir bentuk-bentuk pengingkaran terhadap realitas keyakinan akan Ketuhanan.
Bagi masyarakat Indonesia, prinsip pengakuan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan fondasi bagi bangunan hubungan-hubungan kemanusian, tata pemerintahan, tata penyelengaraan negara dan seluruh dimensi kehidupan. Hal ini tentu tidak sejalan dengan keyakinan Komunis yang menolak konsep Ketuhanan dan menempatkan basis material sebagai dasar dalam membangun kehidupan sosialnya yang pada akhirnya menciptakan sistem totaliter yang justru tidak hanya anti Tuhan tapi juga anti terhadap kemanusiaan. Oleh karena itu, semangat anti komunis yang berkembang di masyarakat Indonesia harus dipandang jauh dari sekedar traumatik masa lalu, tetapi sebagai cerminan terhadap kecintaan yang luar biasa terhadap kemanusiaan dan demokrasi sebagaimana sering didengung-dengungkan.