Penulis: M Arief Pranoto, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)
Sebelumnya ia cuma jalur perdagangan biasa yang menghubungkan antara Cina Utara dan Cina Selatan. Namun seiring berjalannya waktu, geliat ekonomi, sosial budaya dan dinamika politik, manfaatnya semakin meluas menjadi jalur barang dan jasa antar negara bahkan lintas benua. Itulah Jalur Sutera atau The Silk Road.
Diperkenalkan kali pertama oleh Ferdinand von Richthofen, Geografer asal Jerman sekitar abad ke-19. Tak pelak, sebutan jalur tersebut merujuk nama komoditas unggulan yang diperdagangkan yakni SUTERA dari Cina.
Tak dapat dipungkiri memang, ini jalur terhampar 7000-an kilometer mulai dari Cina, Asia Tengah sampai Eropa. Terdiri atas banyak cabang, namun secara garis besar ada tiga (cabang) jalur di utara, tengah dan selatan : (1) Jalur Utara misalnya, menghubungkan antara Cina – Eropa hingga Laut Mati melalui Urumqi dan Lembah Fergana; (2) Jalur Tengah meliputi Cina – Eropa hingga tepian Laut Mediterania, melalui Dun-huang, Kocha, Kashgar, menuju Persia/Iraq; (3) Jalur Selatan terdiri atas Cina – Afghanistan, Iran dan India melalui Dun-huang dan Khotan menuju Bachtra dan Kashmir. Inilah mula rute Jalur Sutera sebelum ia mengglobal.
Di internal Cina sendiri, ia berujung di Changan atau Xian, ibukota kerajaan. Ke arah barat melewati koridor Gansu, menuju Dun-huang di sisi Gurun Taklimakan. Jalur Utara mulai dari Dun-huang dan Yu-men Guan, menyeberangi Gurun Gobi menuju Hami (Kumul), lalu menyisir kaki Tian-shan di bagian utara Taklimakan. Setelah Oasis Turfan, menuju Urumqi dan Lembah Fergana untuk masuk Eropa hingga Laut Mati. Jalur ini bercabang di Turfan, ke Oasis Kucha, menuju Kashgar di kaki Pamirs.
Jalur Selatan mulai Dun-huang, melewati Yang Guan, menyusuri sisi selatan Taklimakan, melalui Miran, Hetian (Khotan) dan Shache (Yarkand), menuju utara lalu menuju Kashgar. Masih ada beberapa cabang jalur, salah satunya bercabang dari Jalur Selatan menuju sisi timur Gurun Taklimakan ke kota Loulan, bergabung dengan Jalur Utara di Korla. Dari Kashgar simpang lalu lintas Asia, ada jalur menyeberangi Pamirs menuju Samarkand dan menuju ke Laut Kaspia; atau jalur ke selatan melewati Karakorum menuju India; dan sebuah jalur lain menuju Kuqa, menyeberangi Tian-shan, menuju Laut Kaspia melalui Tashkent.
Bahkan Jalur Sutera kini diklaim melewati perairan Cina, Selat Malaka, Lautan India, Teluk Aden, lanjut masuk ke Laut Mediterania via Laut Merah – Terusan Suez, dll. Konsekuensi logis yang timbul atas meluasnya kawasan tersebut hingga lewat perairan ialah semakin beragamnya komoditas barang dan jasa seperti emas, minyak, rempah-rempah, besi, gading, tanaman, jasa keamanan, angkutan dan lain-lain.
Menurut David Rockefeller, jalur itu membentang antara Maroko (Afrika Utara) hingga perbatasan Cina dan Rusia. Sedangkan asumsi Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit, jalur legenda ini membujur antara perbatasan Rusia dan Cina – via UTARA melalui Kirgistan, Kazakhtan, Uzbekistan, Turmeniztan, Iran, Iraq, SYRIA, Turki dan selanjutnya ke Eropa; sedang via SELATAN membentang di antara Cina, India, Pakistan, Afghanistan, Iran, Iraq, SYRIA, Mesir dan berlanjut ke negara-negara Afrika Utara hingga Maroko. Titik pisah kedua Jalur (Utara dan Selatan) Sutera adalah SYRIA.
Selanjutnya jalur (tambahan atau pengembangan) di perairan meliputi atas Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Lautan Hindia, Laut Merah, dan Laut Mediterania, dan seterusnya sebagaimana dijelaskan di atas.
Tak boleh dielak, selain sebagai jalur ekonomi, budaya dan militer lintas benua — bahwa hampir semua negara di kawasan ini adalah penghasil minyak dan gas (migas), emas, nikel dan jenis tambang lain. Inilah “jalur basah” lagi menggiurkan bagi negeri-negeri, terutama kaum kapitalis global.
Penelusuran pada berbagai sumber dan literatur, sejatinya ia telah melegenda sejak abad ke-2 sampai abad ke-19, bahkan hingga era modern kini. Entah kenapa keberadaan jalur tersebut (di masa sekarang) seperti ‘disembunyikan’. Tidak sedikit kalangan akademis maupun elit-elit kekuasaan di banyak negara belum memahami akan keberadaannya.
Geopolitik Jalur Sutera
Secara geografis, selain jalur ini membentang antara perbatasan Rusia-Cina (sebut saja –-asumsi– dimulai dari Xinjiang, Cina) hingga Maroko, ia dikenal sebagai “jalur basah” karena faktor SDA melimpah ruah. Mackinder menyebut dalam teorinya ialah Heartland dan World Island. Barang siapa mengendalikan kawasan ini, maka identik (menguasai) memimpin dunia. Tidak kalah penting adalah letak serta posisi The Silk Road yang seakan-akan menjadi pemisah antara dua peradaban yakni Barat dan Timur. Inilah spesifikasi geopolitik jalur tersebut.
Dalam kajian Mackinder, terdapat empat kawasan terkait ajaran geopolitik. Pertama adalah Heartland atau World Island. Kawasan ini mencakup Asia Tengah dan Timur Tengah (World Island). Kedua ialah Marginal Lands yaitu Eropa Barat, Asia Selatan dan (sebagian) Asia Tenggara dan sebagian daratan Cina. Ketiga disebut Desert atau Afrika Utara. Sedang kawasan terakhir (keempat) dinamai Island or Outer Continents yang meliputi Benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia.
Sesuai teori Mackinder (1861-1946), kawasan berkelimpahan SDA hanya Asia Tengah dan Timur Tengah. Afrika Utara waktu itu, tampaknya belum direkomendasi oleh Mackinder sebagai wilayah “basah”. Entah kenapa ajarannya dulu cuma menyebut Afrika Utara sebagai Desert (dataran tandus), bukannya bagian World Island atau Heartland (jantung dunia). Betapa Libya terkenal dengan sweet crude oil, Mesir, Maroko melimpah hidrocarbon, atau Aljazair yang menolak pangkalan militer AS di teritorialnya, dll. Tidak boleh disangkal, Afrika Utara merupakan kawasan lintasan Jalur Sutera.
Jalur yang Diperebutkan
Sebagai rute konvensional, Jalur Sutera telah menjadi obyek sengketa para adidaya sejak dahulu kala. Bahkan (konon) segala peperangan di zaman Fir’aun, atau era Babylonia, Romawi, Perang Dunia, dll atau hampir semua akar penyebab konflik di berbagai negara pada jalur legenda tersebut, termasuk konflik di kawasan “penyanggah”-nya semata-mata demi kepentingan (rebutan) geopolitik.
Paling aktual mungkin perang sipil di Syria. Kendati jenis, cadangan dan produksi minyak di negeri itu tidak sehebat Lybia, Irak, atau Arab Saudi, tapi ia diperebutkan adidaya Barat dan Timur karena geopolitic of pipeline serta faktor geostrategic position. Ya, selain merupakan persilangan jalur pipa (migas) antar negara lintas benua, juga aspek geo (strategi)-nya relatif strategis, dimana posisi Syria ada di simpul (tengah-tengah) Jalur Sutera. Jalur ke arah utara dapat menjangkau Eropa, sedang jalur selatan melaju ke Afrika Utara sampai Maroko. Itulah faktor utama kenapa ia dijadikan medan pertempuran (proxy war) bagi adidaya Barat dan Timur. Siapa menguasai titik simpul, ibarat telah menguasai separuh jalur.
Adanya pengembangan jalur yang meluas hingga perairan sebagaimana sekilas uraian di atas, telah menarik syahwat kaum kapitalis, lalu mereka pun merapat kepadanya sebab dianggap epicentrum (magnet) bagi kekuatan-kekuatan ekonomi dan militer dunia. Inilah yang tengah berlangsung secara diam-diam di antara para adidaya. Intip mengintip. Menebar isue, siapkan strategi, membikin kontra, dll. Maka konsekuensi logis timbul bahwa keberadaan Jalur Sutera dirahasiakan. Jarang disebut secara vulgar, kecuali melalui “sandi”.
Adapun sandi dimaksud seringkali dalam bentuk doktrin, asumsi, atau terminologi, Mackinder misalnya, pernyataan yang terkenal adalah: “Who rules East Europe, command the Heartland; Who rules the Heartland, command the World Islands; Who rules the world islands, command the wolrd”. Sedangkan Tony Cartalucci, kolumnis di RT News Chanel memberi isyarat, “Matikan Timur Tengah, anda mematikan Cina dan Rusia, maka anda akan menguasai dunia”, demikian seterusnya. Akan tetapi ‘sandi’ kedua pakar sebenarnya belum lengkap karena tanpa menyertakan Afrika Utara sebagai lintasan Jalur Sutera.
Barangkali tata cara Alfred T. Mahan (1840 – 1914) mungkin paling menarik dan kompleks. Betapa ahli kelautan Amerika (AS) menciptakan doktrin keramat bagi Angkatan Laut AS, tetapi ia melakukan deception atas ajarannya: “Barang siapa menguasa Lautan Hindia maka akan menjadi kunci dalam percaturan dunia”. Luar biasa. Dugaan kuat penulis, Mahan sepertinya hendak menyembunyikan keberadaan Jalur Sutera dari publik global melalui sandi “Lautan Hindia”. Artinya, kalimat Lautah Hindia pada doktrin Alfred Mahan maksudnya Jalur Sutera itu sendiri. Tapi ini baru asumsi penulis, adanya kritik, saran atau pendapat lain niscaya akan semakin mendekatkan pada kebenaran.
Manusia itu lahir, hidup dan mati. Menurut Ratzel, demikian pula negara selaku organisme. Ia juga akan timbul tenggelam bersama takdir (dan nasib) geopolitiknya. Ibarat matahari terbit, bersinar dan tenggelam. Itulah siklus alam.
Masa pra sejarah misalnya, bahwa Atlantis tercatat sebagai bangsa yang unggul di zamannya namun toh tenggelam diterjang banjir semesta. Zaman para nabi ada kaum Luth yang terkubur di dasar laut, atau umat Luth hanyut digempur air bah, dll. Era kerajaan-kerajaan nusantara pun demikian. Kejayaan Sriwijaya akhirnya pupus juga, surya (keemasan) Majapahit pun sirna, bahkan di era modern terekam jelas detik-detik keruntuhan Uni Soviet, dan seterusnya. Inilah sepintas aplikasi “Teori Ruang”-nya Ratzel.
Ajaran Ratzel tentang organisme tampaknya tak berlaku untuk Jalur Sutera, kendati secara fisik jalur tersebut layak disebut organisme. Memang secara existance, ia tak timbul tenggelam sebagaimana negara dan kerajaan-kerajaan, atau umatnya para nabi yang musnah ditelan bumi. Apa boleh buat, secara riil politis hampir-hampir tak dapat disangkal bahwa ia merupakan jalur (abadi) sepanjang masa, kendati publik awam baru mengetahui sekitar abad ke-19. Itulah takdir geopolitik Jalur Sutera.
Bersambung (4)