Tidak bisa di pungkiri bahwa hari ini selat Malaka merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia, sama pentingnya seperti Terusan Suez atau Terusan Panama. Berbicara tentang takdir Geopolitik, maka tak bisa lepas dari mulai bicara asal muasal kata hingga bicara tentang sejarah.
Menelisik asal muasal kata Selat Malaka berasal dari kata Mulaqat, yang artinya tempat bertemunya kapal-kapal dagang dari barat dan timur, dimana sejak masa lalu wilayah selat Malaka ini telah menjadi bandar pertemuan kapal-kapal dagang asing dibawah kontrol Kesultanan Islam yang ada di Sumatera.
Sejarah selat Malaka ini memiliki akar yang sangat panjang. Merujuk penemuan makam peninggalan sejarah Aceh Darussalam yang bertarikh abad ke-10 hijriah (ke-16 masehi) berada di antara makam Almarhum Sultan ‘Alauddin Ri’ayah Syah bin ‘Ali Mughayah Syah dan makam Almarhum Sultan ‘Ali Ri’ayah Syah bin ‘Ala’uddin Ria’yah Syah, dimana dalam makam tersebut terdapat pahatan inskripsi surat Al Fath ayat 1-4.
Ternyata setelah dikaji secara mendalam melalui penelusuran rentang kronologi waktu sejarah, dan juga dari berbagai kutipan yang dipetik dari literasi Jayadiningrat dan dari sumber-sumber Portugis yang menggambarkan tentang kondisi ketegangan hubungan antara Aceh Darussalam dan Portugis serta dari hasil penelitian J. de Barros.
Dari data sejarah tersebut, mengungkap simpulan awal bahwa esensi pesan dari surat Al Fath ayat 1-4 yang berisi tentang ayat kemenangan yang terukir di batu nisan ini berkaitan erat dengan Geoposisi Selat Malaka yang digambarkan sebagai wilayah takhlukan Islam dan simbol “Kemenangan Islam”.
Penemuan data sejarah ini memberi kabar awal kepada kita bahwa takdir Geopolitik Selat Malaka ini ternyata telah dipahami oleh para Ulama masa lalu. Sehingga seolah mereka sepakat bahwa selat basah ini adalah simbol Kemenangan Islam yang harus di kontrol dan di kelola oleh Islam.
Adalah Sultan Zainal Abidin II atau Sultan Zainal ‘Abidin Ra-Ubabdar, Sultan Samudera Pasai yang ke-5. Beliau memerintah sampai dengan wafatnya pada tahun 841 H/ 1438 M. Nama lengkapnya adalah Zainal ‘Abidin bin Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Malik Ash-Shalih.
Sultan Zainal Abidin II ini memiliki gelar Ra-Ubabdar yang berarti penakluk gelombang. Data sejarah menyebut pada masanya, Sultan Zainal ‘Abidin II telah melakukan perluasan wilayah kekuasaannya hingga semenanjung Melayu. Beliau membuka kota Mulaqat (Malaka) dan mendudukkan putranya, Manshur untuk memerintah di sana.
Di akhir abad ke 15 Masehi, dimasa Kesultanan Aceh Darussalam, wilayah Selat Malaka masih dibawah kendali Islam dibawah kontrol Kesultanan Aceh Darussalam. Masa ini adalah masa awal menadai kehadiran para tamu tak di undang yang berasal dari Eropa. Mereka adalah Portugis yang datang paling awal, disusul kemudian Belanda dan Inggris.
Dibawah kontrol Islam Kesultanan Aceh Darussalam, semua kapal-kapal asing yang ingin melewati jalur basah ini harus seizin Kesultanan Aceh Darussalam.
Adalah bangsa Portugis yang memulai memiliki ambisi besar merebut jalur basah ini menjadi daerah kolonisasinya dengan cara menjalin hubungan erat dengan Kesultanan Johor.
Melihat gelagat buruk ini maka Kesultanan Aceh Darussalam dibawah Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636) merupakan masa paling gemilang bagi Kesultanan Aceh, mengambil tindakan dengan mengirim pasukan ke Johor untuk menundukkan Kesultanan Johor karena Johor telah “bermain mata” dengan Portugis yang ingin mengkooptasi selat Malaka melalui Johor.
Tak butuh waktu lama bagi Sultan Iskandar Muda menundukkan Johor. Dibawah Sultan Iskandar Muda, Selat Malaka dan Johor mampu di bebaskan dari penjajahan Portugis yang ingin menginvasi Malaka.
Setelah Johor mampu “dijinakkan” menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Islam Aceh Darussalam. Otomatis pula Selat Malaka tetap menjadi wilayah strategis dalam kendali otoritas Islam.
Belanda yang hadir setelah Portugis dan mencoba melakukan hal yang sama, namun Belanda harus menemui kekalahan setelah Jenderalnya yang bernama Cornelis de Houtman tewas di tangan Pahlawan Wanita Keumala Malahayati.
Inggris yang paling akhir hadir ke wilayah ini ternyata mendapati jalur basah ini telah demikian kuatnya di jaga oleh Kesultanan Aceh Darussalam. Dengan terpaksa di tahun 1602 Masehi Inggris harus mengemis izin kepada Kesultanan Aceh Darussalam dengan membawa surat dari Ratu Elizabeth I yang dibawa oleh James Lancaster agar di izinkan diberi jalan bisa melewati selat Malaka menuju Jawa dan membuka kantor dagang di Banten.
Kehadiran para tamu tak di undang asal Eropa sejak abad ke 15 Masehi itu adalah masa yang menandai dimulainya pertempuran panjang dari abad ke abad antara Kesultanan Aceh Darussalam dengan Kolonial Eropa di jalur basah ini.
Disatu sisi pihak kaum Imperialis yakni Belanda dan Inggris berusaha secara ovensiv aktif terus berusaha merebut jalur selat Malaka melalui agresi militer terhadap Kesultanan Aceh Darussalam. Dan di lain sisi, Kesultanan Aceh Darussalam tetap dalam pendiriannya menjadikan jalur ini sebagai jalur Islam sesuai Takdir Geopolitik selat Malaka.
Itulah gambaran singkat Takdir Geopolitik Selat Malaka di masa lalu yang terus di pertahankan oleh Kekuatan Islam. Hingga akhirnya Selat Malaka harus lepas dari Kontrol Islam, setelah melemahnya Kekuasaan Islam Aceh Darussalam.
Pada masa Gubernur Jenderal Rafles (1811 Masehi) menjabat sebagai Gubernur Sumatera atas utusan Kerajaan Inggris untuk mengambil alih jajahan-jajahan Kerajaan Belanda, dengan tak tik liciknya akhirnya Rafles mampu mengambil alih Malaka menjadi Koloni Inggris yang terpisah dengan Indonesia dibawah koloni Belanda.
Selat Malaka Kini
Agar kita mendapatkan gambaran utuh tentang Takdir Geopolitik Selat Malaka, maka ada baiknya bila kita memahami pula kondisi Selat Malaka terkini. Hari ini Selat ini terletak diantara Kepulauan Indonesia (Aceh, Sumatera Utara, Riau dan Kepulauan Riau) dan Semenanjung Negara Malaysia, Thailand dan Singapura.
Selat yang membentuk jalur pelayaran antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta menghubungkan tiga dari negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, yaitu: India, Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok ini sekarang berada dalam kontrol negara Singapura yang berafiliasi dengan barat dibawah kendali AS.
Proposal ini berlaku sejak ditandatanganinya kerjasama pengamanan militer perairan Selat Malaka melalui paket kerjasama yang bernama Regional Maritime Security Initiative (RMSI) pada bulan Maret 2004 antara AS dengan Singapura. RMSI Secara mudahnya adalah penempatan personel Amerika Serikat sebagai penjaga keamanan di Selat Malaka.
Menurut Zhao Yuncheng, ilmuwan dari China‘s Institute of Contemporary International Relations mengatakan:
“Whoever controls the Straits of Malacca and the Indian Ocean could threaten China‘s oil supply route.”
Yang artinya: “Siapapun yang mengendalikan Selat Malaka dan Samudera Hindia dapat mengancam rute pasokan minyak Cina.
Tak dapat dipungkiri, semakin tingginya kepentingan Tiongkok atas hilir-mudiknya pelayaran kapal-kapal Cina di Selat ini berimplikasi pula dengan sikap AS terhadap kawasan ini, setelah menegangnya hubungan perang dagang antara Paman Sam dan Paman Mao
Sebab di satu sisi 80% jaminan pasokan enegi negara Cina harus melewati Selat Malaka, belum lagi ditambah persoalan kepentingan Cina untuk mengirim ekspedisi expor produk unggulannya ke seluruh dunia yang harus melewati jalur selat basah ini.
Oleh karena itu keamanan jalur di “Selat Malaka” ini menjadi masalah super urgent bagi kelanjutan ekonomi Negeri Paman Mao. Presiden Hu Jiantao pernah menegaskan, “Malacca-Dilemma” merupakan masalah super urgent bagi kelanjutan ekonomi Negara Cina. Tapi celakanya AS tak tinggal diam melihat gelagat Cina yang sedang tumbuh menjadi raksasa baru yang siap menandingi hegemoni AS di Asia Pasifik ini.
Merujuk kondisi tersebut, mau tidak mau konflik kepentingan perang dagang “trade war” antara kepentingan Barat yang di motori oleh AS dengan Cina adalah sebuah keniscayaan yang tak terelakkan.
Dilema Selat Malaka ini bukanlah sekedar persoalan teknis dan taktis semata. Isyarat Yuncheng dan Jiantao menyiratkan, bahwa yang paling mengkhawatirkan hari ini adalah mulai bercokolnya kapal-kapal perang AS dan sekutunya di Selat Malaka. Inilah gambaran strategis persoalan pokok perseteruan AS versus Cina di selat Malaka hari ini.
Selat Malaka Masa Depan
Yang menjadi pertanyaan adalah, bila konflik ini terus berlangsung, di mana wilayah selat Malaka adalah wilayah yang sangat rapat dengan kepulauan Indonesia, maka dimanakah peran Indonesia dalam menengahi persoalan ini?
Apakah Indonesia hanya akan menjadi Medan Pertempuran belaka? Ataukah akan tampil menjadi leader menengahi persoalan ini?
Namun rupanya peran Indonesia sebagai leader dalam menengahi persoalan ini masih jauh panggang dari api. Sebab Selat Sunda yang notabene adalah wilayah teritorial Indonesia saja justru hari ini Indonesia menyerahkan pembangunan Jembatan Selat Sunda kepada pihak Cina.
Bagi Beijing, peluang pembangunan Jembatan Selat Sunda ini tentunya bagaikan mendapatkan durian runtuh, sebab dengan mengantongi Selat Sunda, maka dikhawatirkan bisa jadi jalur alternatif bagi Tiongkok tanpa harus melewati Jalur selat Malaka.
Inilah gambaran singkat kondisi Selat Malaka yang menjadi urat nadi pertemuan kepentingan barat dan timur hari ini.
Tak bisa di bayangkan bila hari ini selat Malaka ini masih dalam Kontrol Islam, sebagaimana Takdir Geopolitiknya Mulaqat di masa lalu. Berkaca dari sejarah panjang tersebut, semoga kedepannya Indonesia mampu menjadi leader persoalan selat Malaka ini, sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang tak lupa akan sejarahnya sendiri.
Sebab bila Selat Malaka dapat kembali kepada Takdir Geopolitiknya sendiri sebagaimana Mulaqat di masa lalu, bukan tidak mungkin akan terjadi keadilan di dunia ini dan tidak akan ada lagi negara hegemon yang bertindak sewenangnya sebagaimana adanya hari ini.
Mengingat setidaknya 50.000 kapal melintasi Selat Malaka setiap tahunnya, mengangkut antara seperlima dan seperempat perdagangan dunia. Bahkan, Selat Malaka juga dapat menjadi “alat” dalam rangka forward presence ke seluruh penjuru dunia.
Demikianlah adanya..
Abu Bakar Bamuzaham, Network Associate Global Future Institute (GFI)