Tantangan dan Ancaman Pasca Lebaran 1434 H

Bagikan artikel ini

Toni Ervianto, alumnus Fisip Universitas Jember dan alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia. Tinggal di Jakarta Timur

Di tengah-tengah kekhusyukan umat Islam melaksanakan ibadah puasa terutama dalam rangka mengejar malam lailatul qodar, situasi dan kondisi negara masih diwarnai dengan berbagai permasalahan yang tidak pernah kunjung selesai. Dari berbagai rangkaian permasalahan yang ada, pemboman di Vihara Ekayana, Jakarta Barat adalah kejadian yang paling mendapatkan kutukan dari berbagai kalangan.

Pemboman Vihara Ekayana oleh kelompok OTK sempat mewarnai beberapa pemberitaan di media massa, khususnya media elektronik, situs berita dan beberapa sosial media, namun beberapa media massa cetak juga tidak tertarik dengan “hard facts” seperti ini karena mungkin mereka menilai masalah ini adalah “masalah basi” walaupun itu dalam bentuk pemboman di rumah ibadah.

Pemboman di Vihara Ekayana tampaknya dilakukan oleh kelompok orang yang cerdas, namun semangat mencintai negara dan pluralisme yang sangat rendah. Serangan teror ini sepertinya ditujukan untuk menyampaikan beberapa pesan seperti yang ramai dibahas berbagai kalangan di sosial media. Meskipun demikian, serangan ini jelas memanfaatkan terjadinya apa yang disebut oleh Copeland dan Michael I Handels sebagai “security gap” akibat liburan panjang lebaran 1434 Hijriah sekarang ini.

Jika dikaitkan dengan pengumuman Interpol dan International Criminal Police Organization (ICPO) yang menyebutkan kemungkinan Al Qaeda dan jejaring teror akan melakukan serangan pada Agustus 2013 dengan indikasi beberapa penjara yang kecolongan napinya hingga kabur di beberapa negara di Asia Selatan, Afrika Utara dan beberapa negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, termasuk langkah sejumlah negara Barat seperti Jerman, Perancis dan Inggris termasuk AS yang menutup kedubes mereka di Timur Tengah, juga dikaitkan dengan ancaman Al Qaeda yang dilansir pada 3 Agustus 2013 tersebut, apalagi pada tahun-tahun sebelumnya telah terjadi sejumlah serangan teror seperti pemboman Hotel JW Marriot Jakarta (5 Agustus 2012), serangan bom di Kedubes AS di Nairobi, Kenya dan Dar es Salaam, Tanzania juga terjadi pada bulan ini beberapa tahun yang lalu. Oleh karena itu, beberapa pihak menyebut bulan Agustus sebagai “Anniversary Month of Terror”.

Meskipun demikian, terjadinya momentum pemboman disaat puasa dan lebaran, harus dijadikan kesempatan yang baik untuk menunjukkan terorisme tidak mengenal agama maupun latar belakang lainnya, sehingga semua komponen bangsa merapatkan barisan melawan teror dan tidak terpengaruh oleh aksi ini, karena semakin serangan teror menimbulkan kekacauan atau chaos, maka teroris semakin leluasa untuk menekan bangsa ini untuk mewujudkan agenda politik terselubungnya.

Masih Banyak Permasalahan

Sebagai bangsa yang beradab, kita tentunya “perang melawan hawa nafsu” yang dilakukan selama bulan suci Ramadhan haruslah berdampak signifikan terhadap perbaikan mutu kehidupan pribadi dan sosial dari semua elemen bangsa ini, yang pada akhirnya diharapkan dapat meminimalisir potensi-potensi konflik yang dapat meng ganggu keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Namun, tampaknya ada sejumlah masalah krusial yang berpotensi menciptakan ketidakstabilan keamanan pasca lebaran dan hal ini merupakan tantangan sekaligus ancaman yang harus diminimalisir oleh seluruh elemen bangsa.

Tantangan dan sekaligus ancaman yang pertama tentunya di bidang ekonomi. Pelambatan ekonomi nasional yang ditandai dengan sejumlah perusahaan menunda realisasi industrinya karena perkembangan ekonomi nasional yang kurang menggembirakan sepanjang kuartal I 2013 ini. Rumus secara umum untuk menarik investasi adalah dilihat dari product domestic brutto (PDB) sebuah negara. Jika pertumbuhan PDB itu menjadi salah satu faktor utama pengusaha untuk menanamkan modalnya, baik dalam bentuk penanaman investasi baru maupun peningkatan kapasitas investasi. Pelambatan ekonomi nasional jika tidak segera teratasi berpotensi menimbulkan “income gap” yang semakin menajam, kemungkinan terjadinya middle income trap yang dapat memicu bertambahnya pengangguran sehingga dapat menimbulkan volatilitas di bidang kamtibmas.

Sementara itu, Bank Dunia menuduh bahwa kebijakan pemerintah yang melakukan pembatasan impor menjadi penyebab meningkatnya inflasi sepanjang 2012 sampai kuartal I 2013. Kebijakan pembatasan melalui kuota impor pangan dan holtikultura tersebut  akan dibawa ke sidang WTO oleh Amerika Serikat dengan menuduh Indonesia melalui barrier to trade. Oleh karena itu, sejumlah aktivis yang sepakat dengan konsep ekonomi “World Social Order (WSO) sebagai lawan dari WTO menyarankan, agar Indonesia keluar dari WTO dan Bank Dunia.

Tantangan dan ancaman berikutnya adalah pemberantasan korupsi yang diperkirakan akan semakin gencar disuarakan berbagai kalangan, terutama terhadap kasus-kasus korupsi “kakap” antara lain kasus korupsi Hambalang, bail out Bank Century ataupun BLBI, serta kemungkinan korupsi dalam proyek “abadi” perbaikan jalan Pantura.

Berlarut-larutnya penanganan kasus korupsi secara tidak langsung ada masalah yang  pantulannya dapat mengakibatkan kerugian pada negara yakni, memunculkan tuduhan terselubung seolah-olah negara atau pemerintah berkepentingan dengan berlarut-larutnya penanganan kasus korupsi. Tuduhan terselubung tersebut antara lain seolah-olah pemerintah (eksekutif dan legislatif) tidak membantu memecahkan kesulitan KPK misalnya dibidang kurangnya penyidik, terbatasnya ruangan di gedung KPK dan lain-lain.

Tantangan dan ancaman berikutnya adalah persoalan keserasian atau keharmonisan kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama, terutama dikaitkan dengan masalah Syiah dan GKI Yasmin. Diakui atau tidak kedua permasalahan ini sarat dengan politisasi, sehingga apapun yang dilakukan negara c.q pemerintah selalu tidak benar. Dalam masalah GKI Yasmin, dari fakta-fakta yang adabukanlah karena tidak adanya toleransi terhadap eksistensi jemaah GKI Yasmin yang mereka dramatisasi dengan bersembahyang didepan Istana, tetapi masalahnya adalah karena sangat sulitnya dicapai kesepakatan, dimana relokasi GKI Yasmin dapat dicapai diantara pimpinan Jemaah GKI Yasmin dengan Pemda Kodya Bogor.

Oleh karena itu, kita sebagai elemen bangsa harus semakin menyadari bahwa banyak tantangan, ancaman dan modus operandi yang dilakukan oleh mereka yang tidak suka Indonesia maju ke depan melalui pintu masuk yang disebut dengan “MIDLIFES (Military, Information, Democracy, Legal, Ideology, Finance, Economic dan Social)” dengan harapan Pemilu 2014 mengalami kegagalan, sehingga Indonesia mengalami setback demokrasi, karena ekses gagalnya Pemilu 2014 adalah munculnya pemerintahan yang otoriter.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com