Telaah Kritis Tentang Prospek Kerjasama Bilateral RI-Ukraina

Bagikan artikel ini

Ada dua agenda strategis terkait kerjasama Indonesia dan Ukraina, negara pecahan dari Uni Soviet (Rusia), yang kiranya patut dievaluasi secara kritis oleh para stakeholders (pemangku kepentingan nasional) kebijakan luar negeri RI. Pada 16 Juni 2021 lalu, berlangsung pertemuan antara Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Komite Ukraina dan CIS dengan Ketua KADIN Ukraina (Ukrainian Chamber of Comerce –UCCI).

Sepertinya UCCI menaruh minat untuk melakukan revitalisasi kerjasama melalui pembaruan Nota Kesepahaman (MOU) antara KADIN RI dan UCCI yang sudah ada sejak 2009 lalu. Atas dasar kerangka MOU tersebut, KADIN Ukraina nampaknya berharap untuk mengisi kerjasama antara pebisis kedua negara.

Baca: DUBES RI KYIV DORONG KADIN TINGKATKAN KERJA SAMA PEBISNIS INDONESIA-UKRAINA

Dalam pertemuan yang membahas peningkatan kerjasama ekonomi dan antara pebinis Indonesia dan Ukraina tersebut, telah digagas kemungkinan pembentukan Business Council atau Business Association antara Indonesia dan Ukraina. Lebih lanjut juga diimformasikan bahwa pada 18 Juni 2021, dengan didampingi oleh KBRI Kyiv juga digelar pertemuan antara bapak Jay Alatas dari KADIN RI Komite Ukraina dan CIS dengan Deputy of Executive Secretary of the Council of Exporters and Investors (CIE) di Kantor Kementerian Luar Negeri Ukraina. Dalam pertemuan tersebut pihak CIE juga menawarkan kerjasama melalui MOU bersama.

Nampaknya hal itu erat kaitannya dengan informasi yang disampaikan oleh KBRI Kyiv ihwal pembahasan MOU impor gandum dari Ukraina dan pentingnya MOU ekspor buah-buahan tropis ke Ukraina.

Kepingan informasi lain adalah pertemuan yang berlangsung pada 30 Juli 2021 antara Duta Besar RI untuk Ukraina Yuddy Chrisnandi dengan Rektor Universitas Nasional Taras Shevchenko Kyiv, Prof Volodymyr Bugrov, yang mana Dubes Chrisnandi menyampaikan dukungan KBRI Kyiv atas inisiatif pembentukan ASEAN Study Center di Institute of International Relations (IIR) of Taras Shevchenko National University. Yang rencananya akan diresmikan pada September 2021 mendatang di Universitas Taras Shevchenko National University.

 Baca: Rayakan ASEAN Day 2021, Dubes RI-Kyiv Optimis Hubungan ASEAN-Ukraina Semakin Gemilang

Dalam pertemuan tersebut Prof Burgov menegaskan komitmen Universitas Taras Shevchenko untuk berkontribusi bagi pengembangan kerjasama antara Ukraina dan negara-negara ASEAN Study Center. Bahkan juga disinggung kemungkinan kerjasama antara Universitas Taras Shevchenko dengan beberapa universitas di Indonesia.

Menimbang perkembangan terkini terkait kerjasama bilateral RI-Ukraina sebagaimana gambaran tersebut tadi, kiranya perlu telaah kritis dari segi kemanfaatan dan kerugiannya bagi kepentingan nasional Indonesia.

Pertama, membatasi diri semata-mata dalam lingkup kerjasama antara RI-Ukraina sangatlah tidak strategis, mengingat potensi kerjasama antara Indonesia dengan beberapa negara Eropa Timur lainnya juga tidak kalah menjanjikan. Belum lagi adanya forum kerjasama ekonomi Eropa-Asia yang dimotori oleh China dan Rusia yang tentunya jauh lebih strategis bagi kepentingan nasional Indonesia ke depan.

Kedua, dari segi independensi kebijakan luar negeri Ukraina, boleh dikatakan cenderung memihak Blok Barat AS-Uni Eropa. Selain daripada itu, dengan merujuk pada manuver Ukraina mendorong Turki memasukkan suku Islam Tatar dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), nampak jelas kecenderungan Ukraina untuk mempolitisasi kerjasama luar negeri dengan negara-negara lain baik secara multilateral maupun bilateral. Terkait dengan prospek kerjasamanya dengan Indonesia di berbagai bidang, maka pemerintah Indonesia cq kementerian luar negeri, sebaiknya mewaspadai kemungkinan pemerintah Ukraina untuk mempolitisasi segala aspek terkait kerjasama bilateral RI-Ukraina.

Ketiga, berkaitan dengan kondisi dalam negeri Ukraina itu sendiri. Saat ini Ukraina harus dipandang bukan sebagai mitra yang cukup bisa diandalkan dalam menjalin kerjasama strategis secara bilateral. Dalam bidang kerjasama pengadaan peralatan militer misalnya, selain Ukraina masih mengandalkan kapasitas produksinya dari sekutunya negara-negara Eropa Barat dan AS sehingga belum bisa dianggap negara yang mandiri sebagai produsen, kualitas pealatan militernya pun terbukti tidak cukup bisa diandalkan. Selain daripada itu, kondisi politik dan ekonomi Ukraina yang buruk termasuk praktek korupsi yang merajalela, kiranya bukan sesuatu yang menguntungkan bagi kepentingan nasional Indonesia.

Keempat. Intensitas pertemuan antar pejabat senior pemerintahan maupun mitra bisnis antara RI-Ukraina, senyatanya tidaklah seintensif pertemuan-pertemuan antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara mitra lainnya.

 

Maka itu jika pemerintah Indonesia tetap bermaksud meneruskan kerjasama bilateral dengan Ukraina terkait gagasan pembentukan Business Council dan ASEAN Study Center, hendaknya dibatasi semata-mata pada sektor ekonomi-bisnis dan pendidikan saja. Jangan sampai melebar masuk dalam skema politis kebijakan luar negeri Ukraina yang pada hakekatnya pro Blok Barat (AS dan Uni Eropa).

Lebih daripada itu, terkait pentingnya pemerintah Indonesia meluaskan lingkup kerjasamanya dengan negara-negara Eropa Timur lainnya di luar Ukraina, ada  agasan membangun kerjasama strategis ASEAN-Eurasian Economic Union (UEE) nampaknya perlu dipertimbangkan sebagai alternatif agar Indonesia keluar dari jebakan perebutan antar pengaruh negara-negara adikuasa. Bukan itu saja. Bahkan melalui skema baru kerjasama ekonomi tersebut, Indonesia bisa ikut serta membangun sebuah kutub kekuatan baru di Asia Pasifik.

Baca: Indonesia dan ASEAN Harus Pertimbangkan Kerjasama ASEAN-Uni Ekonomi Eurosia sebagai Alternatif Menajamnya Persaingan AS-Cina di Asia-Pasifik

Melalui skema baru kerjasama ekonomi dengan UEE, Indonesia dan ASEAN akan mendapatkan keuntungan strategis dalam dua hal. Pertama, kemunculan Rusia sebagai pemain baru dalam percaturan ekonomi dan perdagangan di Asia Tenggara. Kedua, melalui skema UEE Indonesia dan ASEAN akan memperluas lingkup kerjasama ekonomi dan perdagangannya tidak saja dengan Rusia, melainkan dengan beberapa negara yang berada di kawasan Asia Tengah lainnya.

Karena baik Rusia maupun Cina, pada dasarnya punya agenda strategis yang jauh lebih selaras dan sehaluan dengan Indonesia dan ASEAN. Yaitu ingin menciptakan suatu tatanan ekonomi internasional yang jauh lebih adil dan setara, sekaligus membendung upaya AS dan beberapa negara Uni Eropa untuk menciptakan Kutub Tunggal/Unipolar di bidang ekonomi dan perdagangan seperti terlihat melalui dukungannya dalam pembentukan Perjanjian Kemitraan lintas Pasifik (Trans Pacific Partnership atau TPP) pada era pemerintahan Barrack Obama, yang sepertinya di era Joe Biden saat ini, akan kembali dihidupkan sebagai skema pembendungan pengaruh Cina yang semakin meningkat di Asia Pasifik.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute.

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com