The Fed dan Dolar AS, Seluk Beluk Dominasinya di Dunia

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Barangkali, dalam rangka menyambut “Tsunami Dolar AS” yang tak lama lagi bakal tiba, dimana gelombang penolakan terhadap dolar telah dimulai oleh Cina, Jepang, Iran, Rusia dll — maka perlu saya terbitkan lagi tulisan saya pada awal 2011-an dulu sebagaimana judul dibawah. Ini dulu pernah dimuat di media lokal Sumatera. Jujur saja, tulisan ini selain disarikan dari berbagai sumber, utamanya ialah terinspirasi oleh artikel Dina Y Sulaeman, tanggal 10 Agustus 2010 yang berjudul “Ilusi Uang Kertas” di blog http://dinaselaeman.wordpress.com.

Yah, mungkin selain sekedar refresing baca-baca, semoga tulisan lama ini mampu mengasah analisa kita guna menjawab pertanyaan mengapa masih banyak juga “bantuan AS” kepada negara-negara di dunia, bukankah ia sendiri kini tengah diujung kebangkrutan? Inilah ulasannya ..

The Fed dan Dolar AS,  Seluk Beluk Dominasinya di Dunia          

Konon dahulu. Era 1900-an kebawah, hampir semua negara menggunakan emas dan perak dalam transaksi apapun, bukannya uang kertas seperti sekarang ini. Bahkan Amerika Serikat (AS) pun sampai mencantumkan pada Undang-Undang Dasar (UUD) tentang penggunaan koin itu sebagai alat pembayaran.

Sekira tahun 1862-an. Tatkala Presiden Abraham Lincoln membutuhkan banyak uang guna membiayai perang saudara di negaranya. Singkat kata,  parlemen (DPR) AS mengizinkan ia meminjam uang dari bank negara (milik pemerintah) sejumlah 150 juta dolar dalam bentuk koin emas/perak. Seharusnya pemerintahan Lincoln mengembalikan utang tersebut dalam bentuk uang (koin) lagi, namun karena tak mampu, ia lalu memperkenalkan uang kertas –dengan janji– bakal dibayar kelak dikemudian hari. Itulah titik mula pemerintah AS memperkenalkan uang kertas dalam bentuk ‘sertifikat emas/perak’.

Para pemilik uang menyimpan uang (koin emas) di bank pemerintah, lalu pihak pemerintah akan memberikan sertifikat bukti simpanan itu. Sertifikat itu kemudian dijadikan alat tukar. Misalnya, Si Edy bisa membeli barang kepada Si John menggunakan sertifikat, kemudian ketika Si John membutuhkan uang, ia dapat menyerahkan sertifikat itu ke bank dan menukarnya dengan koin emas/perak sesuai yang tertera pada sertifikat. Akhirnya, secara bertahap uang kertas disosialisasikan kepada masyarakat dan pada gilirannya dicetak secara rutin seperti yang kini terjadi.

Pada awal berlaku uang kertas, memang terdapat cadangan emas di bank sebagai jaminan, akan tetapi lama kelamaan, bukankah cadangan emas pun bakalan habis? Maka yang terjadi adalah uang beredar di masyarakat (mungkin) cuma sekedar kertas, bukan merupakan “bukti” penyimpanan emas di bank.

Terkait judul di atas,  tulisan sederhana lagi tidak ilmiah ini mencoba mengurai secara singkat, perihal dominasi penggunaan uang kertas, dalam hal ini adalah dolar dan institusi pecetaknya.

Uang Kertas = Jalan Keluar?

Dengan uang (kertas), siapapun dapat berbuat apa saja. Roda pemerintah bisa berjalan dan hidup mewah, dimana hal itu tidak bakal terjadi bila koin (uang) emas yang beredar. Retorikanya, bukankah jumlah emas itu sangat terbatas dan hanya berhak dimiliki oleh orang yang benar-benar bekerja dan punya sumber daya? Sudah barang tentu, model pemerintah korup tak mungkin bisa bermewah-mewah dalam sistem ini, kecuali apabila secara terang-terangan ia menindas rakyatnya.

Kelebihan uang kertas dibanding koin emas adalah lebih praktis, lebih efektif dan efisien dalam praktek operasionalnya, dengan kata lain, mudah dibawa kemana-mana dan sebagainya, kendati sisi kelemahan dari sistem seperti ini, segelintir orang bisa meraup dan menimbun kekayaan teramat banyak.

Pengubahan sistem koin emas ke uang kertas di AS, ternyata tak semudah membalik telapak tangan. Berjalan sangat alot dan memakan waktu relatif lama. Oleh karena sebagian rakyat AS saat itu sudah mengerti bahayanya penggunaan uang kertas, dan mereka tidak mau dibodoh-bodohi dengan menukar emas dan perak miliknya dengan secarik kertas cetakan.

Adalah Roosevelt (1933) Presiden AS, bahwa dengan pertimbangan guna menyelamatkan perekonomian negara yang ketika itu mengalami krisis besar, ia menggunakan tata cara kekerasan. Pemerintah menyita semua emas perak milik rakyat. Siapa menyimpan emas/perak dianggap kriminal, diancam penjara dan denda. Semua transaksi harus memakai uang kertas. Segala kontrak bisnis yang menggunakan koin (uang) emas sebelumnya, harus segera dikonversi ke uang kertas. Para pemilik uang emas/perak wajib menukarnya dengan uang kertas di bank-bank.

Dan seiring upaya dan cara paksa pemerintah terhadap rakyat, seiring pula indoktrinasi penggunaan uang kertas  melalui bangku-bangku sekolahan. Sebab ketika itu lembaga pendidikan di bawah kendali pemerintah. Rakyat didoktrin bahwa uang kertas sama baiknya dengan uang emas, dan penyitaan emas adalah demi kebaikan rakyat.

Ketika semua emas telah ditarik dan rakyat hanya menggenggam uang kertas, bank melakukan devaluasi mata uang. Lalu pemerintah AS menjual sebagian emas kepada pasar internasional (melalui bank) dengan harga lebih mahal daripada sewaktu “membeli” dari rakyat. Sebagai gantinya, pemerintah AS menerima uang kertas dari “operasi emas” yang disita dari rakyatnya, kemudian dipergunakan untuk membiayai roda pemerintahan.

Inilah salah satu contoh perampokan besar-besaran harta rakyat oleh pemerintah di era  Rooselvelt. Dan sejak saat itu, rakyat AS sesungguhnya telah dijajah oleh bank. Oleh sebab mereka bekerja keras tetapi dibayar dengan uang kertas. Juga berbagai sumber daya alam yang secara hakiki adalah milik rakyat, dieksplorasi, dieksplotasi, lalu hasilnya ditukar uang kertas.

The Fed, Sang Big Bos!

Tahun 1944. AS menggelar Perjanjian Bretton Woods guna menggagas sistem keuangan internasional. Acara tersebut dihadiri 44 negara Barat yang inti kesepakatannya: “bahwa negara-negara tidak lagi menggunakan emas sebagai alat transaksi internasional, melainkan dengan dolar yang di-back up atau dijamin emas”. Dan AS menjamin setiap kertas dolar dicetak, terdapat cadangan emas di bank dalam jumlah tertentu.

Pertanyaan mengapa para adidaya seperti Inggris, Prancis, Jerman dan lainnya “patuh” serta mau saja menerima perjanjian ini, oleh karena saat itu para adidaya dalam kondisi sangat lemah akibat Perang Dunia I dan II. Selain itu, bank AS dicitrakan dan tercitra memiliki cadangan emas terbanyak. Negara-negara lain diminta mempercayai mata uang dolar, oleh sebab bank-bank di AS menyimpan dua pertiga dari emas dunia.

Akan tetapi dalam perjalanan operasional Bretton Woods, AS menyerah! Ia tak mampu menjamin setiap dolar yang dicetak dengan emas. Berbagai isue dan opini pun menyeruak kepermukaan bahwa kondisi itu memang sengaja diciptakan. Dan dianggap sebagai bagian dari grand startegy para penggagas uang kertas itu sendiri.

Secara logika, jumlah emas terbatas, sedang kebutuhan dolar akan terus meningkat dan meningkat. Yang terjadi adalah dolar bakal terus dan terus dicetak serta disebar semau si pemilik percetakan dan jaminan emas terhadap  dolar tidak lagi setara dan seimbang sesuai kesepakatan Bretton Woods.

Tahun 1971. Secara sepihak AS mengumumkan bahwa ia tidak lagi terikat pada Bretton Woods. Artinya pencetakan dolar tidak ada lagi back-up emas. Dunia terhenyak! Inilah yang dikhawatirkan banyak kalangan. Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Kentang telah jadi perkedel. Dunia terlambat menyikapi. Dolar terlanjur menjadi idola dan merasuk ke berbagai penjuru dunia: Ya, dolar menjadi alat tukar transaksi internasional. Dan logikanya, semenjak tahun 1971-an, sesungguhnya masyarakat global telah jatuh dalam penjajahan bank AS yang secara leluasa mencetak dolar.

Di AS sendiri, satu-satunya lembaga yang berhak mencetak dolar ialah The Fed (Federal Reserve Bank of New York). Tetapi sungguh ironis, awalnya bank ini bukan bagian atau milik pemerintah AS, ternyata ia murni swasta bahkan dimiliki bukan oleh warga negara AS sendiri, melainkan kepunyaan konglomerat Yahudi-Zionis dari klan Rothschild dan rekannya, antara lain Rothschild Bank of London, Rothschild Bank of Berlin, Warburg Bank of Hamburg, Warburg Bank of Amsterdam, Israel Moses Seif Bank of Italy, Lazard Brothers of Paris, Citibank, Goldman & Sach of New York, Lehman & Brothers of New York, Chase Manhattan Bank of New York, dan Kuhn & Loeb Bank of New York.

Tahun 1837-1862 sebenarnya AS telah memiliki bank tersendiri guna pencetak uang, meski dalam bentuk sertifikat emas/perak sebagaimana diurai sepintas tadi. Tetapi ketika Rothschild Cs tahun 1913-an mendirikan The Fed, ia mampu menarik perhatian dan mengambil alih peran bank-bank di AS. The Fed bisa meminjamkan uang kepada pihak pemerintah, oleh karena tercitra mempunyai cadangan emas super banyak.

Adalah kampanye kandidat para presiden AS banyak dibiayai oleh The Fed sebagai faktor utamanya, kendati ada faktor-faktor lainnya, oleh karena bargaining (politik) logis setelah memegang tampuk kekuasaan, maka para presiden terpilih mutlak harus membuat kebijakan yang menguntungkan bagi The Fed sebagai balas jasa bagi sang Big Bos.

Diawali dari Presiden Woodrow Wilson (1914) menandatangani keputusan memberikan hak cetak mata uang kepada The Fed. Pemerintah menerima uang kertas dalam bentuk hutang yang harus dibayar kembali beserta bunganya. Begitulah. Rakyat AS dipaksa membayar pajak bunga utangan pemerintah kepada The Fed.

Kelak Wilson menyesali keputusannya ini: “Saya adalah orang yang paling tidak bahagia. Saya telah menghancurkan negara saya. Sebuah bangsa industri yang besar ini dikontrol oleh sistem kredit. Sistem kredit kita terkonsentrasi. Pertumbuhan bangsa ini dan seluruh aktivitas kita berada di tangan segelintir orang. Kita telah menjadi pemerintah yang paling diatur, dikontrol, dan didominasi di dunia modern. Kita tidak lagi memiliki pemerintah yang berpandangan bebas, pemerintah yang diakui, yang dipilih oleh suara mayoritas, melainkan pemerintah yang dikontrol oleh opini dan paksaan sekelompok kecil orang yang mendominasi:

“I am a most unhappy man. I have unwittingly ruined my country. A great industrial nation is controlled by its system of credit. Our system of credit is concentrated. The growth of the nation, therefore, and all our activities are in the hands of a few men. We have come to be one of the worst ruled, one of the most completely controlled and dominated governments in the civilized world. No longer a government by free opinion, no longer a government by conviction and the vote of the majority, but a government by the opinion and duress of a small group of dominant men”

Menyusul Rooselvelt (1933), dimana biaya kampanye saat pencalonan presiden juga didanai The Fed. Maka tatkala terjadi krisis moneter di AS, ia membuat suatu kebijakan yang berpihak kepada “Bos”-nya, yaitu melalui aksi penyitaan emas-emas rakyatnya lalu menyerahkan kepada The Fed, sehingga akhirnya dolar benar-benar menjadi mata uang utama, dan uang emas/perak pun tinggal kenangan.

Tentu saja, tidak semua presiden AS seperti Wilson atau Roosevelt yang menukar kedaulatan negara dengan dana kampanye. Adalah Presiden John Kennedy tercatat sebagai presiden yang keras ingin lepas dari jeratan The Fed. Ia berencana menerbitan mata uang sendiri melalui bank pemerintah. Akan tetapi sebelum rencana “mulia” itu berjalan, ia pun terbunuh di Dallas. Entah siapa dalang dan sang penghajat, hingga kini masih merupakan tabir gelap, konon sang pembunuh presiden pun dibunuh, kemudian pembunuh sang pembunuh pun dibinasakan, yang membinasakan pembunuh pun dihabisi, demikian seterusnya, maka putuslah mata rantai penyelidikan kasus pembunuhan Kennedy.

Sesungguhnya perjuangan AS agar lepas dari “cengkraman” The Fed tidak berhenti dengan terbunuhnya Kennedy, para mantan presiden, politisi dan ekonom telah memperingatkan adanya bahaya penyerahan wewenang cetak dan hak distribusi dolar kepada bankir swasta,  namun suara-suara itupun cenderung hilang seiring gegap gempita indoktrinasi sistem ekonomi uang kertas kalangan akademisi di seluruh dunia. Luar biasa.

Menjadikan dolar sebagai alat tukar internasional, pada hakikatnya sama seperti melegitimasi The Fed sebagai penjajah dunia. Termasuk rakyat AS sendiri. The Fed leluasa mencetak dolar, lalu dunia memberikan kekayaan alam dan cucuran keringatnya untuk sekedar ditukar dengan kertas-kertas dolar. Itulah yang kini terjadi. Entah sampai kapan.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com