Nilai Strategis Jalur Sutra Secara Geopolitik

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Geopolitik Migas. Menarik juga buat disorot. Mari kita mulai dengan menelusur beberapa keanehan berikut ini. Pernah dengar yang namanya AFRICOM? US AFRICA COMMAND ini sejatinya merupakan pusat komando militer Amerika Serikat di kawasan Afrika.

18 Februari 2008, pada Konferensi AFRICOM di Fort McNair, Wakil Laksamana Robert T. Moeller menyatakan: “Pedoman prinsip Africom adalah untuk melindungi aliran sumberdaya alam dari Afrika ke pasar global”.

Tapi masih ada satu keanehan lagi. Pada Konferensi Pers berikutnya, 13 Maret 2008, Jenderal William Ward lebih secara lebih vulgar lagi mengutarakan hajat sesungguhnya dari Washington: Ia menyatakan bahwa ketergantungan AS terhadap minyak Afrika ditindaklanjuti dengan mengoperasikan AFRICOM berdasar prinsip dan tujuan teater “memerangi terorisme”.

Dari modus operasi yang diperagakan dua pejabat teras Angkatan Bersenjata Amerika Serikat ini jelaslah sudah, untuk menguang secara transparat tujuan strategis sekaligus tata cara para perancang Kebijakan strategis Keamanan Nasional AS dalam menerapkan Politik Minyak dan Gas(MIGAS) sejagat.

Sedemikian vitalnya kepentingan para penguasa korporasi minyak dan gas bumi di Washington, sehingga kebijakan strategis Keamanan Nasional maupun Pertahanan AS selalu terkait erat dengan tujuan strategis penguasaan kekayaan dan sumberdaya alam sebuah negara atau kawasan.

Dalam kasus yang diperagakan oleh Laksamana Robert T Moeller maupun Jenderal William Ward, selintas memang rada aneh. Apa hubungannya dua perwira tinggi militer yang seharusnya hanya berbicara soal strategi kemiliteran dan siasat pertempuran, lha kok ini malah ikut-ikutan nimbrung ngomong soal ketergantungan AS terhadap Minyak di Afrika, dan malah terang-terangan mengatakan bahwa sasaran strategis AFRICOM adalah untuk melindungi aliran sumberdaya alam dari Afrika ke pasar Global.

Namun jika kita cermati skema kapitalisme global para “Jurgagan” Migas, Tambang Batubara dan Emas di Washington, sebenarnya memang begitulah modus operandi  yang dilancarkan para petinggi Gedung Putih baik ketika kepresidenan di tangan Presiden dari Partai Republik seperti George W. Bush, maupun dari Presiden Partai Demokrat macam Barrack Obama.

Bedanya, kalau presiden partai republik model Bush, modus operasinya menerapkan pendekatan militeristik.

Dalam setiap manuver militer yang dilancarkan seperti ke Afghanistan dengan dalih adanya Taliban sebagai kelompok Islam Radikal yang memicu aksi terorisme dalam pemboman di WTC, maupun invasi militer ke Irak dengan dalih Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah missal(Weapons of Mass Destruction), tujuan strategis yang sebenarnya adalah mengincar dan mencaplok kekayaan minyak yang terkandung di Afghanistan dan Irak.

Sekadar informasi. Terlepas fakta bahwa Bush memutuskan untuk menginvasi Afghanistan dengan dalih untuk membasmi Taliban yang ditengarai telah menjadi sarang untuk melindungi Osama bin Laden, yang diklaim Washington sebagai otak pemboman WTC dan Gedung Pentagon, namun sesungguhnya serangan militer AS Afghhanistan tersebut atas desakan dan hajatan dari Perusahaan Minyak raksasa UNOCAL, yang belakangan berganti nama jadi Chevron.

Kalau dari presiden dari Partai Demokrat, model Obama ini senantiasa menerapkan paket politik DHL(Demokrasi, Hak-Hak Asasi Manusia, dan Lingkungan Hidup). Yang sejatinya sama saja, yakni sebuah isyarat bahwa di negara yang jadi sasaran serangan Washington, biasanya terdapat kandungan kekayaan alam yang kemudian jadi sasaran atau incaran sesungguhnya dari para petinggi Washington sebagai penggerak garis depan kepentingan korporasi-korporasi besar macam Chevron, Texaco, Shell, Danm, Gulf, British Petroleum, ExxonMobil, Conoco Phillip dan sebagainya.

Sebelum saya memberi gambaran selintas mengenai beberapa negara yang dilewati Jalur Sutra dan memiliki kandungan kekayaan alam yang cukup besar, Libya mungkin bisa jadi satu ilustrasi yang cukup menarik.

Kita tahu, bahwa Presiden Muammar Ghadaffi akhirnya harus tersingkir dari tampuk kekuasaan akibat kolaborasi antara para pemberontak bersenjata dan dukungan dari belakang layar yang diberikan oleh Amerika dan NATO.

Ada apa d Libya sebenarnya sehingga secara geopolitik begitu bernilai dan jadi pertaruhan hidup dan mati bagi AS dan beberapa negara NATO seperti Inggris, Perancis dan Italia?

Dengan kata lain seberapa kaya sih Libya?

Usut punya usut, ternyata Libya merupakan penghasil minyak terbesar ketiga di Afrika, setelah Nigeria dan Angola. Kekayaan alam yang melimpah membuat negeri di Afrika Utara ini menjadi eksportir minyak terbesar dunia ke-12.

Penghasil minyak terbesar ketiga di Afrika, setelah Nigeria dan Angola ini,  memiliki cekungan Sirte yang merupakan penyokong terbesar produksi minyak Libya. Cekungan ini mengandung 44 miliar barel atau sekitar 80 persen dari cadangan minyak negara itu. Cadangan cekungan ini terbesar di Afrika.

Minyak Libya terkenal dengan jenis Light Sweet dengan kandungan sulfur yang rendah. Minyak mentah ini sangat ideal diolah menjadi bensin dan solar. Meski tak ada data resmi, diperkirakan hampir 95 persen produksi minyak dan gas alam Libya diekspor.

Bank Dunia mencatat, lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB) Libya diperoleh dari industri minyak dan gas. Pada 2009, PDB Libya sebesar US$62,36 miliar. Dengar penduduk yang hanya 6,4 juta, pendapatan per kapita negeri itu US$12.020. Sangat tinggi bila dibandingkan dengan Indonesia yang pada 2010 saja, baru US$3.000.

Dari  serangkaian fakta-fakta seputar kekayaan minyak Libya ini saja, bisa dipahami kalau France Oil Company (Perancis), British Petroleum(Inggris) dan Eny (Italia), begitu bernafsunya menggalang persekutuan militer menggusur Ghadaffi.

Sedemikian rupa sehingga Obama yang biasanya menggunakan pakem partai demokrat dengan paket DHL, untuk kasus Libya dia pun mendukung modus operasi militeristik yang selama ini jadi pakemnya para Hawkish/berhaluan keras dari para republikan ala George W Bush.

Dari sekilas gambaran mengenai nilai strategis Libya secara geopolitik, maka ada baiknya sekarang kita cermati kaitan beberapa negara yang dilewati Jalur Sutra, yang membentang dari Republik Rakyat Cina, Asia Tengah, dan bahkan Selat Malaka yang notabene masuk kawasan Asia Tenggara.

MENCERMATI KETERKAITAN SELAT MALAKA DAN JALUR SUTRA DALAM KONSTALASI PERSAINGAN  GLOBAL

1. Sekilas Info. Berdasar penelusuran di berbagai sumber bacaan, jalur sutra melegenda semenjak abad ke-2 hingga abad ke-19, bahkan sampai sekarang. Ia  membentang sepanjang 7000-an kilometer dari Cina, Asia Tengah sampai ke Eropa. Terdiri atas banyak cabang. Tetapi secara garis besar terdapat tiga jalur utama di utara, di tengah dan di selatan: (1) Jalur Utara: terhubung antara Cina – Eropa hingga Laut Mati melalui Urumqi dan Lembah Fergana; (2) Jalur Tengah: Cina – Eropa hingga tepian Laut Mediterania, melalui Dun-huang, Kocha, Kashgar, menuju Persia/Iraq; (3) Jalur Selatan: Cina – Afghanistan, Iran dan India melalui Dun-huang dan Khotan menuju Bachtra dan Kashmir. Itulah awal dikenal atau sebutan Jalur  Sutra.

2. Kini, jalur Sutra telah diklaim meluas melewati Selat Malaka, Lautan India, Teluk Aden dan masuk ke Laut Mediterania via Laut Merah – Terusan Suez dan seterusnya. Konsekuensi yang timbul ialah komoditas dagang yang melewati pun semakin beragam, seperti emas, minyak, rempah-rempah, besi, gading, tanaman dan lain-lainnya.

3. Pada era modern, menurut David Rockefeller, jalur itu melintas antara Maroko (Afrika Utara) hingga perbatasan Cina dan Rusia. Sedang asumsi penulis, riil jalur melegenda kini membujur di antara Cina dan perbatasan Rusia – via UTARA melalui Kyrgystan, Kazakhtan, Uzbekistan, Turmeniztan, Iran, Iraq, SYRIA, Turki dan selanjutnya terus ke Benua Eropa; sedang via SELATAN membentang antara Cina, India, Pakistan, Afghanistan, Iran, Iraq, SYRIA, Mesir dan terus berlanjut ke negara-negara Afrika Utara hingga Maroko. Titik pisah kedua Jalur Sutra Benua (Utara dan Selatan) adalah SYRIA.  Termasuk jalur (tambahan atau pengembangan) melalui perairan adalah via Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Lautan Hindia, Laut Merah, dan Laut Mediterania sebagaimana diurai di atas tadi.

4. Tak bisa dipungkiri, selain sebagai jalur ekonomi, budaya dan militer lintas benua — bahwa hampir semua negara di sepanjang jalur ini merupakan penghasil minyak, gas dan jenis-jenis tambang lainnya. Ya, sebuah “Jalur Basah” lagi menggiurkan bagi para kaum kapitalis dunia.

5. Ketika Amerika menyadari betapa strategisnya kawasan Asia Tengah merupakan negara-negara yang berada dalam jalur Sutra dan kaya akan sumber alam dan energi, maka AS tak segan segan menguasai Afghanistan secara militer pada skala maksimal.

6. Bahkan di era Obama sempat ada penambahakn pasukan sebesar 30 ribu orang. Karena AS sadar bahwa potensi negara-negara baru di kawasan Asia Tengah yang meliputi Kyrgyzstan, Kazakhstan, Turkmenistan, Tajikistan, Uzbekistan dan 10 negara lain ex Uni Soviet di sekitar Jalur Sutra telah dikenal kaya akan sumberdaya alam dan energi.

7. Kawasan tersebut kini mulai berbenah guna saling mengintegrasikan diri demi memperlancar arus komunikasi dan transportasi. Ini terlihat dengan semakin banyak dibangunnya infrastruktur berupa jalan, rel kereta dan jembatan. Jalur penerbangan pun dibuka untuk saling menghubungkan kelima negara tersebut dengan negara-negara ex Uni Soviet lainnya.

8. Dalam perspektif adidaya dunia, secara geografis, kawasan ini terlihat sangat prospektif,  bahkan dikatakan sebagai koridor penting yang membelah antar benua, terutama (kepentingan) Dunia Barat dan Timur. Maka dengan berbagai cara, para adidaya Timur (Rusia dan Cina) menjalin persahabatan terhadap negara-negara di kawasan tersebut guna menanamkan pengaruhnya. Tak ketinggalan para adidaya Barat, seperti negara-negara di jajaran Uni Eropa, AS dan para sekutunya pun dengan berbagai “cara dan modus” ingin dan mulai menanamkan pengaruhnya di kawasan Asia Tengah.

Dari paparan selintas ini, bisa dimengerti jika Presiden Obama yang notabene dari Partai Demokrat dan penganut Soft Power yang non-militer dan penerap paket DHL, dalam kasus Afghanistan, di masa awal kepresidenannya malah memerintahkan penambahan sekitar 30 ribu personil militernya di Afghanistan.

Ini bisa dimengerti ,mengingat melimpah ruahnya kandungan kekayaan alam tidak saja di Afghanistan, melainkan juga di kawasan Asia Tengah. Sialnya bagi Amerika, Rusia dan Cina sudah satu langkah lebih maju dengan terjalinya kerjasama strategis melalui Payung perjanjian Shanghai Cooperation Organization (SCO), dalam mengawal kepentingan strategis keduanya di kawasan Asia Tengah.

Sehingga opsi militer jadi pilihan satu-satunya

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com