Demokrasi ala Barat yang sekarang berlangsung di Bumi Pertiwi ini, selain tidak selaras dengan kearifan lokal (local wisdom) dan nilai-nilai leluhur, sehingga narasinya bukan sekedar menyimpang saja, secara esensi justru bertabrakan dengan local wisdom itu sendiri. Key point atau titik tabraknya misalnya, ketika kearifan lokal menganut azas keterwakilan (hak bicara) — ini esensi nilai musyawarah mufakat— sedang model demokrasi yang kita anut kini berazas keterpilihan, mengkedepankan hak suara. One man one vote dan lain-lain. Jadi, bila disandingkan antara local wisdom dengan one man one vote, dan/atau membandingkan antara hak bicara versus hak suara — betapa hak suara sangat individualis bahkan cenderung liberal. Bahasannya tentang menang atau kalah, siapa suara terbanyak dan seterusnya, sedangkan hak bicara, bukan soal kalah atau menang, tetapi yang utama ialah mengakomodir hak-hak dan suara minoritas.Ya, bersemayam ruh kegotong-royongan dalam kearifan lokal.
Dalam one man one vote, suara seorang profesor sederajat dengan suara pemilih pemula, dan/atau suara mantan presiden pun bernilai sama dengan suara buruh tani, contohnya, atau suara tukang becak dan lain-lain. Realitas ini cukup merisaukan karena selain praktik demokrasi tersebut abai terhadap local wisdom, juga menabrak nilai-nilai dan rasa keadilan.
Dan apabila diibaratkan industri, entah pilpres, atau pilkada maupun pilkades — momentum tersebut seperti “pabrik” karena suara rakyat bisa dipesan, bahkan dibeli secara massal. Termasuk dari “pabrik” tersebut terbidani beberapa manufaktur dan/atau variatif fabrikasi seperti hoax, atau money politics, konflik komunal, saling bully, unjuk rasa, stres, black campaign dan lain-lain, sedang core business (produk inti) dari praktik industri demokrasi tersebut adalah korupsi. Ya korupsi. Kenapa demikian, sebagaimana substansi pernyataan Global Future Institute (GFI), Jakarta, bahwa model pemilu sekarang hakiki pemenang adalah pemilik modal. Intinya, bahwa pesta demokrasi —istilah lain pemilu— membutuhkan modal besar, dan itu hanya dimiliki para pemilik modal. Maka siapapun pemenang pemilu mutlah harus patuh, tunduk dan kelak kebijakan-kebijakan politiknya harus sesuai hasrat dan selaras dengan kepentingan si pemodal. Inilah titik awal dan sumber dari korupsi itu sendiri.
Tatkala muncul opini di sebagian masyarakat bahwa korupsi di Indonesia itu diciptakan oleh sistem (konstitusi) politik, memang tidak salah, dengan kata lain, selama bangsa ini menganut sistem politik ala Barat, maka kegaduhan sosial politik tidak bakalan reda. Retorika menggelitik pun muncul, bagaimana mungkin persoalan hoax, buli-membuli antarbuzzer, korupsi, dan seterusnya dapat mereda, sedang “pabrik”-nya masih dibuka? Sekali lagi, “pabrik” disini adalah analogi dari hajatan pilpres, pilkada dan pilkades secara one man one vote alias pemilihan langsung.
Dengan kondisi seperti itu, yang kita khawatirkan ialah muncul fenomena salah kaprah di publik karena beranjak dari asumsi yang kurang akurat. Fenomena (salah kaprah) dimaksud contohnya, antara lain:
Pertama, bahwa korupsi dipersepsikan sebagai permasalahan utama bangsa serta dianggap sumber/hulu kegaduhan. Padahal sesungguhnya hanya hilir atau residu dari sistem politik itu sendiri;
Kedua, aparat penegak hukum terutama KPK berpotensi dijadikan alat kekuasaan lagi cenderung tebang pilih dalam proses penegakkannya;
Ketiga, selalu dan selalu dimunculkan demonologi politik secara variatif seperti isu ini, stigma itu, slogan ini, tagar itu dan lain-lain dimana arahnya selain menggiring persepsi publik agar variatif demonologi diopinikan atau dituduh sebagai biang kegaduhan, juga esensi utamanya ialah menutupi kelemahan/kegagalan rezim serta cuma sarana pengalihkan isu atas permasalahan pokok bangsa, dan lain-lain.
Barangkali, inilah yang kini berlangsung senyap tanpa kita sadari. Dan sesuai handout kecil ini, itulah tipuan industri demokrasi (ala Barat). Entah sampai kapan.
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)