Oleh Purkon Hidayat*)
James I Porter dalam “Nietzsche’s Theory of The Will to Power” (2006:548-564) memandang kehendak untuk berkuasa merupakan abstraksi dari realitas sebagai aspek terdalam, dan tertinggi dari realitas (the nature of reality), sekaligus menjadi realitas itu sendiri apa adanya (reality as such). Di sini, konsep kehendak berkuasa akan menjadi kunci untuk membuka kotak pandora kemenangan Trump dalam pilpes AS belum lama ini.
Pertama, kemenangan Trump dalam pilpres AS dianggap sebagian kalangan sebagai kejutan. Bahkan hingga kini masih banyak yang memberikan tanda tanya besar terhadap kemenangan juragan real estate itu. Pasalnya, kebanyakan hasil polling menunjukkan perolehan dukungan Hillary Clinton lebih besar dibandingkan Trump. Tapi hasil pemungutan suara pilpres yang digelar pada Selasa (8/11) membeberkan sebaliknya, Trump mendulang suara lebih besar dari Clinton.
Kedua, naiknya Donald Trump yang berlatar belakang pengusaha mengalahkan seorang politisi kawakan semacam Hillary Clinton yang pernah menjabat sebagai menteri luar negeri AS, dinilai sebagian kalangan di luar kelaziman sejarah presiden negeri Paman Sam itu. Memang, sebelum Trump, muncul George Bush yang berasal dari keluarga miliuner minyak asal Texas. Namun, berbeda dengan Trump, Bush terjun ke arena politik setelah mundur dari bisnis. Bush merintis karir politiknya menjadi kader partai, hingga memegang berbagai posisi di partai Republik, baru kemudian terpilih menjadi presiden AS.
Sementara itu, Trump baru terjun ke politik selama beberapa tahun terakhir. Ia pun masih tetap aktif sebagai pengusaha, dan selama ini tak pernah menjabat sebagai fungsionaris partai. Tak heran banyak petinggi partai Republik sempat meragukannya. Tapi faktanya, Trump bisa melenggang menjadi presiden terpilih AS menembus tahapan seleksi yang relatif panjang.
Ketiga, Trump dalam berbagai kampanye pemilunya sangat boros mengumbar slogan kontroversial dan tendesius yang menyerang kalangan minoritas dan imigran, dengan melempar isu sensitif seperti: pengusiran imigran, islamofobia dan lainnya.
Sebagian kalangan di AS dan luar negeri menilai slogan kampanye Trump ini mencoreng citra AS sebagai negara pembela HAM yang sedang mati-matian ditampilkan pemerintahan Obama sejak pertama menjabat. Obama di berbagai pidatonya berupaya menggandeng dunia Islam dengan mengusung isu “A New Beginning” di Kairo (4/6/2009), dan “Partners for a New Beginning” di Jakarta (9/11/2010).
Dari aspek politik luar negeri, Obama terpilih dengan mengusung slogan membangun citra baik AS di mata Muslim dunia yang tercoreng akibat agresi militer Bush di Irak, tapi kini Trump justru terpilih menggunakan isu sebaliknya.
Keempat, di luar sokongan kubunya, partai Demokrat, Hillary Clinton mengantongi dukungan nama-nama milyuner AS seperti: Warrant Baffet, Oprah Winfrey, Sheryl Sandberg, Tim Cook, Mark Cuban, dan lainnya. Selain itu, sebagian politisi partai Republik sendiri tidak mendukung Trump. Tapi gelombang sokongan tersebut tidak berhasil mengerek perolehan suara Clinton untuk menyisihkan Trump.
Dari sini, Nietzsche memberi basis analisis untuk membongkar masalah ini dengan berpijak pada teori hasrat berkuasa sebagai penggerak pilihan politik manusia selaku subyek dan obyeknya. Hasrat berkuasa yang diterangkan Nietzsche adalah bentuk ketidaksadaran, mirip sebangun dengan hasrat politik Machiaveli dan Hobbes, serta libido Freud, yang tampak dalam sepak terjang Trump dan pola dinamika politik AS.
Pertama, keempat poin di atas tidak mempertimbangkan menguatnya gejala populisme yang ditampilkan kandidat, terutama pasca Brexit, di samping dua isu sentral, politik luar negeri dan masalah dalam negeri, terutama ekonomi. Dari 13 kunci yang disebutkan Allan Lichtman, poin 12 dan 13 mengenai kharisme kandidat adalah bentuk dari model populisme.Tapi, definisi Lichtman tentang kharisma sedikit berbeda dengan Weber, sebab menekankan pada aspek national hero yang ditampilkan sangat kuat oleh Trump dengan slogan, dan sepak terjangnya yang agresif dalam kampanye. National hero yang diusung Trump tidak lain dari ekspresi hasrat the will to power.
Kedua, jauh hari sebelum Donald Trump menjadi presiden terpilih AS, Lynn Varveck mengungkapkan bahwa Trump bukan seorang politikus, tapi seorang pengusaha yang tahu betul apa yang diinginkan konsumennya. Statemen Varveck memberi kunci terhadap pelacakan watak Trump sebagai pengusaha yang mencalonkan diri dalam pilpres AS, sebagai praktik bisnis di arena politik. Dan kali ini, ia berbisnis dengan rakyat AS.
Sepak terjang Trump, termasuk janjinya dan serangan terhadap lawan politiknya bagian dari penawaran (supply) terhadap rakyat AS, terutama swing voters. Trump menggunakan hasrat berkuasa tidak hanya sebagai subyek, tapi obyek kolektif, yaitu ekspektasi rakyat AS, terutama kalangan kulit putih.
Poin 5 dan 6 yang dijelaskan Allan Lichtman dalam “The 13 Keys to the White House” berkaitan dengan masalah ekonomi jangka pendek dan jangka panjang. Sebagai pengusaha properti, Trump sangat tahu kondisi perekonomian AS yang terpukul, terutama sejak ditimpa subprime mortgage crisis di akhir tahun 2007.
Ketiga, Trump dengan sangat baik mengemas desire (hasrat) yang dipadukan dengan pleasure (kenikmatan) dalam bentuk janji-janji kesejahteraan dan kemakmuran, serta kebanggaan sebagai bangsa besar dalam motonya kampanyenya “Make America Great Again”.
Slogan yang diusung Trump ini sebagai bagian dari upaya melekatkan struktur pengalaman memori kolektif masyarakat AS dengan mengalihkan akar persoalan dari kesenjangan sosial kepada antagonisme budaya. Slogannya tidak lain dari upaya mengembalikan kejayaan AS dalam narasi besar “American Dream” yang tertancap kuat di ubun-ubun rakyat AS, terutama kalangan kulit putih.
Keempat, Trump menyingkap topeng Obama yang menutupi wajah agresif Amerika dalam diplomasi santun yang seringkali lebih menusuk. Trump seolah ingin mengatakan kepada Obama, “Hentikkan kepura-puraanmu, karena publik dunia sudah tahu !” Poin ini juga menegaskan analis Allan Lichtman dalam “The Keys to the White House” yang menekankan betapa pentingnya politik luar negeri bagi konstituen AS. Lichtman memasukannya dalam poin 7,9, 10, dan 11.
Di bidang politik luar negeri, Trump menyerang kebijakan luar negeri Obama bersama Partai Demokrat, dan membongkar keterlibatan Clinton dalam masalah ISIS. Pola serupa diulang dari cara Obama ketika maju dalam pilpres dengan menyerang Bush yang dinilainya sebagai presiden haus perang yang menggelar dua perang besar di Afghanistan dan Irak.
Tapi, apakah esensi politik luar negeri AS berubah di tangan Obama selama dua periode kepemimpinannya dibandingkan dengan Bush. Faktanya, secara substansial tidak ada yang berubah, kecuali intonasinya saja. Bush melancarkan agresi langsung tanpa tedeng aling-aling, tapi Obama lebih santun, dengan membidani kelahiran ISIS, yang kemudian diperanginya. Kini, Trump berjanji akan menumpas ISIS.
Kelima, hasrat berkuasa yang dimaksud Nietzsche dalam konteks AS adalah sistem kuasa AS sendiri yang sudah mapan. Jadi siapapun presidennya tidak ada yang berubah secara substansial. Sebab yang terjadi adalah perubahan-perubahan pada aksidennya; pada intonasi dan gaya kepemimpinan presiden, dan silih bergantinya politisi puncak, bukan birokrasi dan sistem politik AS.
Sejatinya, slogan “Make America Great Again” yang dikibarkan Trump adalah upaya untuk membenamkan hasrat berkuasa dalam bentuk memori kolektif mengembalikan kejayaan AS yang terpampang dalam namanya, United State of America. Inilah American Dream, dan The Will to Power menjadi jantungnya !
Jika, Michael Moore melihat naiknya Trump sebagai capres, dan kini benar-benar terpilih sebagai presiden AS, sebagai sebuah lelucon masyarakat AS, saya melihat sebaliknya. Inilah bentuk keseriusan yang lahir dari sebuah narasi hasrat yang benar-benar dibenamkan secara sangat dalam di benak masyarakat AS, terutama kalangan kulit putihnya. Dan, Trump menampilkannya hampir sempurna. Trump adalah wajah Amerika !
*) Peneliti ekonomi politik global ICMES
Facebook Comments