Ekspansi Global Korporasi Rockefeller-Morgan-Bloomberg Di Balik Gencarnya Kampanye Global Anti-Tembakau

Bagikan artikel ini

Sejak munculnya Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau  (FCTC) pada 2003, ternyata konsumsi tembakau masyarakat dunia malah cenderung meningkat. Pada 2007 lalu, nilai seluruh perdagangan tembakau dunia mencapai 378 miliar dolar AS. Meningkat 4,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Lantas siapa konsumen tertinggi dari tembakau itu? Data dari Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia (FAO) pada 2003 lalu, negara-negara maju merupakan konsumen teratas. Sebut saja lima besar negara, negara-negara tersebut adalah Cina, Uni Eropa, India, dan Amerika Serikat.

Ada apa ini sebenarnya, bukankah dalih yang digunakan WHO dalam mengampanyekan anti-tembakau adalah karena buruk bagi kesehatan? Lagipula lebih anehnya lagi, ketika kampanye anti-tembakau global semakin gencar, ada perkembangan yang sangat paradoks dan mengandung “kontradiksi yang terselubung.” Beberapa perusahaan rokok nasional di negara-negara dunia ketiga diambilalih oleh perusahaan-perusahaan rokok multinasional.

Sekadar dua ilustrasi. Di Indonesia, 2005 Philip Morris mengakuisisi  PT HM Sampoerna TBK. Bersamaan dengan itu, Philip Morris juga mengakuisisi Compania Colombiana  de Tobaco SA di Kolombia.

Padahal kedua perusahaan itu merupakan produsen rokok terbesar di negaranya masing-masing. Segi yang tak kalah penting disorot, pada 2005 itu pula Philip Morris telah mengumungkan perjanjian dengan China National Tobacco Corporation (CNTC) untuk lisensi produksi Marlboro Cina. Dua tahun kemudian, pada 2007 Philip Morris membeli 50,2 persen saham tambahan pada Lakson Tobacco Company di Pakistan. Akibatnya, 98 saham Lakson dikuasai Philip Morris.

Lebih anehnya lagi, Amerika Serikat sebagai sebagai produsen tembakau terbesar keempat di dunia dan jadi negara yang menjadi markas secretariat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan berperan besar dalam proses perumusasn FCTC, hingga kini malah belum meratifikasi FCTC. Bukan itu saja. Bahkan AS malah memberikan subsidi  besar kepada para petani tembakaunya. Dalam periode 2005-2009, pemerintah AS telah memberikan total subsidi kepada para petani tembakaunya sebesar 944 juta dolar AS.

Selain itu pemerintah AS juga melaksanakan program asuransi tanaman yang dikelola badan manajemen resiko di bawah Departemen Pertanian (USDA). Program ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap produk atau sektor pertanian dalam negeri. Untuk mengantisipasi bila terjadi gagal panen akibat faktor iklim, atau ketika harga komoditas termasuk tembakau jatuh di pasar internasional.

Ironisnya, dalam pandangan yang secara gencar mendesak pemerintah Indonesia menolak meratifikasi WHI FCTC, memandang konvensi ini hanya akan menyengsarakan masyarakat kelas bawah , terutama buruh pabrik rokok dan petani tembakau yang akan kehilangan lapangan kerja.

Wanda Hamilton, sebagaimana saya kutip dari buku yang disunting Andi Rahman Alamsyah bertajuk Hitam Putih Tembakau, mengemukakan bahwa terlalu naif untuk melihat konvensi pengendalian tembakau semata atas dasar dalih-dalih kesehatan. Menurut Wanda Hamilton, ada sisi lain yang harus dilihat di balik kontroversi anti-tembakau tersebut. Yaitu tiada lain adalah pertarungan perusahaan-perusahaan raksasa global. Pendukung utama gerakan anti-tembakau adalah tiga perusahaan farmasi global (Novartis, Glaxo Welcome, dan Pharmacia & Upjohn). Adalah ketiga korporasi itu pula yang kemudian menjadi penyokong  dana program pengendalian tembakau melalui Prakarsa Bebas Tembakau (Free Tobacco Iniatiative/FTT). Sehingga kemudian melahirkan WHO FTC.

Kalau kita cermati dari cerita Wanda Hamilton tersebut, maka kampanye kemanusiaan anti-tembakau sejatinya merupakan selubung pemasaran produk industri farmasi. Sebabnya? Perusahaan-perusahaan yang disebut Wanda Hamilton tersebut merupakan produsen utama Nicotine Replacement Treatment (NRT), produk terapi pengganti nikotin yang diakui efektiff memacu individu menhentikan kebiasaan merokok. Maka tak berlebihan jika Wanda Hamilton menggambarkan gencarnya kampanye anti-tembakau global sebagai “perang nikotin,” perang antara pedagang obat versus pedagang rokok.

Namun kembali ke aneksasi korporasi global tembakau milik Philip Morris seperti saya ceritakan tadi, ada sebuah fakta penting yang sempat diungkap Joseph Stiglutz, bahwa industri obat merupakan satu-satunya perusahaan yang mempunyai pengaruh penting di Kantor Perwakilan Dagang Amerika (US Trade Representative). Maka patut diduga munculnya konvensi WHO FCTC yang sangat merugikan petani dan buruh pabrik di Indonesia dan juga negara-negara berkembang, tidak lepas dari pengaruh dan tekanan dari beberapa korporasi farmasi dan tembakau global di AS dan Uni Eropa.

Okta Pinanjaya dan Waskito Giri Sasongko dalam bukunya bertajuk Muslihat Kapitalis Global, Selingkuh Industri Farmasi dengan Perusahaan Rokok AS, sejak berakhirnya Perang Dunia II, setidaknya muncul tiga entitas besar aktor global atau internasional. Pertama, Organisasi Pemerintahan Internasional (IGO) yang mana anggota forum ini terdiri dari negara-negara, LSM atau NGO, dan organisasi non-partai.

Kedua, organisasi Non-Pemerintahan Internasional (INGO). Dengan mengutip James Petras dan Henry Veltmeyer, pada 2001 setidaknya ada sekitar 50 ribu lembaga semacam ini di Dunia Ketiga, dan menerima total dana lebih dari 10 miliar dolar AS dari lembaga-lembaga keuangan internasional , agen-agen pemerintah Amerika, Eropa, Jepang, dan pemerintah lokal. Tujuannya? Tiada lain untuk melapangkan jalan masuk kepentingan korporasi-korporasi multinasional menancapkan pengaruhnya di negara-negara dunia ketiga. Tak terkecuali Indonesia.

Fakta tersebut cocok informasi Joseph Stiglitz bahwa industri obat merupakan satu-satunya perusahaan yang punya pengaruh penting di Kantor Dagang Amerika (US Trade Representative). Perusahaan-perusahaan farmasi itu disebut-sebut telah mengeluarkan 759 juta dolar AS untuk mempengaruhi 1400 keputusan kongres selama periode 1988-2004. Melihat jumlahnya yang merupakan alokasi dana paling besar di Amerika buat pengerahan para pelobi sebesar 3 ribu orang, rasanya masuk akal jika muncul kecurigaan  adanya skandal terkait penyuapan yang tidak hanya melibatkan IMF, Bank Dunia dan World Trade Organization (WTO). Melainkan juga melibatkan IGO yang berkaitan kesehatan, yaitu World Health Organization (WHO). Sebab dalam kampanye anti-tembakau yang sejatinya melayani kepentingan perusahaan-perusahaan farmasi seperti digambarkan Wanda Hamilton, maka isu global yang dimainkan untuk menguntungkan kepentingan korporasi farmasi, agen yang paling tepat memainkan peran itu adalah WHO.

Namun, benarkah menggolkan kepentingan perusahaan-perusahaan farmasi melalui gencarnya kampanye anti-tembakau berskala global merupakan satu-satunya motif di balik paradoks dan kontradiksi terselubung kampanye anti-tembakau?

Untuk menelisik hal itu, baiknya kita menyorot salah satu modus operandi yang digunakan untuk melancarkan kampanye anti-tembakau berskala global. Yaitu melalui filantropi. Dan salah satu satu aktor utamanya adalah, Michael Bloomberg. Setelah Bloomberg jadi kaya raya sebagai penguasa industri edia dan layanan data keuangan  di dunia dengan jaringan yang tersebar di seluruh dunia, kekayaan pribadi Bloomberg adalah 18 miliar dolar AS.

Baca:

Michael Bloomberg, Perintis Dalam Bisnis Intelijen

Menariknya, setelah kaya raya Bloomberg mulai menginvestasikan kekayaannya untuk mendanai berbagai kegiatan sosial, budaya,ilmu pengetahuan, teknologi dan sebagainya. Selain itu juga investasinya juga bergerak dalam kegiatan filantropi (amal) yang dikelola lewat yayasan yang didirikannya dan lewat program-program inisiatif.

Sekadar informasi, salah satu yayasan amal terkait filantropi yang didirikan Bloomberg adalah Bloomberg Family. Ia mempercayakan pengelolaan dana filantropinya kepada Carnegie Corporation of New York. Menurut The Chronicle of Philantropy , sejak 2004 Bloomberg masuk dalam daftar 50 penyumbang dana paling top di Amerika dengan total donasi lebih dari 1,4 miliar dolar AS.

Lantas, apa kaitannya kampanye anti-tembakau yang melibatkan Bloomberg? Ternyata Bloomberg punya peran besar dalam mendorong gerakan anti-tembakau sejak 30 Desember 2002. Ini setelah tak lama berselang sejak terpilih sebagai Walikota New York kali pertama. Kala jadi walikota ia mengeluarkan peraturan kota untuk menciptakan udara bersih. Alhasil, peraturan yang ia berlakukan sejak 31 Maret 2003 itu, melarang kegiatan merokok dalam ruangan tertutup hampir di semua tempat public di New York, termasuk perkantoran, bar, restoran dan klub.

Rupanya Bloomberg tidak hanya sebatas di New York dalam melancarkan gerakan anti-tembakau dan anti-rokok. Pada 2006 ia menginvestasikan dana 125 juta dolar dalam bentuk hibah untuk Bloomberg Initiative to Reduce Tobacco USE. Nah dari gerakan awal pada 2006 ini, Bloomberg meluaskan lingkup gerakan global anti-tembakau ke seluruh dunia. Dana-dana itu dikelola lima mitra utama: Campaign for Tobacco Free Kids (Washington), John Hopkins University  School of Public Health (Baltimore), US Center of Desease Control & Prevention Foundation (Atlanta), World Health Organization Tobacco Free Initiatives (Geneva), dan World Lung-Foundation and The International Union Against Tuberculosis and Lung Desease (New York and Paris).

Bloomberg Iniative ternyata telah beroperasi di 50 negara termasuk Indonesia. Agenda straregisnya adalah memaksimalkan kapasitas gerakan anti-tembakau dalam mengintervensi kebijakan pengendalian tembakau di negara-negara sasaran sesuai dengan Kerangka Pengendalian Tembakau atau FCTC. Indonesia sebagai salah satu negara penerima Dana Hibah Bloomberg Initiative memperoleh 5.559.203 dolar AS. Praktis berada di urutan ke-3 teratas dari total 50 negara.

Kenyataan bahwa John Hopkins University juga masuk sebagai salah satu mitra utama Bloomberg, maka perguruan tinggi dimainkan Bloomberg dalam gerakan global anti-tembakau. Apalagi sejak 1998 John Hopkins University mendirikan Institute for Global Tobacco Control yang berpusat di John Hopkins University Bloomberg School of Public Health. Peran yang dimainkan lembaga ini adalah melakukan sintesis dan menerjemahkan bukti-bukti ilmiah yang kemudian digunakan untuk mendukung dan mempengaruhi kebijakan program dan kegiatan pengendalian tembakau global. Pada 1998 itu pula ketika WHO fokus pada tembakau sebagai masalah kesehatan dunia lewat Free Tobacco Initiative, lembaga ini dipimpin Gro Harlem Brundtland, alumnus John Hopkins University. Bahkan lahirnya FCTC juga tidak lepas dari sepak terjang tokoh-tokoh yang terkait langsung dengan John Hopkins University.

Dengan begitu tak pelak lagi John Hopkins University menjadi bagian dari sindikasi jaringan korporasi global Amerika yang dikuasai Rockefeller dan JP Morgan, yang berperan sebagai otoritas keilmuan untuk memberikan pembenaran ilmiah lewat penelitian dan risetnya dalam kerangka pemikiran yang sesuai kepentingan skema bisnis global Rockefeller.

undefined

Lewat peran penting John Hopkins University itulah, Bloomberg menjadi mata-rantai penting dari jejaring Rockefeller-Morgan-Bloomberg dalam perang global melawan tembakau. Sampai di sini, keterangan Wanda Hamilton mesti jadi rujukan penting kita kembali. Dari perusahaan-perusahaan farmasi yang disinggung Wanda Hamilton pada bagian sebelumnya dari artikel ini, terlihat jelas bahwa hampir semua perusahaan farmasi dunia memiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan jejaring bisnis global Rockefeller-Morgan. Seperti Johnson and Johnson, Hoechst, Pharmacia, Novantis dan Pfizer.

Untuk memberi landasan moral pada gerakan global anti-tembakau, Rockefeller-Morgan mendorong sebuah paradigma baru dalam perspektif kesehatan publik berdasaarkan pada prinsip social medicine. Yang mana mengandung tiga prinsip: Kondisi Sosial dan ekonomi sangat mempengaruhi kesehatan,penyakit dan praktek kedokteran. Kedua, kesehatan penduduk adalah masalah kepedulian sosial. Ketiga, masyarakat harus mempromosikan kesehatan secara individu maupun sosial. Sepintas ketiga prinsip Social Medicine itu tidak bermasalah apalagi bahanya.

Namun beberapa pemrakarsa berdirinya WHO seperti Brock Chrisholm sempat menyatakan rasa frustrasinya karena setiap usahanya untuk memainkan WHO sebagai mitra strategis Rockefeller-Morgan selalu menghadapi ganngguan dari kepentingan nasional negara-negara anggota WHO. Bahkan bukan itu saja. Chrisholm juga menegaskan bahwa kepentingan nasional, identitas budaya dan nasionalisme dalam perspektif global, dipandang telah menjadi penghambat utama bagi suatu gerak ekspansi global. Khususnya terkait dfengan kepentingan Rockefeller di bidang farmasi.

Berlebihan atau tidak, masuk akala tau tidak, pernyataan Chrisholm mengandung kebenaran. Faktanya, lewat program dan kebijakan yang diprakarsai WHO, langsung atau tidak langsung, Rockefeller dan sindikasi farmasinya secara langsung atau tidak langsung diuntungkan. Termasuk dalam dengan munculnya konvensi FCTC yang bagi para petani tembakau dan pekerja pabrik tembakau negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia, sangat dirugikan.

Berarti, gerakan global anti-tembakau sarat kepentingan strategis kekuatan kapitalis global berbasis korporasi seperti Rockefeller, JP Morgan dan Michael Bloomberg.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com