Bablasan Orde Baru Merusak Reformasi, Bablasan Reformasi Menciptakan Darurat Korupsi

Bagikan artikel ini
Catatan Kecil Kudeta Konstitusi
Tajuk Rencana Kompas, 22 Desember 2023, memuat analisis berjudul: Korupsi Lagi, Korupsi Lagi. Cukup menarik. Diksi “lagi” diulang dua kali di judul tajuk, seperti ingin menebalkan asumsi bahwa korupsi di era kini bukan lagi budaya, tetapi sudah budidaya. Kira-kira begitu. Mirip orang beternak. Korupsi dipelihara, lalu dikembang-biakkan. Semakin lama kian marak.
Retorika filosofi pun menyeruak di prolog catatan ini, “Sebenarnya, korupsi di Indonesia itu akibat moral hazard, atau faktor sistem politik, sich?” Retorika ini tidak perlu dijawab, agar tulisan ini dapat dilanjutkan.
Dalam pidato pada Hari Antikorupsi Sedunia, Presiden Jokowi mengatakan, banyak pejabat di Indonesia yang dipenjara karena korupsi.
“Sejak 2004-2022, tercatat sebanyak 344 pimpinan dan anggota DPR dan DPRD, 38 menteri dan kepala lembaga, 24 gubernur, 162 bupati/wali kota, 31 hakim, 8 komisioner, 415 dari swasta serta 363 birokrat,” kata Presiden Jokowi.
Menariknya, di ujung narasi, Kompas menawarkan big bang guna mengatasi ‘darurat korupsi’. Tim Penulis Tajuk Rencana berharap, pemerintahan baru pasca-Pemilu 2024 berani menerbitkan Perppu Omnibus Law Pemberantasan Korupsi sebagai sapu jagat guna mengeliminasi pejabat korup.
Lantas, semacam apa bentuk ‘sapu jagat’ terhadap korupsi? Masih samar-samar. Di beberapa diskusi publik juga mencuat aspirasi soal reformasi jilid II. Sekali lagi, macam mana nanti ujudnya. Juga belum jelas. Yang pasti, di mata Kompas (dan publik), bahwa orde dan sistem politik yang kini berjalan dianggap sangat buruk sehingga dibutuhkan big bang serta reformasi jilid ke-2. Itulah poin Tajuk Rencana di Kompas, 22 Desember 2022.
Nah, sesuai judul catatan ini, pertanyaan selidiknya ialah, “Benarkah reformasi gagal, atau reformasi telah dibablaskan oleh kaum reformis gadungan sebagaimana dahulu reformasi ‘dijerumuskan’ oleh bablasan Orde Baru (kelompok liberal) sehingga timbul darurat korupsi seperti sekarang ini?”
Asumsi di atas relatif menarik. Data koruptor yang disampaikan Presiden Jokowi di Hari Antikorusi Sedunia justru dimulai tahun 2004, yaitu kali pertama pemilihan presiden (Pilpres) secara langsung (one man on vote) yang mengantar Pak SBY menjadi Presiden RI ke-6 selama dua periode (2004-2009 dan 2009-2014). Sudah barang tentu, Pilpres dimaksud berbasis UUD 2002 yakni konstitusi hasil empat kali amandemen UUD 1945 (1999-2002) oleh kaum reformis gadungan.
Pertanyaan menarik timbul, kenapa Pak Jokowi tidak membandingkan jumlah para koruptor dengan era Orde Baru, misalnya, atau dimulai 1998-an awal Pak Harto lengser?
Barangkali, Pak Jokowi ingin menegaskan bahwa semenjak ‘konstitusi baru’ hasil amandemen UUD 1945 (1999-2002), korupsi bertambah marak, nekat, lagi berjamaah.
Secara garis besar, ada enam tuntutan reformasi, yaitu: 1 pemberantasan KKN; 2 pencabutan Dwi Fungsi ABRI; 3 penegakkan hukum, penegakan HAM dan demokrasi; 4 penegakan kebebasan pers; 5 pemberian hak otonomi kepada daerah, dan 6 amandemen UUD.
Bahwa antara tahun 1998-1999, sebenarnya tuntutan reformasi telah terpenuhi dan selesai. Mengapa? Sebab, dalam dekade tersebut terbit 12 Ketetapan/TAP MPR guna mengakomodir tuntutan reformasi. Contoh TAP-nya adalah:
1. TAP MPR No VII/1998 mengenai Perubahan dan Tambahan atas TAP MPR No I/1983 tentang Perubahan Tata Tertib MPR;
2. TAP MPR No VIII/1998 tentang Pencabutan TAP MPR No IV/1993 tentang Referendum;
3. TAP MPR No IX/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR No II/1998 tentang GBHN;
4. TAP MPR No X/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara;
5. TAP MPR No XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN;
6. TAP MPR No XII/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR No V/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris MPR dalam Menyukseskan dan Mengamankan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila;
7. TAP MPR No XIII/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia;
8. TAP MPR No XIV/1998 tentang Perubahan dan Tambahan Ketetapan MPR No III/1998 tentang Pemilu;
9. TAP MPR No XV/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan Pembangunan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
10. TAP MPR No XVI/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi;
11. TAP MPR No XVII/1998 tentang Hak Asasi Manusia;
12. TAP MPR No XVIII/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR No II/1978 tentang Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa).
Nah, dari dua belas TAP MPR tersebut di atas, empat TAP memperlihatkan upaya mengakomodasi tuntutan reformasi, antara lain:
Pertama, TAP MPR No VIII/1998 yang memungkinkan UUD 1945 diamandemen;
Kedua, TAP MPR No XII/1998 perihal Pencabutan Ketetapan MPR No IV/1993 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang khusus kepada Presiden/Mandataris MPR dalam Rangka Menyukseskan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila;
Ketiga, TAP MPR No XIII/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Maksimal Dua Periode;
Keempat, TAP MPR No XVIII/1998 yang menyatakan bahwa Pancasila Tidak Lagi Dijadikan sebagai Asas Tunggal.
Jadi, seluruh organisasi politik tidak lagi wajib menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi.
Akan tetapi, pada saat amandemen UUD 1945 inilah, reformasi dibablaskan oleh kelompok liberal alias reformis gadungan.
Seyogianya UUD 1945 diamandemen/diubah sesuai tuntutan reformasi dalam bentuk adendum (lampiran). Namun, praktiknya justru pasal-pasal di Batang Tubuh diganti total —bukan diubah— sehingga tidak nyambung antara Pembukaan dan Batang Tubuh.
Penelitian Prof Kaelan dari UGM, sekitar 95% isi pasalnya diganti, sehingga konstitusi kita berubah individualistik dan liberal kapitalistik.
Membandingkan tata cara perubahan di Amerika Serikat (AS), contohnya, sudah 27 kali AS mengamandemen konstitusi, tetapi Naskah Aslinya tetap. Orisinal. Perubahan atau amandemen diletak pada adendum.
Juga India, meski telah mengubah konstitusi sebanyak 104 kali agar sesuai dengan tuntutan zaman, namun Naskah Asli kepunyaan India masih utuh. Tetap orisinal. Sekali lagi, semua amandemen/perubahan diletak di adendum.
Dengan demikian, reformasi jilid ke-2 yang digaungkan di publik sebenarnya ‘salah tempat’ atau kurang memenuhi sasaran. Narasi yang tepat bahwa bablasan Orde Baru telah merusak reformasi, dan bablasan reformasi menimbukan darurat korupsi. Ya. Sejak 2002, bangsa ini telah meniti pada jalan sesat karena menggunakan konstitusi liberal serta meninggalkan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi.
Kenapa saya menggunakan istilah ‘bablasan’ pada catatan ini? Ya. Seyogianya di setiap revolusi, misalnya, atau reformasi, ataupun perubahan secara cepat model apapun, harus menerapkan apa yang disebut dengan istilah Ruptura Pactada. Yaitu unsur lama dan elemen-elemen masa lalu tidak diikutsertakan, tidak dipakai, alias dicampakkan dalam tatanan baru. Nah, pada reformasi di Indonesia justru menganut Reforma Pactada, bukan Ruptura Pactada. Unsur masa lalu serta orang-orang lama masih dipakai, bahkan boleh memegang kendali di sektor-sektor strategis. Gilirannya, praktik revolusi dan/atau proses perubahan secara cepat berjalan tidak total. Reformasi setengah hati.
Unsur lama di tatanan baru inilah yang saya sebut dengan istilah ‘bablasan’. Baik bablasan Orde Baru yang sukses menjerumuskan reformasi, maupun bablasan reformasi yang mengkudeta konstitusi sehingga sistem politik (konstitusi) yang berbasis UUD 2002 menjadi liberal kapilastik lagi cenderung korup. Inilah yang terjadi. Maka, menjawab pertanyaan pada paragraf kedua catatan ini, “Sesungguhnya, korupsi di Indonesia itu akibat moral hazard, atau faktor sistem politik?” Jawabannya, lebih dominan ke sistem politik daripada moral hazard. Bahwa korupsi di Indonesia diciptakan oleh sistem.
Dan ibarat orang tersesat, bangsa ini seyogianya kembali dulu ke titik awal (UUD 1945 Naskah Asli), bukan terus berjalan dengan cara yang menduga-duga.
Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com