Kembali Ke UUD 1945 Dipersepsikan Balik Ke Zaman Orde Baru Adalah Logika Sesat

Bagikan artikel ini

Clue Kecil Untuk Milenial dan Gen Z

Ketika Orde Baru (Orba) jatuh dan Pak Harto lengser pada Mei 1998, Gen Z belum lahir. Kaum Milenial pun baru belajar merangkak alias masih balita. Milenial lahir antara 1981-1996, sedang Gen Z lahir seputar 1997-2010. Berapa usia mereka sekarang?

Hari ini, kedua generasi tersebut bagian dari Bonus Demografi di Indonesia hingga dekade 2040-an menuju Indonesia Emas (2045). Itulah porsi terbesar dalam demografi karena keduanya berada di usia produktif.

Pertanyaan filosofis pun muncul, “Apakah Milenial dan Gen Z kelak menjadi berkah demografi, atau musibah demografi?” Jawabannya, tergantung sistem dan kiprah hari ini!

Berdasarkan survei, kedua generasi tersebut merupakan pemilik suara (vote) 60-an persen (%) di Pilpres 2024 nanti. Suara mereka diperebutkan dalam kontestasi politik baik Pileg, Pilkada, terutama Pilpres 2024 ini.

Tidak boleh dielak, melalui Pilpres bermodel pemilihan langsung (pilpressung) alias one man one vote, posisi Milenial dan Gen Z dianggap ladang empuk untuk ditambang oleh para kontestan Pemilu terutama para pasangan calön dalam Pilpres.

Ketika bertiup isu-isu: “Jika kembali ke UUD 1945 karya agung the Founding Fathers identik dengan balik ke zaman Orba”; “O, itu langkah mundur” dll, niscaya Milenial dan Gen Z cuma manggut-manggut. Mengapa? Selain tak tertarik, no comment, juga kebanyakan mereka tidak memahami histori dan substansi isu dimaksud. Bagaimana mau berkomentar, sedang mereka kurang memahami seluk beluk Orba akibat minimnya literasi serta manipulasi sejarah?

Kerap kali, stigma buruk Pak Harto dan Orba yang digebyarkan secara sepihak di media. The winner takes it all. Framing di publik, misalnya, Orba itu represif! Pak Harto otoriter, tidak ada kebebasan berbicara, koruptif, sarat KKN, tafsir tunggal Pancasila dan lain-lain. Akan tetapi, tatkala kini bertebar meme atau gambar Pak Harto dengan frasa: “Enak Zamanku, tho?” Kaum Milenial dan Gen Z pun bingung karena ketiadaan literasi memadai. Bagaimana hendak membandingkan. Pada satu sisi, Orba dicap represif lagi otoriter; namun di sisi lain, sebagian opini menyebut lebih enak dahulu (era Orba) dibanding sekarang. Tak boleh dinafikan, di zaman Orba, sandang pangan murah, serta stabitas keamanan dan politik cenderung kondusif.

Orba menggunakan UUD 1945 sesuai Naskah Asli warisan leluhur, dimana MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara (bukan Lembaga Tinggi seperti sekarang). Anggota MPR terdiri atas anggota Partai Politik (Parpol) yang terpilih di DPR, Utusan Daerah (UD) dan Utusan Golongan (UG). Tugas dan peran MPR ialah memilih Presiden, membuat GBHN, melantik Presiden/Wakil Presiden, dan seterusnya. Pilpres dilaksanakan di MPR sehingga semua konflik sosial politik ‘ditarik’ di gedung. Ya, bila ada konflik terlokalisir di Senayan. Jarang terjadi bentrokan massa di lapangan dan nyaris tak ada kegaduhan di akar rumput.

Namun perlu dicatat, meskipun Orba menggunakan UUD sesuai Naskah Asli, tapi sebenarnya ia tidak menjalankan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Misalnya?

Semua Parpol (PDI dan PPP) dalam ‘kontrol’ pemerintah. Dulu, hanya dua partai dan satu golongan karya (Golkar) saja. Tidak multipartai seperti sekarang. Bahkan Golkar dijuluki ‘partai pemerintah’. Sebab, selalu menang di setiap pemilu. Contoh lainnya, bahwa UG dan UD ditunjuk oleh Presiden. Sifatnya top down, bukan bottom up. Tidak dari bawah. Sehingga suara kedua utusan, mengikuti kehendak serta manut apa kata rezim kekuasaan. Lengkap sudah. Parpol dan Golkar dalam kendali rezim, UD dan UG dikontrol oleh elit penguasa. Inilah salah satu bentuk ‘penyelewengan pokok’ oleh Orba sehingga berimbas kemana-mana. Contoh besar dampak negatifnya ialah kentalnya KKN serta masa jabatan Presiden hingga 32 tahun.

Kita flashback sejenak. Mungkin. Puncak sejarah yang kuat aroma nasionalisme ialah Sumpah Pemuda 1928 (sebelum kemerdekaan); 17 Agustus 1945; Deklarasi Djoeanda 1957, kenapa? Selain momen tersebut menggetarkan dunia, ujungnya adalah demi Kepentingan Nasional RI. Namun sebaliknya, momentum anasionalisme ialah ketika UU 1/1967 tentang PMA diterbitkan. Kenapa begitu? Sebab, sejak saat itu asing bisa memiliki sahamnya hingga 49%, sedang sebelumnya cuma 5% saja. Celakanya, itu terjadi di zaman Orba.

Apalagi ketika UUD 1945 diamandemen (1999-2002) oleh kaum “reformis gadungan”, selain membidani ratusan UU pro-asing, juga sepertinya telah mengubah bentuk negara dari nation-sate menjadi corporate-state (negara korporasi/kepentingan). Asing kini boleh memiliki saham hingga 90% lebih, bahkan di sektor tertentu mencapai 100%. Gila. Di situ, Pancasila dikubur dalam-dalam, dan konstitusi hasil amandemen (istilahnya UUD 2002) bersifat individualis, liberal dan kapitalistik.

Tatkala beberapa dekade belakangan ini muncul arus kuat di publik untuk kembali ke UUD 1945 sesuai Naskah Asli, tak pelak upaya itu mendapat hambatan cukup signifikan baik yang bersifat penggembosan dan/atau kanalisasi dari sisi dalam oleh kelompok itu sendiri, maupun secara terang-terangan dari eksternal.

Sudah bisa ditebak, kelompok penghambat ini berintikan segelintir elit liberal pelaku amandemen UUD 1945. Mereka, selain mampu mempengaruhi publik melalui pembenaran teori-teori Hukum Tata Negara ala Barat, juga meyakinkan kelompok penikmat UUD 2002 yang sudah nyaman dengan situasi dan sistem sekarang ini. Ditebarnya isu secara masif, bahwa kembali ke UUD 1945 adalah langkah mundur, misalnya, atau balik ke UUD Naskah Asli identik kembali ke era Orba, dan lain-lain. Padahal, Orba sendiri tidak menjalankan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Ada hal-hal yang diselewengkan sebagaimana diurai singkat di atas tadi.

Dahsyatnya lagi, hingga kini, tak banyak publik yang memahami hal tersebut. Apalagi Kaum Milenial dan Gen Z. Mereka nyaris kurang memahami, bahwa persoalan bangsa ini sebenarnya ada di hulu yakni UUD 2002 yang individualis, liberal dan kapitalistik. Ya. Praktik operasional UUD 2002 telah mengubur Pancasila dalam implementasi berbangsa serta bernegara.

(Alm) Buya Syafii Maarif pernah mengatakan, “Pancasila dimuliakan dalam kata, diagungkan dalam tulisan, namun dikhianati dalam perbuatan”.

Kaum Milenial dan Gen Z sebenarnya sudah mengendus situasi yang sedang tidak baik-baik saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, endusan mereka dibelokkan secara sistematis ke persoalan hilir. Dialihkan kepada hal-hal residu. Maraknya korupsi cöntohnya, atau penolakan UU Cipta Kerja, ataupun isu Keputusan MK soal usia capres/cawapres, dan seterusnya. Padahal, semua yang digaduhkan tersebut hanya hal yang sifatnya residu dari apa yang disebut permasalahan hulu bangsa yaitu praktik UUD 2002 yang liberal dan kapitalistik.

Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.

M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com