Pertemuan Antony Blinken-Netanyahu Membuka “Kotak Pandora” Operasi Rahasia AS dan Israel Gagalkan Pembentukan Negara Palestina

Bagikan artikel ini

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik pada November lalu, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim secara frontal menuding Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya menerapkan kebijakan luar negeri yang “double standards” dalam menyikapi konflik antara Israel versus Palestina.

Yang dimaksud Perdana Menteri Malaysia tersebut, dalam menyikapi konflik antara Rusia versus Ukraina yang sejak awal mendapat dukungan terbuka dari AS maupun sekutu-sekutu strategisnya yang tergabung dalam NATO, berusaha mempersuasi negara-negara berkembang untuk mendukung aksi internasional mendukung Ukraina melawan Rusia. Namun AS dan negara-negara blok Barat sama sekali tidak peduli terhadap kejahatan militer Israel membantai warga sipil di Gaza.

Ini menurut saya bukan sekadar double standar melainkan secara terang-terangan menunjukkan pemihakannya terhadap Israel alih-alih bersikap netral menyikapi konflik Arab Palestina versus Israel yang dipicu oleh keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1947 yang tidak adil. Ketika Arab Palestina yang jumlah populasinya sekitar 56 persen lebih hanya dapat bagian luas wilayah sebesar 35 persen. Sebaliknya Israel yang penduduknya hanya sekitar 35 persen dari jumlah total populasi malah mendapat luas wilayah sebesar 65 persen dan memperoleh wilayah-wilayah Palestina lahan pertaniannya subur-subur.

Sejak 1947 Inggris dan AS bersekutu merekayasa prakondisi di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menciptakan pembagian wilayah Palestina yang menguntungkan kelompok zionis Israel, sehingga pada 1948 berhasil mendeklarasikan berdirinya negara Israel secara sepihak. Maka itu sama sekali tidak heran jika AS dan Inggris bersama-sama dengan negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam NATO, selalu memihak Israel sebagai negara bangsa sejak berdirinya pada 1948.

Baca juga: 

Menguak Tiga Aktor Kunci Di Balik Politik Devide et Impera Inggris di Palestina

Dengan begitu sama sekali tidak mengejutkan jika pada pertemuan bilateral antara Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken dengan Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu menyatakan bahwa HAMAS sebagai pejuang kemerdekaan Palestina merupakan bagian dari jejaring ISIS. Pernyataan tersebut tentu saja selain mengagetkan melainkan juga aneh. Bagaimana mungkin bisa berkata seperti itu padahal baru selang  5 tahun yang lalu Israel secara nyata telah menjalin komunikasi yang cukup dekat dengan anggota-anggota ISIS. Bahkan Israel memberikan bantuan senjata dan bantuan kesehatan kepada ISIS.

Halaman muka buku berjudul <i>Operasi Senyap Mossad di Dunia Arab dan Iran</i>

Pada 2018 beberapa perwira militer Israel terungkap telah membawa beberapa pemimpin militer ISIS dari provinsi Kuneitra di Suriah/Moaz Nassara dan Abu Ratep dari “Fursan Al-Golan”, Ahmad An-Nasha dari “Saif Ash-Sham,” Ala Al-Halaki dari “Jaish Ababil.”

Apa segi menarik dari serangkaian fakta-fakta tersebut? Edisi Israel “Haaretz” beberapa waktu lalu mempublikasikan informasi bahwa HAMAS telah diberi dana keuangan dari salah satu negara Eropa hingga meletusnya konflik bersenjata pada 7 Oktober 2023 lalu. Lebih lanjut menurut informasi yang dilansir “Haaretz” tersebut, Perdana Menteri Netanyahu mendesak pemberian dana kepada HAMAS untuk menciptakan prakondisi merebaknya kembali konflik bersenjata antara Arab Palestina dan zionis Israel. Sehingga pada perkembangannya gagasan dan rencana pembentukan Negara Kedaulatan Palestina tidak bisa tidak bisa dibentuk melalui cara-cara damai. Hal itulah yang kemudian Sheikh A. Yasin kemudian membentuk organisasi “Mudjama Al-Islamiyah” yang kemudian menjadi dasar pembentukan HAMAS dan mendapat bantuan dana dari Israel.

Tentu saja berita yang dilansir “Haaretz” harus tetap ditelaah secara kritis dan tidak boleh ditelan mentah-mentah. Namun informasi tersebut setidaknya cukup efektif untuk mematahkan sikap sok suci pemerintah AS ketika menuding HAMAS sebagai ISIS seolah-olah AS dan Israel bersih dari keterlibatannya dalam merancang operasi intelijen yang manipulatif dan kotor. Terlepas HAMAS terkait dengan jejaring ISIS atau tidak, namun fakta menunjukkan ada masa ketika badan intelijen AS CIA maupun MOSSAD Israel pernah terlibat dalam berbagai operasi rahasia menggalang dan mendorong aksi-aksi kelompok-kelompok teroris di Timur Tengah dan Palestina pada khususnya, untuk tujuan strategis melestarikan kepentingan dan keuntungan AS dan Israel di kawasan Timur Tengah.

Kalau kita cermati meletusnya konflik bersenjata antara Israel versus Palestina menyusul aksi HAMAS pada 7 Oktober lalu, memang pada awalnya Perdana Menteri Netanyahu menggunakan dalih serangan HAMAS sebagai alasan bagi Israel untuk melancarkan tindakan militer terhadap Palestina, dengan dalih bahwa HAMAS telah melancarkan sabotase menggagalkan rencana pembentukan Negara Palestina.

Namun pada perkembangannya Israel tidak bisa mengontrol Hamas, seperti halnya juga AS ketika menjalin komunikasi dengan Al-Qaeda dengan memberikan dana dan bantuan militer untuk memerangi pasukan pendudukan Uni Soviet di Afghanistan.

Nampaknya AS dan Israel tidak belajar dari sejarah. Sehingga sejarah pahit dan tragis yang dialami AS menyusul aksi terorisme di World Trade Center 11 September 2001, kali ini sejarah itu berulang kembali di Gaza. Bahwa dalam suatu operasi intelijen, aktivitas penggalangan yang tidak diikuti dengan aktivitas pembinaan, pada perkembangannya para agen intelijen yang semula merupakan sekutu pada perkembangannya menjelma jadi agen-agen intelijen yang justru berfungsi menjadi agen-agen kontra intelijen yang merugikan dan merusak rencana strategis dan rencana operasi CIA maupun MOSSAD.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com