Ukraina Dalam Perspektif Geopolitik Zbigniew Brzezinski

Bagikan artikel ini

Penulis: M Arief Pranoto dan Hendrajit, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)

Sebagai salah satu negara pecahan Uni Soviet, Ukraina merupakan Poros Geopolitik yang cukup penting dan strategis di kawasan Eurasia, dan harus berada dalam lingkup pengaruh Amerika dan Uni Eropa. Maka, diluncurkanlah Skenario Revolusi Warna, sebagai bagian integral dari Perang Asimetris AS untuk menaklukkan Ukraina. Dan Membendung Pengaruh Rusia.

Seperti telah diurai pada bagian awal kajian kami, penggulingan Presiden Ukraina Viktor Yanukovich sesungguhnya merupakan gerakan terencana dan sistematis berkat kerjasama antara partai-partai oposisi dengan bantuan Amerika Serikat dan Uni Eropa, khususnya Jerman. Hal tersebut terlihat jelas ketika Presiden Yanukovich memutuskan untuk menerima bantuan dari Rusia dan menunda kesepakatan perdagangan dengan Uni Eropa, lalu dengan serta merta sebagian rakyat Kiev, Ibu Kota Ukraina, meletup dan meledak dalam gelombang demonstrasi anti Yanukovich.

Bisakah gelombang demonstrasi dan serangkaian kerusuhan politik di Kiev tersebut bisa kita kategorikan sebagai gerakan revolusi? Sepertinya tidak. Karena kalau kita cermati dengan seksama, aksi massa tersebut tergolong brutal dan penuh kekerasan. Kejam dan tak bermoral karena selain telah melakukan intimidasi, melemparkan bom-bom molotov ke banyak orang, juga menyerbu gedung-gedung pemerintah, dan lain sebagainya. Ketika ada anggota massa tewas tertembak aparat, maka itulah korban pertama dalam dua bulan unjuk rasa menentang pemerintah. Tetapi akibat penembakan justru aksi pun semakin meluas, bahkan sudah berani merambah ke timur Ukraina, wilayah basis dimana massa Yanukovich berada.

Masuk akal jika Presiden Putin menggambarkan unjuk rasa tersebut seperti penghancuran daripada revolusi. Bahkan ada yang mengatakan bahwa aksi-aksi tersebut sebagai bentuk terbaru dari fasisme di Eropa.

Namun, benarkah sikap Yanukovich yang lebih berpihak pada Rusia dan menolak tawaran kerjasama dengan Uni Eropa merupakan satu-satunya penjelasan di balik gelombang demonstrasi warga Kiev untuk menjatuhkan Yanukovich?

Ukraina dalam Desain Politik Zbigniew Brzezinski

Sebagai salah satu negara pecahan Uni Soviet, Ukraina sebenarnya sudah dipetakan oleh Amerika Serikat sejak 1997.  Zbigniew Kazimierz Brzezinski, mantan Ketua Dewan Keamanan Nasional (National Security Council) di era pemerintahan Jimmy Carter pada periode 1977-1981, menerbitkan sebuah buku yang cukup menarik bertajuk The Grand Chessboard pada 1997.  Dalam buku yang cukup menarik tersebut, Brzezinski menulis, “Ukraina, ruang baru dan penting pada papan catur Eurasia, merupakan poros geopolitik karena sangat penting keberadaannya sebagai negara merdeka, untuk membantu mengobah Rusia.

Tanpa Ukraina, lanjut, Brzezinski, tidak akan mungkin lagi menjadi sebuah imperium di kawasan Eurasia. Dan jika satu saat Moskow mendapatkan kembali kontrol atas Ukraina, maka dengan 52 juta orang berikut sumberdaya utama serta akses ke Laut Hitam, Rusia otomatis bakal mendapatkan kembali kedigdayaannya untuk menjadi negara kekaisaran (imperium) yang kuat, mencakup kawasan Eropa dan Asia.

Maka itu, dalam bukunya The Grand Chessboard, Brzezinski secara tajam dan rinci menguraikan makna dan hakekat dari Poros Geopolitik.

Menurut mantan penasehat keamanan nasional Jimmy Carter yang saat ini juga merupakan arsitek kebijakan politik luar negeri Presiden Barrack Obama, yang dimaksudkan sebagai Poros Geopolitik adalah negara-negara yang nilai pentingnya bukan berasal dari kekuasaan atau motivasinya, melainkan dari lokasi geografisnya yang cukup sensitive.

Sehingga dalam beberapa kasus, negara-negara yang masuk kategori Poros Geopolitik tersebut, memainkan peran khusus, yang barang tentu secara geopolitik punya nilai yang cukup strategis. Baik untuk memberikan akses ke wilayah-wilayah penting terhadap suatu negara tertentu, atau sebaliknya, menolak untuk dijadikan negara satelit sebuah negara adidaya (seperti Rusia).

Dalam perspektif geopolitik tersebut, Brzezinski memasukkan beberapa negara pecahan Uni Soviet sebagai Poros Geopolitik seperti: Ukraina, Azerbaijan, Korea Selatan, Turki dan Iran.

Bukan sebuah kebetulan bahwa Ukraina dan Azerbaijan yang dulunya merupakan bagian dari Uni Soviet, saat ini sudah negara merdeka lepas dari kedaulatan Rusia. Krisis politik yang terjadi di Ukraina pada Februari 2014 dan berakhir dengan tumbangnya Presiden Yanukovich, nampaknya harus dipahami dalam perspektif geopolitik Brzezinski. Bahwa Ukraina, yang merupakan salah satu Poros Geopolitik di kawasan Eurasia, harus berada dalam orbit pengaruh Amerika dan sekutu-sekutu strategisnya seperti Uni Eropa dan NATO.
Seperti yang ditegaskan oleh Brzezinski dalam The Grand Chessboard, “Eurasia merupakan papan catur di mana perjuangan bagi keunggulan global harus tetap dimainkan Amerika.” Inilah aspek penting yang amat berguna untuk menjelaskan mengapa Amerika dan Uni Eropa begitu intensif membantu kelompok-kelompok oposisi baik di parlemen maupun luar parlemen,untuk mendukung elit-elit kepemimpinan Ukraina yang pro Amerika dan Uni Eropa.

Zbigniew Brzezinski Arsitek Politik Luar Negeri Barrack Obama

Sekilas tentang Brzezinski terkait peran dan pengaruhnya dalam proses pembuatan kebijakan strategis luar negeri AS dulu dan sekarang. Saat ini Brzezinski masih merupakan arsitek politik luar negeri Obama dari belakang layar. Sebuah peran yang cukup strategis mengingat ruang lingkup kewenangannya dalam memberi arah dan perumusan kebijakan strategis Amerika dalam bidang Politik Luar Negeri, Pertahanan dan Intelijen.

Sejak Carter tumbang dari kekuasaan karena dikalahkan oleh Ronald Reagan dari Partai Republik pada 1980, maka Brzezinski beserta klannya pun ikut tergusur dari Gedung Putih.

Sekarang pada era kepresidenan Obama, Brzezinski menurut informasi dari berbagai sumber, merupakan salah satu tokoh sentral dalam mendesain kebijakan politik luar negeri Amerika.

Radikalisasi Terhadap Rusia

Menurut berbagai sumber, adalah Brzezinski yang berada di balik sikap radikal pemerintahan Obama terhadap Rusia akhir-akhir ini. Meskipun dilancarkan secara tidak langsung dan tersamar.

Salah satunya adalah dengan manuver militer NATO, suatu aliansi pertahanan antara Amerika dan Eropa Barat, dengan menggelar latihan militer di Georgia pada Mei 2009 lalu. Georgia merupakan negara pecahan Rusia yang berbatasan langsung dengan negara beruang merah tersebut.

Memang sulit untuk tidak dikatakan sebagai provokasi mengingat latihan militer yang digelar sejak 6 Mei 2009 lalu itu berdekatan waktunya dengan Hari Kemenangan Uni Soviet pada Perang Dunia II melawan NAZI Jerman pada 9 Mei 1945.

Namun Rupanya, peristiwa serbuan militer Rusia terhadap Georgia pada Agustus 2009, oleh Presiden Dmitri Medvedev sebagai pertanda bahwa kekuatan militer Rusia masih cukup membanggakan. Tak pelak lagi ini merupakan bagian dari perang urat syaraf pihak Rusia merespons provokasi Amerika dan NATO di Georgia.

Hal ini nampak jelas ketika Vladimir Putin yang kala itu menjabat Perdana Menteri, pada 10 Mei 2009 lalu menegaskan bahwa latihan gabungan NATO di Georgia merupakan upaya merusak hubungan Rusia-Amerika Serikat. Sekaligus memicu ketegangan di Kaukasus.

Dari berbagai sumber yang dihimpun oleh tim Global Future Institute, Brzezinski nampaknya berada di balik provokasi NATO di Georgia sebagai pemanasan untuk memulai ketegangan baru hubungan Amerika-Rusia.

Menurut Webster Griffin Tarpley, dalam bukunya Obama the Posmodern Coup, menginformasikan bahwa Obama telah dibina secara intensif oleh Brzezinski sejak 1981-1983, ketika Obama belajar ilmu politik dan hubungan internasional di Universias Colombia.

Ini jelas sebuah informasi yang cukup baru mengingat fase di Unviersitas Colombia ini belum pernah diungkap oleh berbagai buku biografi Obama sebelumnya. Karena menurut Tarpley, di sinilah Obama masuk dalam pembinaan jaringan yang terdiri dari kelompok  CIA berhaluan kiri-tengah, National Endowment for Democracy (NED), the Soros Foundation, klik dari Brzezinski.

Menurut Tarpley, seluruh rancangan Brzezinski didasari obsesi untuk menaklukkan Rusia di semua sektor. Karena itu manuver NATO dengan menggelar latihan militer di Georgia memang bisa dibaca sebagai bagian dari provokasi untuk memperhadapkan Rusia dengan negara-negara bekas pecahan Soviet, khususnya yang berbatasan langsung dengan Rusia.

Selain itu, ketegangan NATO-Rusia semakin meningkat ketika NATO mengembangkan kekuatannya di Asia Timur dan sistem pembangunan sistem rudal Amerika di dua bekas anggota Soviet yaitu Republik Ceko dan Polandia. Sekadar informasi, Brzezinski itu sendiri merupakan warga Amerika kelahiran Polandia.

Nampaknya Brzezinski memang layak untuk dicermati dalam memainkan perannya sebagai perancang politik luar negeri Obama. Peredaan ketegangan yang diisyaratkan oleh Obama kepada Iran bukan tidak mungkin memang dimaksudkan untuk menahan nafas barang sejenak. Bukan benar-benar ditujukan untuk menciptakan perdamaian dunia.

Iran dan negara-negara Timur Tengah nampaknya untuk sementara tidak akan jadi fokus perhatian Amerika. Brzezinski nampaknya membidik Afrika sebagai sasaran utama.Tujuannya, adalah melumpuhkan pengaruh Cina dalam mengakses sumber-sumber minyak di benua Afrika.

Manuver multilateral terhadap Presiden Omar Bashir dari Sudan dengan dalih terlibat dalam kejahatan perang, nampaknya bukan murni masalah hukum internasional. Ini adalah manuver Amerika dari balik layar untuk melumpuhkan pengaruh Cina di Sudan.

Dalam perhitungan Brzezinski, dengan terbendungnya Cina di kawasan Afrika dalam mengakses  minyak, pada perkembangannya akan memaksa Cina untuk bergerak ke laut Siberia dalam rangka mendapatkan akses minyak.

Jika skenario Brzezsinski ini berjalan mulus, maka tak pelak lagi ini akan memicu konflik antara Rusia dan Cina. Padahal saat ini Cina dan Rusia bekerjasama cukup erat di bidang ekonomi dan pertahanan melalui Shanghai Cooperation Organization(SCO).

Kalau ini berjalan, maka Brzezinski dalam rancanangan politik luar negeri Amerika, memang bermaksud untuk memecah-belah Rusia dan Cina.

Bagi para perancang kebijakan strategis di Washington, buku karya Brzezinski tersebut pada dasarnya harus dipandang sebagai cetak biru (blueprint) politik luar negeri Amerika.

Bisa dimengerti jika sejak 1991 Amerika dan sekutu-sekutu eropa baratnya telah memberi bantuan keuangan sebesar 5 miliar dolar AS untuk Ukraina. Ukraina dalam perspektif Poros Geopolitik Brzezinski, harus tetap berada dalam lingkup pengaruh Amerika dan sekutu-sekutu strategisnya yang tergabung dalam Uni Eropa.

Untuk lebih memahami secara utuh dan lengkap, berupaya mempertahankan lingkup pengaruhnya di Ukraina, maka marilah kita kilas balik sejenak mengenai apa yang terjadi dalam Revolusi Oranye di Ukraina pada 2004-2006.

Memahami Hakekat Revolusi Warna Sebagai Perang Asimetris AS

Bermula dari istilah media Barat dalam rangka menggambarkan gerakan massa di negara-negara pecahan Uni Soviet dan Balkan dekade 2000-an ke atas. Revolusi Berwarna atau sering disebut “revolusi warna” kini semakin populer, karena sesungguhnya bukanlah suatu gejolak biasa namun merupakan setting politik praktis di berbagai belahan dunia mengatas-namakan gerakan rakyat. Unik memang, sebutan bagi setiap gerakan selalu mengambil nama-nama serta mengadopsi warna bunga sebagai simbolnya.

Selain berciri tanpa kekerasan (nonviolent resistance), penting dicatat pada awal tulisan ini bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memiliki peranan teramat vital dalam gerakan ini. Dengan kata lain, LSM termasuk kelompok pemuda serta mahasiswa ialah ujung tombak bagi skenario ganti rezim di suatu negara.

Adapun tuntutan yang diusung dalam revolusi non kekerasan ini berkisar isue-isue global antara lain demokratisasi, hak azasi manusia (HAM), korupsi, kemiskinan, akuntabilitas dan lainnya. Ia punya pola-pola bersifat umum karena berpedoman buku wajib yang sama yakni “From Dictatorship To Democracy”-nya Gene Sharp, sarjana senior di Albert Einstein Institute (AEI). Dan seringkali lambang dan slogan gerakan massa pun sama pula.

Begitulah, revolusi warna memang sedari awal merupakan sebuah bentuk Perang Asimetris AS dan Uni Eropa, sebagai Perang dengan mendayagunakan sarana-sarana non-militer, untuk menguasai wilayah geopolitik Ukraina agar berada dalam lingkup pengaruhnya.

Kalau kita telisik ke belakang, skenario revolusi warna memang cukup berhasil mereka lancarkan di beberapa negara. Seperti revolusi yang menerjang bekas negara Pakta Warsawa di Yugoslavia (2000), revolusi mawar di Georgia (2003), revolusi oranye di Ukraina (2004), revolusi tulip di Kyrgystan (2005), revolusi cedar di Lebanon (2005) dan lainnya, termasuk gejolak yang kini tengah melanda Jalur Sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara) terdapat kemiripan logo “Tangan Mengepal”, dan slogan singkat yang artinya “CUKUP” sesuai bahasa negara-negara sasaran. Misalnya di Mesir bernama Kifaya (cukup), di Georgia disebut Kmara (cukup), di Ukraina namanya Pora (waktunya), di Kyrgystan berslogan Kelkel (zaman baru) dan seterusnya.

Agaknya slogan dalam revolusi warna itu ibarat “ruh gerakan” guna menyatukan semangat massa sekaligus sebagai tujuannya. Artinya kendati tidak selamanya demikian, namun inti maknanya ingin mengakhiri rezim berkuasa tanpa harus banyak darah mengucur.

Dan skenario revolusi warna ini, memang disiapkan secara sistematis dan terencana sejak awal. hampir semua logo, slogan, taktik bahkan strategi dari gerakan-gerakan selama ini berbasis kurikulum yang bersumber dari bukunya Gene Sharp di atas. Dan ternyata diajarkan oleh Center for Applied Non Violent Action and Strategies(CANVAS), pusat pelatihan bagi pengunjuk rasa tanpa kekerasan yang logonya Tangan Mengepal atau Kepalan Tinju.

Konon CANVAS telah melatih para tokoh demonstran di 37-an negara termasuk di antaranya Korea Utara, Belarus, Zimbabawe, Tunisia, Mesir, Yaman, Bahrain, Suriah, Iran dan sebagainya. Adakah para demonstran Indonesia termasuk yang dilatihnya? Kita lihat saja nanti, yang jelas seluruh elemen bangsa di tanah air harus tetap waspada.

Ya, melawan rezim tanpa senjata merupakan methode baku bahkan menjadi kunci strategi untuk kesuksesan revolusi model ini. Sasarannya ialah memanipulasi serta mencuri simpati publik melalui support media massa dan jejaring sosial seperti facebook, blogger, twitter dan lain-lainnya.

Pertanyaannya adalah, apakah skenario revolusi warna masih tetap dipertahankan ruhnya oleh Amerika dan sekutu-sekutunya di Uni Eropa untuk mempertahankan lingkup pengaruhnya di Ukraina dan negara-negara eks Uni Soviet lainnya?

Benar. Revolusi Warna sebagai bagian dari desain kebijakan luar negeri AS dan sekutu-sekutunya, pola dan strategi gerakannya hendak disamakan oleh AS ketika dulu sukses melumpuhkan Pakta Warsa, yaitu dengan mengangkat isue-isue soal HAM, korupsi, atau kediktatoran rezim sebagai materi tuntutannya; kemudian menggunakan LSM guna menciptakan opini publik melalui media massa agar timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah; lalu ada blow up media dan jejaring sosial secara gencar dan seterusnya.

Sasaran antara ialah destabilisasi dan kerusuhan sosial di suatu negara, dimana ujung semuanya ialah meminta intervensi internasional dan hadirnya pasukan asing!

Memang selain terdapat pola yang sama di setiap gerakan massa di berbagai negara, juga ada benang merah yang tidak boleh diabaikan, yakni kekuatan asing yang berada di balik semua gerakan malah terlindungi dan aman-aman saja — asyik meremot dari kejauhan. Kenapa justru hal ini dilupakan oleh publik?

Melacak revolusi warna sungguh menarik, apalagi ketika Michel Chossudovsky berasumsi bahwa Occupy Wall Street atau “Menempati Wall Street”, yaitu gerakan akar rumput yang kini marak di seluruh AS, bahkan telah merambah hingga ke Australia dan beberapa  negara Eropa, juga disinyalir sebagai revolusi berwarna.

Indikasi ini terlihat ketika banyak LSM yang terlibat gerakan justru sangat tergantung pendanaannya dari yayasan swasta seperti Ford, Rockefeller, McArthur, Tides dan lainnya. CANVAS pun terlibat. Ivan Marovic, salah seorang pimpinan CANVAS memberikan statement perihal gerakan protes di New York bahwa tidak ada yang spontan dalam sebuah “peristiwa revolusioner” (16 Oktober 2011, www. globalresearch.ca). Bukankah ia adalah anak organisasi NED, LSM seribu proyek milik Pentagon?

Politik praktis memang apa yang tersirat bukan yang tersurat, kata Pepe Escobar. Maka merujuk judul tulisan sederhana ini bahwa revolusi warna adalah virus ganti rezim dimanapun berada termasuk bisa menyerang AS itu sendiri, negeri tempat kelahiran sang virus. Apa boleh buat. Itulah yang mungkin sedang terjadi. Termasuk yang sedang dialami Ukraina saat ini. Meski dalam perjalannya, skenario Revolusi Warna sepertinya menghadapi banyak kendala, yang nampaknya pada akhirnya akan menemui kegagalan.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com