Upaya AS dan Inggris Mendorong Persekutuan Militer di Asia Pasifik Akan Memicu Militerisasi dan Perlombaan Senjata

Bagikan artikel ini

Februari 2023 lalu Amerika Serikat (AS) dan Filipina mengumumkannya rencananya untuk meningkatkan eskalasi kerjasama militer kedua negara di bawah naungan the Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA), yang mana telah menyepakati penentuan empat lokasi strategis pembangunan pangkalan militer AS di Filipina (Camilo Osias di Santa Ana, Cagayan; Camp Melchor Dela Cruz di Gamu, Isabela; pulau Balabac di Palawan; dan  Lal-lo Airport di Cagayan).

Baca lebih rinci: Philippines, U.S. Announce Locations of Four New EDCA Sites

Adapun EDCA merupakan pilar utama persekutuan militer AS-Filipina guna mendukung beberapa ragam kerjasama militer kedua negara seperti pelatihan militer maupun latihan militer bersama kedua negara yang bertujuan agar meningkatkan kapabilitas militer bersama. Selain itu untuk menyamarkan tujuan strategisnya dalam meningkatkan pengerahan pasukan militernya di Asia Tenggara melalui Filipina, AS juga memberikan bantuan kemanusiaan (humanitarian aid) maupun bencana alam.

Padahal AS tetap menetapkan prioritas utamanya pada pembangunan infrastruktur militer di Filipina dengan mengalokasikan anggarannya sebesar 82 juta dolar AS. Terutama untuk membangun pangkalan militer pada empat lokasi strategis yang sepertinya dimaksudkan sebagai pengganti Subic and Clark. Pembangunan tersebut diklaim pihak AS maupun Filipina telah membangu peningkatan pertumbuhan ekonomi maupun penciptaan lapangan kerja.

U.S. Marines Embark for Deployment to Asia-Pacific Region

Sisi paling mengkhawatirkan dari pembangunan lima pangkalan AS di Filpinan melalui skema EDCA tersebut adalah kemungkinan digunakan sebagai pangkalan untuk meletakkan sistem pertahanan anti-rudal seperti yang dilakukan AS di Korea Selatan beberapa tahun yang lalu.

Bahkan bukan itu saja. Melalui adanya lima pangkalan militer AS di Filipina tersebut, AS punya peluang yang semakin leluasa  mempersiapkan landas pacu untuk pesawat pembom B1 dan B2. Seraya membangun pelabuhan berskala modern dan canggih untuk melabuhkan kapal-kapal perangnya di Filipina, sehingga bisa mengendalikan keamanan maritimnya di kawasan Asia Tenggara.

Seperti artikel-artikel saya sebelumnya, nampak jelas bahwa AS seturut dengan diterapkannya Indo-Pacific Strategy sejak 2017, berupaya keras untuk semakin meningkatkan kehadiran militernya di Asia-Pasifik. Selain itu AS juga  semakin intensif menjalin kerjasama militernya dengan beberapa negara di kawasan Asia-Pasifik. Seperti melalui skema persekutuan QUAD, AS menggalang persekutuan militer bersama Australia, Jepang dan India.

Khususnya dengan Jepang, pada 2016 lalu AS dan Jepang telah menandatangani kerjasama militer di bawah skema ACSA khusus dalam mendorong kerjasama logistik antara pasukan militer kedua negara. Melalui skema ACSA itu pasukan bela diri Jepang dapat memasok kebutuhan tentara AS antara lain seperti pangan, minyak, tambang, transportasi, maupun berbagai ragam jasa lainnya.

Hal ini merupakan indikasi kuat semakin intensifnya eskalasi kerjasama militer AS-Jepang sebagai bagian integral dari skema QUAD dan Indo-Pacific Strategy. Sedangkan Australian dan Jepang juga menjalin persekutuan militer yang juga semakin agresif di bawah skema Reciprocal Access Agreement (RAA). RAA merupakan Pakta Pertahanan bilateral Australia-Jepang di bidang pertahanan dan keamanan sebagai sarana latihan militer bersama maupun operasi militer bersama.

Bagi Indonesia dan negara-negara ASEAN yang masih menganut azas politik luar negeri yang bebas dan aktif, kerjasama AS lewat skema EDCA, AS-Jepang melalui skema ACSA maupun Australia-Jepang melalui skema RAA, sangatlah mengkhawatirkan. Oleh sebab dalih yang dijadikan alasan pembenaran adalah untuk membendung ekspansi Cina di kawasan Asia-Pasifik.

Pertanyaan krusialnya adalah, benarkah persekutuan militer ala QUAD, EDCA, ACSA dan RAA merupakan respons yang efektif untuk menjaga stabilitas dan keamanan di kawasan Asia-Pasifik dan Asia Tenggara pada khususnya?

Saya meragukan hal itu. Pendekatan Hard-Power berupa pengerahan pasukan militer berskala besar terbukti tidak menjamin terciptanya keamanan di kawasan Asia-Pasifik. Yang akan terjadi justru semakin meningkatnya eskalasi ketegangan militer di kawasan Asia-Pasifik. Perlombaan persenjataan strategis antara AS versus Cina di kawasan Asia-Pasifik utamanya di Asia Tenggara, justru semakin meningkat. Sehingga ASEAN sebagai zona damai, bebas dan netral yang sudah dibangun sejak 1970-an akan hancur berantakan. Alhasil, upaya Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023 untuk memprakarsai terciptanya Desain Keamanan Kawasan Asia Tenggara tidak akan kondusif.

United States Marines ride an amphibious military vehicle during an amphibious landing exercise with Filipino counterparts on a beach on the coast of the Naval Education and Training Command in Zambales Province, northwest of Manila, Philippines, 09 May 2018. The Philippines-US Balikatan (Shoulder to Shoulder) Military Exercise is on its 34th iteration, which is aimed to enhance interoperability between security forces of the two countries. EPA-EFE/ROLEX DELA PENA

Mengapa meningkatnya Pengerahan Pasukan Militer yang diterapkan AS dan NATO tidak akan efektif dalam menciptakan stabilitas dan kemanan kawasan? Sebab dalam upaya menjamin terciptanya Collective Security AS dan NATO cenderung menggunakan cara-cara konfrontatif dan mengangkat isu yang mengada-ada untuk membendung pengaruh ideologis Cina dan Rusia yang dipandangnya sebagai musuh utama seperti ditetapkan Pentagon dalam National Security Strategy dan National Defense Strategy pada 2017 lalu.

Pendekatan model hard-power berupa pengerahan pasukan militer di Eropa terbukti gagal total, dan upaya yang saat ini sedang dilakukan di Asia-Pasifik bisa dipastikan akan mengalami kegagalan yang sama.  

Selain terbukti pendekatan hard-power AS dan NATO tidak akan menjamin terciptanya stabilitas dan keamanan di Asia-Pasifik, dukungan AS dan Inggris untuk memiliterisasi negara-negara sekutunya di Asia-Pasifik misalnya dengan Jepang dan India lewat skema QUAD maupun mendorong pembangunan teknologi nuklir melalui skema persekutuan AS, Inggris dan Australia (AUKUS), pada perkembangannya malah akan memicu meningkatnya militerisasi dan perlombaan persennjataan di Asia-Pasifik

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com