Sinta Obong dan Ruptura Pactada

Bagikan artikel ini
Tafsir dan Analogi Geopolitik
Dalam kisah Ramayana, babak ‘Sinto Obong’ tayang setelah episode Anoman Obong dan Sinta Boyong tutup layar. **Baca: Filosofi Anoman Obong dan Sinta Boyong-(1); dan Abstraksi Sinta Boyong-(2) di www.theglobal-review.com.
Kilas balik sejenak kedua episode di atas. Anoman Obong misalnya, di tingkat global adalah ‘kebakaran’ di Dunia Barat yang disebabkan justru oleh Barat sendiri. Rezim Barat dalam hal ini ialah Amerika Serikat (AS), Inggris, dan jajaran Uni Eropa (UE) yang melakukan blunder policy dengan memblokade (sanksi) terhadap impor Rusia, sedang mereka tergantung minyak, gas, dan biji-bijian dari Negeri Beruang Putih. Geblek. Kebijakan ceroboh tersebut akhirnya malah menjerumuskan ekonominya menuju kolaps. Keputusan bumerang.
Sedangkan abstraksi Anoman Obong di tingkat lokal adalah terkuaknya berbagai perilaku koruptif di daerah serta beberapa institusi negara dan/atau pemerintah yang dipicu oleh hal-hal remeh seperti flexing, misalnya, atau konflik internal dalam lembaga, kasus penganiayaan di jalan, dan lain-lain.
Siapa mengira, konflik internal di KPK dapat menguak kasus lain yang lebih besar; siapa sangka, penganiayaan Mario terhadap David mampu menyingkap money laundering ratusan triliun rupiah di Kemenkeu; dan banyak lagi aib besar lain terbuka akibat hal-hal kecil. Konon diyakini bahwa Kedaulatan Tuhan tengah bekerja melalui caranya sendiri secara senyap.
Adapun abstraksi Sinto Boyong di level global ialah ‘digugat’-nya sistem unipolar yang selama ini dinikmati oleh Barat, namun kini mulai bergeser pelan ke sistem multipolar. Terjadi geopolitical shift dari Barat ke Timur, ada pergeseran lanskap geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik. Inilah yang tengah berlangsung melalui lapangan tempur (hybrid war) di Ukraina dengan lakon Putin beserta BRICS-nya.
Sedang ujud Sinta Boyong di level lokal adalah menebalnya isu hulu yakni kembali ke UUD 1945 Naskah Asli, hasil karya the Founding Fathers. Kenapa? Bahwa UUD hasil amandemen empat kali (1999, 2000, 2001 dan 2002) ternyata malah menciptakan kebuntuan-kebuntuan dalam bernegara terutama ketika bangsa ini hendak menyikapi fluktuatif lingkungan (strategis) yang berubah. Inilah rezim deadlock.
Sekarang masuk ke abstraksi Sinta Obong. Singkat cerita, sebelum Sinta diboyong kembali ke Ayodhya, menyeruak keragu-raguan pada diri Rama. Apakah Sinta masih suci setelah bertahun-tahun disekap oleh Rahwana? Jegleer! Para dewa di Kahyangan pun geger serta rakyat Ayodhya menangis mendengar praduga tersebut. Apa hendak dikata. Keraguan Rama atas kesucian Sinta adalah logis, maka perlu pembuktian guna meyakinkan Rama dan publik.
Sinta Obong (Sinta membakar dirinya) ialah proses dan ritual pembuktian atas kesucian dirinya serta mesti dijalani.
Ringkas episode, Sinta pun menyeburkan diri ke lautan api yang berkobar-kobar. Itulah ilustrasi pembersihan diri sekaligus pembuktian atas segala persepsi, syak-wasangka dan keraguan Rama terhadap Sinta. Publik berharap cemas atas hasil ritual, apakah Sinta menjadi abu dilahap api karena sudah ‘kotor’ dijamah Rahwana, atau ia tetap hidup, utuh dan keluar dari kobaran api dengan wajah berseri-seri karena (masih) suci?
Alhasil, selain Sinta tetap hidup dalam kobaran api, ia juga keluar dari jilatan api dengan wajah bersinar. Rama takjub. Dan ia pun berlari memeluk Sinta erat-erat seperti tak mau lepas lagi. Itulah sekilas episode Sinta Obong dalam kisah Ramayana.
Pertanyaan filosofi pun muncul, “Bagaimana abstraksi Sinta Obong dalam tafsir geopolitik baik di level lokal/nasional maupun pada skala global?”
Kelak, apabila tegak berdiri sistem dan aturan (rezim) baru yang terbidani atas perjuangan kembali ke UUD 1945 Naskah Asli, maka ia —rezim dimaksud— harus terbebas dari anasir – anasir lama (unsur dari rezim UUD hasil amandemen).
Ya. Siapapun, apapun, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, jika dulunya bagian dari sistem masa lalu maka ketetapannya adalah “dilarang”, bahkan diharamkan untuk berada pada (rezim) kekuasaan baru. Istilahnya Ruptura Pactada, rezim baru mutlak harus terbebas dari anasir lama alias bersih dari unsur-unsur rezim masa lalu.
Demikian juga di level global, sistem multipolar kelak harus clean and clear dari tatanan unipolar. Tatkala rezim lama diikutsertakan meski unsur terkecil sekalipun, maka praduga dan syak-wasangka Rama terhadap Sinta niscaya muncul kembali. Dan hal tersebut, mampu membuat geger Kahyangan dan rakyat. Sebab, bila anasir masa lalu diikutsertakan maka jalannya rezim baru pasti terhuyung-huyung alias tidak optimal.
Demikian episode Sinta Obong diabstraksikan secara ringkas dalam tafsir dan analogi geopolitik baik lokal maupun global. Tak ada maksud menggurui siapapun, apalagi para pihak yang berkompeten. Tidak sama sekali. Hanya sekadar sharing terkait tafsir geopolitik berbasis analogi Ramayana. Tak lebih.
Catatan khusus pada analogi Sinta Obong di tingkat lokal ialah, bahwa rezim baru kelak terbidani oleh sistem UUD 1945 Naskah Asli, bukan lahir dari rahim UUD NRI 1945 hasil empat kali amandemen.
Demikian adanya, demikianlah sebaiknya.
Tamat
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com