Abstraksi Sinta Boyong

Bagikan artikel ini
Cerpen Geopolitik tentang Kegaduhan di Tingkat Lokal dan Global (2/Habis)
Dalam Ramayana, cerita Sinta Boyong adalah lakon usai episode Anoman Obong. Kronologi singkatnya begini. Tatkala Kerajaan Alengka terbakar, dan Rahwana beserta rakyatnya sibuk memadamkan jilatan nyala api — Rama pun tiba di Alengka bersama pasukannya dalam rangka menjemput dan menyelamatkan Sinta. Tak bisa dielak. Pertempuran pun meletus antara pasukan Ayodhya versus bala tentara Alengka. Peperangan berlangsung seru lagi brutal. Alhasil, kemenangan berpihak pada Ayodhya. Rahwana beserta seluruh prajuritnya tumpas kelor alias mati semua kecuali Wibisana, adik Rahwana.
Adalah hukum alam, bahwa Wibisana berbuat baik serta membela Anoman sewaktu hendak dihukum mati, maka ia tetap dibiarkan hidup serta kelak membangun kembali Kerajaan Alengka yang sudah luluh lantak. Akhirnya, Sinta pun diboyong kembali ke kerajaan dan disambut secara gegap gempita oleh segenap rakyat Ayodhya. Demikian cerita singkatnya.
Pertanyaan filosofinya, “Bagaimana implementasi geopolitik atas kilas abstraksi di atas?”
Di level global, bersamaan dengan proses Anoman Obong melalui ‘ekor’-nya Anoman sehingga menimbulkan krisis ekonomi dan politik di negara-negara Barat, lakon Sinta Boyong pun berproses senyap, perlahan, namun pasti. Bagaimana filosofi Sinta Boyong dalam abstraksi geopolitik lokal maupun global?
Di tingkat global, Sinta Boyong ialah abstraksi hegemoni. Menurut Gramsci, hegemoni adalah kepatuhan secara sadar atas suatu kekuatan dan bukan berasal dari paksaan atau tindak kekerasan melainkan adanya suatu kontrol. Tak dapat dipungkiri, sistem global yang berlaku adalah unipolar dengan kontrol oleh Barat sebagai pemegang remote. Inti unipolar, bahwa hanya satu negara atau satu area yang memiliki dominasi kekuatan mengontrol dunia.
Dari sistem ini, terbidani apa yang kemudian disebut ‘Polisi Dunia’ misalnya, atau rezim petrodollar, ataupun lembaga-lembaga simbol seperti IMF, World Bank, SWIFT, dan lain-lain. Nah, sistem (unipolar) itulah yang sekarang digugat oleh Vladimir Putin, Presiden Rusia, melalui medan tempur (proxy war) di Ukraina ingin agar dinamika geopolitik (kembali) menjadi multipolar. Dan proses ‘gugatan’ Putin kini tengah berlangsung sengit selain daripada abstraksi Anoman Obong sebagaimana diurai pada bagian ke-1 tulisan ini. (baca: Membaca Filosofi Anoman Obong dan Sinta Boyong)
Implementasi Sinta Boyong, misalnya, bahwa Dolar AS bukan lagi (satu-satunya) mata uang yang dipakai dalam transaksi minyak. Rezim petrodollar yang berjaya sejak 1971-an, kini diambang kehancuran. Saudi Arabia contohnya —sekutu dekat AS— kepada negara-negara tertentu membolehkan pembayaran ekspor minyaknya tanpa memakai dolar AS. Sistem rezim petrodollar mulai ditinggalkan. Jepang pun mulai ‘berpaling’ ke minyak murah Rusia. Tidak malu-malu. Tanpa lewat China lagi. Terutama kelompok negara yang tergabung dalam BRICS, akan membentuk mata uang baru, dan lain-lain.
Itulah sekilas abstraksi Sinta Boyong di level global, bahwa terjadi pergeseran geopolitik secara signifikan dari Barat ke Timur. Pertanyaan lanjut, “Bagaimana abstraksi pada tingkat lokal/nasional?”
Ya. Kalau di level global abstraksi Sinta Boyong adalah hegemoni, terutama bergesernya sistem unipolar menjadi multipolar, di level lokal, makna Sinta Boyong adalah konstitusi.
Tak pelak, pasca Orde Baru lengser — terjadi ‘kudeta konstitusi’ atas UUD 1945, karya agung The Founding Fathers sebanyak empat kali (1999-2002) berupa amandemen terhadap konstitusi. Ujud amandemen bukannya perubahan melalui teknik adendum, tetapi isi dan substansi konstitusi (naskah asli) justru diganti total. Bahkan menurut penelitian Prof Kaelan dari UGM, bahwa 93% isi UUD 1945 telah diganti sehingga ‘warna konstitusi’ berubah menjadi individualis, liberal, dan kapitalistik.
Paling vital ialah amandemen ke-4 (2002), ketika MPR selaku Lembaga Negara Tertinggi diubah statusnya menjadi Lembaga Tinggi Negara. Jadi, MPR di era reformasi sekarang hanya sekelas DPD, MA, BPK, DPR, Presiden, dan lainnya. Selain tidak punya GBHN; tidak ada lagi Mandataris MPR (yang ada hanya petugas partai); juga kedaulatan Rakyat dirampas oleh kaum reformis (gadungan). Akibatnya, jika ada aspirasi perubahan konstitusi terkait penyikapan terhadap fluktuatif lingkungan strategis, maka cenderung deadlock alias macet, oleh karena tidak ada lagi pucuk piramida. MPR tidak berwenang lagi menerbitkan Ketetapan/TAP MPR yang bersifat mengatur (regeling). Bahwa antara lembaga-lembaga negara kini adalah setara alias selevel.
Keinginan menambah periode jabatan presiden menjadi tiga periode, misalnya, berujung deadlock alias macet. Siapa berwenang mengatur perubahan, sedang MPR tak ber-hak lagi mengeluarkan TAP yang bersifat regeling atau mengatur?
Sementara upaya penambahan waktu (extanding extra time) jabatan presiden antara 3-4 tahun juga berujung macet karena tidak diatur dalam konstitusi. Hendak diubah lewat MPR, bukankah akibat amandemen UUD 1945 khususnya perubahan ke-4 — MPR kini sudah ‘mandul’? Ia telah menjadi Lembaga Tinggi Negara selevel BPK, MK, DPD dan lainnya. Tidak lagi berwenang menerbitkan TAP yang bersifat regeling alias mengatur.
Hendak diubah melalui Perppu terlalu riskan. Bakal timbul gejolak massa. Bisakah Lembaga Tinggi Negara —Presiden— mengatur dirinya sendiri?
Dengan demikian, bahwa kudeta konstitusi pada 1999-2002 justru menjebak dan bangsa ini terjebak dalam konstitusi yang buntu lagi macet, seolah-olah menjadi (sistem) antiperubahan. Padahal, perubahan itu keniscayaan. Inilah yang kini berlangsung. Bahwa abstraksi filosofi dalam Sinta Boyong, nantinya ialah kembalinya UUD 1945 Naskah Asli diberlakukan (konstitusi) kembali pada bangsa dan negara ini, terutama dikembalikan lagi Kedaulatan Rakyat yang telah dirampas pada tahun 2002 (amandemen ke-4).
Wait and see!
Tamat
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com